Urupedia – Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat beragam suku, agama, kepercayaan dan bahasa, jadi bisa di bilang bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk. Majemuk bukan berarti kita tidak bisa bersatu, tapi justru perbedaan akan menimbulkan keindahan pada bangsa kita, karena pelangi yang indah itu tidak terdiri dari satu warna saja tapi beberapa warna yang berbeda sehingga menghasilkan suatu hal yang estetik dan juga perbedaan itulah rahmat yang di berikan Tuhan kepada kita bangsa. Bukankah itu sangatlah perfect dan kita sebagai bangsa Indonesia harus bersyukur atas nikmat ini, selaras dengan al-Hujurat [49]: 13 yang bunyinya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahai manusia! Sesungguhnya kami telah menciptakan kalian menjadi laki-laki dan perempuan, dan (dengan menciptakan manusia berpasangan) kami telah jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling bertakwa diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.
Sebagai bangsa yang majemuk kita sering mendengar adanya gab dan konflik antar masyarakat bahkan juga antar agama di Indonesia, Konflik agama dapat terjadi karena perbedaan konsep ataupun praktek yang dijalankan oleh pemeluk agama yang melenceng dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat agama, dari situlah biasanya awal mula terjadinya konflik. Sejarah mencatat bahwa konflik yang terjadi di dunia, seperti konflik antara umat Islam dengan Kristen di Eropa yang dikenal dengan perang Salib (1096-1271 M), merupakan konflik terparah dan terlama terjadi di dunia pada abad pertengahan[1].
Contoh kasus konflik keagamaan berjenis komunal adalah penolakan penggunaan rumah warga menjadi tempat ibadah Gereja Jemaat Advent Hari Ketujuh di Kecamatan Makasar, Kota Jakarta Timur. Kemudian, kasus penolakan penggunaan rumah menjadi rumah ibadah GKI (Gereja Kristen Indonesia) Yayasan Wisesa Wicaksana di Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarta, Kota Jakarta Selatan. Ada juga kasus protes warga terhadap gereja damai milik umat Katolik di Kelurahan Duri Selatan, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barat. Beberapa contoh kasus konflik keagamaan berjenis sektarian yang terjadi adalah satu penolakan terhadap komunitas Ahmadiyah di Kecamatan Pebaruyang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lalu konflik dualisme kepemimpinan geraja Protestan di Indonesia bagaian barat (GPIB) Anugerah di Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Ketiga, konflik pendirian masjid komunitas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kecamatan Tajur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.[2]
Hal ini tentunya menggangu keharmonisan dan kerukunan umat beragama di Indonesia, jika kita biarkan terus menerus akan menggagu stabilitas negara, dimana kerukunan umat beragama harus kita jaga dan kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Negara mana yang ingin adanya konflik? Pasti jawabanya tidak ada. Tentunya kita harus mulai dari diri kita sendiri lalu menularkan kepada orang lain.
Lalu apa yang dimaksud dengan moderasi?? Moderasi berasal dari Bahasa Latin yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak moderâtio, kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. pengurangan kekerasan, dan 2. penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasabiasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (ratarata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara.[3]
Anis Malik Thoha mengatakan bahwa muslim moderat adalah seorang muslim yang memenuhi islamik prinsiple wassatiyah (prinsip moderasi dalam islam) antara lain tidak ekstrim kanan maupun kiri. Hal ini berarti bahwa muslim harus mampu menjaga dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan, melainkan membawa kedamaian dan rahmat untuk semua alam; juga memahami bahwa islam memiliki hukum yang bersifat tetap dan ada yang bisa berubah atau diijtihadkan sesuai perkembangan jaman; tidak menggunakan pemaksaan; tidak mengkompromikan hal-hal dasar dalam agama hal ini untuk menjaga kesucian beragama; mengkompromikan hal-hal yang bersifat fundamental dalam beragama yaitu hidup rukun berdampingan dengan siapapun.[4]
Syamsul Bakri melihat ada beberapa faktor yang mendorong munculnya gerakan radikalisme di Indonesia. Pertama, faktor sosial politik hal ini terlihat dari kekerasan agama yang muncul lebih banyak didasari atas gejala politik dan sosial, bukan atas dasar gejala keagamaan yang sebenarnya. Dipertegas Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara muslim dan konflik utara-selatan menjadi pendorong utama munculnya radikalisme. Kedua, faktor emosi keagamaan, yaitu rasa solidaritas yang tinggi terhadap saudara seiman yang tertindas oleh kelompok tertentu. Kelompok atau gerakan yang muncul atas nama agama secara terang-terangan memperlihatkan emosi kemarahan yang didasari penafsiran yang salah terhadap kasus keagamaan yang timbul.
Ketiga, faktor kultural. Faktor ini menjadi sentimen yang khas karena Indonesia memiliki tingkat konflik kebudayaan yang tinggi. Kelompok yang mengatasnamakan agama seringkali menjadikan aspek tradisi dan budaya sebagai alat untuk memisahkan konsep agama dan budaya. Tradisi budaya yang tidak sesuai dengan pemahaman keagamaan mereka harus dihilangkan. Seperti diungkap Musa Asya’ari bahwa ada usaha- usaha kelompok masyarakat memisahkan konteks budaya dengan agama. Keempat, faktor ideologis anti westernisasi. Simbol-simbol yang berasal dari pemikiran tokoh Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at Islam. Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Seringkali kebijakan pemerintah tidak mampu memperbaiki berkembangnya frustasi dan kemarahan umat yang disebabakan faktor ideologi, militer, dan perkembangan ekonomi dari negara-negara besar. Kenyataan inilah yang mendesak pemerintah Indonesia segera mengambil sikap tegas terhadap upaya moderasi beragama.[5] dibenarkan terlebih lagi dari sudut pandang agama, terutama Islam, yang mendeklarasikan kedamaian sebagai inti ajarannya.[6]
Dalam hal ini saya pribadi memberikan sebuah gagasan agar tercipta moderasi beragama di indonesia yaitu dengan menerapkan :
1. Tawassuth (Moderat)
Adalah sikap dan pemikiran yang memposisikan dirinya berada di tengah – tengah atau tidak cenderung kekanan atau kekiri, dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sikap inididasarkan pada firman Allah:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu(umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143).
2. Sikap seimbang (tawazun)
Sebuah pemahaman dan aktualisasi agama secara seimbang yang mencangkup dunia maupun ukhrawi serta tegas dalam menyampaikan atau mengutarakan antara penyimpangan dan perbedaan.
3. Keseimbangan (ta‟adul)
Ta’âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul ). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajibanmasingmasing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan,hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secarapersis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjaditafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl ).[7] Sikap ta’âdul ini berdasarkan firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al ma’idah: 9)
4. Tasamuh (Toleran)
Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt.berfirman:
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun:6).
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang orang yang rugi.”(QS.Ali Imran: 85)
Dalam hal kita bernegara kita harus menjaga, memahami dan mengamalkan hal-hal yang substansial di kehidupan kita, dimana itu kita jadikan prinsip dalam hidup bernegara di Indonesia, seperti: prinsip musyawarah, prinsip kebebasan, prinsip keadilan, dan prinsip kesamaan derajat. Ini Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma‟idah.
Kemudian untuk mengkampanyekan moderasi bergama kita harus mulai dari diri kita sendiri, semisal kita sampaikan dengan lembut kepada kawan-kawan kita dan keluarga kita. Bisa juga dengan media sosial kita, karena tidak bisa di pungkiri bahwasanya dengan adanya media sosial telah membawa dampak yang cukup pesat dalam hal interaksi dan komunikasi kita dengan orang lain. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) , Selamatta Sembiring mengatakan, situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India.[8] maka dari itu kita sebagai mahasiswa yang melek akan media sosial dan tahu akan perkembangan zaman kita seharusnya bergerak dan memulainya dari sekarang.
Cara selanjutnya ceramah dengan sembilan seruan Menteri Agama pada awal 2017 tentang ceramah di rumah ibadah menjadi sangat relevan untuk lebih diperkuat lagi implementasinya. Sembilan seruan yang berperspektif moderasi beragama tersebut adalah semacam panduan agar ceramah agama di rumah ibadah hendaknya memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan peradamaian umat manusia;
- Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
- Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun;
- Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, pemberdayaan umat, penyempurnaan akhlak, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan keadilan sosial;
- Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
- Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa;
- Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif;
- Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis;
- Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.[9]
- Untuk mewujudkan moderasi beragama di Indonesia di butuhkan pemahaman mengenai konsep moderasi beragama yang mendalam sesuai dengan fakta yang ada. Jika konsep moderasi dan empat hal yaitu : tawasuth, tawazun, ta’adul dan tasamuh hanya di ketahui oleh satu atau dua orang saja bahkan hanya minoritas, maka mustahil masalah pluralitas agama, seperti permusuhan, perpecahan, dan konflik bisa terus terjadi bahkan akan lebih mengerikan akan terjadi. Demikian yang bisa saya tulis dengan keterbatasan saya dan keterbatasan mengenai peraturan perlombaan yang mengharuskan maksimal hanya 5 (lima) lembar saja.
Oleh : Munawir Muslih Mashuri (Munawirmuslih02@gmail.com)
Daftar isi
Bakri, Syamsul, 2004. “Islam dan Wacana Radikalisme Agama Kontemporer,” Jurnal DINIKA, vol. 3 no. 1.
https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/kominfo+%3A+pengguna+internet+di+indonesia+63+juta+orang/0/berita_satker, diakses tanggal 17 Juni 2021
https://www.nu.or.id/post/read/114890/penemuan-enam-jenis-konflik-keagamaan-di-indonesia, di akses pada 04 Juni 2021 pukul 23:2 WIB
Indonesia, Kementerian Agama Republik, 2019. moderasi beragama, Jakarta Pusat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Ri.
Karnawati, Priyantoro Widodo, 2019. Moderasi Agama dan Pemahaman Radikalisme di Indonesia , PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol 15, No 2.
Santoso, Nur Sayyidd Kristeva, 2015. “Sejarah Teologi Islam dan Akar pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah”, Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Substantia, 2014. http://substantiajurnal.org Firdaus M. Yunus: Konflik Agama di Indonesia | 217 KONFLIK AGAMA DI INDONESIA PROBLEM DAN SOLUSI PEMECAHANNYA Firdaus M. Yunus, Vol. 16 No. 2.
[1] Substantia, http://substantiajurnal.org Firdaus M. Yunus: Konflik Agama di Indonesia | 217 KONFLIK AGAMA DI INDONESIA PROBLEM DAN SOLUSI PEMECAHANNYA Firdaus M. Yunus, Vol. 16 No. 2. 2014. Hal 217
[2] https://www.nu.or.id/post/read/114890/penemuan-enam-jenis-konflik-keagamaan-di-indonesia, di akses pada 04 Juni 2021 pukul 23:2 WIB
[3] Kementerian Agama RI, moderasi beragama, (Jakarta Pusat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Ri,2019) hal 15.
[4] Priyantoro Widodo, Karnawati , Moderasi Agama dan Pemahaman Radikalisme di Indonesia , PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol 15, No 2, 2019. Hal 10
[5] Syamsul Bakri, “Islam dan Wacana Radikalisme Agama Kontemporer,” Jurnal DINIKA, vol. 3 no. 1, 2004, hal. 10-12
[6] Substantia, http://substantiajurnal.org Firdaus M. Yunus: Konflik Agama di Indonesia, Hal. 221.
[7] Nur Sayyidd Kristeva Santoso, M.A. “Sejarah Teologi Islam dan Akar pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah”, (Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2015),hal. 151
[8]https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/kominfo+%3A+pengguna+internet+di+indonesia+63+juta+orang/0/berita_satker, diakses tanggal 17 Juni 2021
[9] Kementerian Agama RI, moderasi beragama, hal. 142-143