Feature

Bagian II: Biografi Bu Nur Asiah, Pendiri Majelis Taklim An Nuriyah Desa Bangelan

×

Bagian II: Biografi Bu Nur Asiah, Pendiri Majelis Taklim An Nuriyah Desa Bangelan

Sebarkan artikel ini
Foto Bu Nur Asiah saat pengasoan rutin (Dok. Istimewa-Ummi)

Urupedia- Hal yang paling ditekuni adalah mengaji, mengingat betapa utamanya ajrah yang didapatkan, meski hanya sebagai mustami’. Rasulullah pun bersabda bahwa barang siapa yang meniatkan untuk menuntut ilmu maka satu langkahnya saja sudah menghapus 20 dosa. Lain lagi dengan mengajar, lebih istimewa. Mengajar 1 huruf saja semua makhluk memintakan ampun termasuk para malaikat, hewan-hewan yang berada di daratan maupun lautan. Hal ini yang menjadi motivasi Asiah untuk selalu mengutamakan belajar dan ngaji.

Kalau diminta ngaji selalu saya prioritaskan, memang saya prioritaskan. Kalau samean tahu pekerjaan saya wes bukan main lah pokoknya. Dari siang sampai malam pekerjaan ndak habis-habis. Tapi kalau waktunya ngaji tetap saya prioritaskan. Dari segi keutamaanya, mengajar itu memiliki keutamaan yang unggul,”ujarnya.

Karena dalam dalilnya dijelaskan “kun aliman aw mutaalliman…dst” hal ini yang disukai dan menjadi pendorong bagi Asiah untuk senantiasa mengembangkan keilmuwannya.

Selepas dari Pondok Pesantren, Bu Nur Asiah pulang ke rumah dan melanjutkan ngaji kitab Jalalain ke Ustadz Amin di Pondok Pesantren Miftahul Jannah, Ngebruk selama 2 tahun. Beliau  juga memiliki komunitas kecil yang terdiri dari Cak Tofa, Cak San, dan beberapa orang untuk mengkaji ulang kitab yang pernah dipelajari di Pesantren (istilahnya adalah nembel kitab) kepada Kiai Saeroji. Di sini mereka mengkaji beberapa kitab, yakni Dzurrotun Nasihin, Tanbihul Ghafilin, Bulughul Maram, Riyadus Shalihin, dan Taqrib. Kemudian Asiah juga menimba ilmu tartil Al Qur’an di Pesantren APIQ (Asrama Perguruan Ilmu Qur’an) di bawah asuhan kiai Bashori Alwi daerah Singosari.

Prinsip yang dipegang teguh oleh Ibu Nur Asiah hingga saat ini adalah bahwa sekurang-kurangnya dalam waktu satu hari, beliau harus mendengarkan sebuah kajian/tausiyah guru dan orang alim. Ketika malam tiba, beliau membiasakan mengkaji kitab dari youtube. Asiah mengakui jika ia tidak mengaji ia tidak akan makan, karena makanan batin dan hati adalah mengaji itu sendiri.

Mengenal Ilmu Tarekat

Ibu Nur Asiah memiliki guru syariat di Gondang, guru thoriqoh di Rejoso Jombang, dan guru tasawuf di Gresik. Adapun semenjak berada di Pesantren APIS, di usianya yang masih belia beliau telah mempelajari thariqah. Ia dipertemukan dengan teman yang bijaksana, ia memberikan sebuah petuah yang sejatinya bersubstansi tarekat tapi tidak disebutkan bahwa hal tersebut adalah tarekat. Satu hal yang masih diingat dari sekian petuahnya adalah nasehat mengenai seorang perempuan sebelum menjadi ibu. Redaksinya kurang lebih seperti ini yang disampaikan;

            “Kalau nanti jadi Ibu, sebelum menjadi ibu tanamkan lafadz Allah dalam hati. Ketika samean menyusui anak di setiap nafasnya jangan lepas, ojo pedot karo Allah. Kalau samean kurang faham silakan membeli kitab Tsamrotul Fikriyyah,” tutur Bu Asiah menirukan gaya temannya.

Saat itu Asiah belum kenal dengan tarekat. Ketika Kiai Asrori berkunjung ke Blitar untuk membaiat, Asiah muda merasa senang karena dibuat jatuh cinta dengan tarekat waktu itu juga. Ke mana Bu Nyai tindak, Asiah bersama temannya yang bernama Binti Muarifah selalu ndereaken beliau. Akhirnya setelah boyong dari pesantren dan berada di rumah mengikuti tarekat yang diamalkan oleh Kiai Syaeroji yaitu Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah yang ada di Rejoso Jombang. Di mana Kiai Asrori sanadnya juga dari Rejoso. Sebelum memutuskan untuk dibaiat di Rejoso, Asiah meminta rida pada imam khususiyah Pesantren APIS, Abah Mundzir (salah seorang putra Kiai Shodiq Damanhuri). Asiah sangat menjaga sanad guru sehingga dalam keadaan apapun selalu melibatkan rida seorang guru untuk senantiasa ngalap berkah beliau-beliau. Beliau dibaiat di Rejoso pada tahun 1991 oleh putra Mbah Yai Romli, yaitu Kiai Rifai.

Ketika Baiat di Rejoso, satu hal yang diingat Asiah adalah larangan mengurangi bait istighosah disampaikan oleh Yai Mughni. “Istighosah ini dikarang oleh Mbah Yai Romli, beliau berpesan kepada saya, sopo wong e sing ngamalno torekoh iki mugo diparingi barokah. Jangan coba-coba mengurangi baitnya, kalau jumlahnya misal ada yang seratus atau seribu menjadi satu pun tidak masalah. Yang penting jangan mengurangi baitnya!”

Jadi dalam penuturan Yai Mughni ini menekankan keotentikan lafadz dari pengarang harus tetap dijaga meski dari segi kuantitas bisa berubah. Nur Asiah sangat menjaga sanad ilmu.

Merantau ke Jakarta (1990-1991)

Pasca pulang dari Pesantren, Ibu Nur Asiah saat itu juga terjun di Fatayat sebagai Sekretaris Fatayat Kecamatan Ngajum. Setelah adanya pemecahan wilayah menjadi dua, Ngajum dibagi menjadi Ngajum dan Wonosari, Asiah menjadi Ketua Fatayat Kecamatan Wonosari. Setelah itu otomatis masuk Muslimat menjadi sie dakwah.

Namun sebelum masuk Muslimat, ia hijrah ke Jakarta dalam rangka ikut suami selama 2 tahun. Semua jabatan Asiah tinggalkan. Alhamdulillah di sana Asiah memiliki majelis taklim. Beliau menuturkan, “Ternyata dengan ilmu kita bisa berdaya.” Bukan harta yang menjadikan kita berdaya melainkan ilmu. Masa-masa itu adalah masa sulit karena sang suami pasca mengalami kecelakaan. Pergi ke Jakarta dalam misi menjual rumah. Rumah tersebut ditempati hingga menunggu laku.

Setiap harinya, Asiah dan suami sering berjamaah di masjid yang berdekatan dengan rumah, Masjid al-Alam. Di sana ia bertemu dengan seseorang yang kemudian bertanya tentang asal-usulnya. Dijawablah pertanyaan itu kalau mereka berasal dari Gunung Kawi Malang. Karena telah menjadi hal yang familiar, orang tersebut sontak berkata, “Tempat yang dipakai pesugihan itu ya?” namun Asiah ingin menunjukkan bahwa sebenarnya bukan hal negatif sebagaimana yang disematkan orang-orang pada umumnya yang ada di sana. Di Gunung Kawi terdapat potensi kebaikan. Setiap hari Asiah nderes Al Qur’an di rumah. Kemudian tetangga sebelahnya mendengar, akhirnya Asiah diajak untuk menghadiri tahlil rutin warga setempat, yasin, solawat, pada tahun 1991. Kehidupan kota yang individualis membuat Asiah minder dan merasa putus asa berbaur bersama mereka. Ia mengeluhkan hal ini pada tetangganya, kemudian si tetangga melarangnya dan akan mengomunikasikan hal ini pada Ketua.

Pada mulanya Asiah mendapatkan amanah untuk melantunkan qiroah. Semua orang saling penasaran suara siapa gerangan? Si Tetangga memberitahukan kalau itu suara tetangganya, Asiah. Berlanjut Asiah mendapatkan mandat membaca Barzanji, warga masih penasaran. Dan seterusnya Asiah memimpin tahlil dan mengajar ngaji Al Quran dan ilmu fikih yang akhirnya dikenal oleh khalayak. Di manapun beliau berada, Asiah memiliki jamaah ngaji. Organisasi majelis yang ada di Jakarta berkembang menjadi besar, dinamakan jamaah Nurul Ilmi. Saat itu pemerintah mengadakan lomba barzanji, dan mayoritas peserta menampilkan model barzanji dengan lagu khas Jawa Barat akan tetapi jamaah an Nuriyah menampilkan dengan langgam lagu yang berbeda, lagu khas daerah Malang murni. Akhirnya sang Juri penasaran, ia sadar bahwa langgam yang dibawakan berbeda dengan peserta lainnya. Ia bertanya dari mana asal Asiah kemudian menemuinya. Ternyata jurinya adalah orang Ponorogo yang dulunya pernah mondok di daerah Singosari, APIQ. Dari sini Asiah menyimpulkan bahwa sesama lulusan pesantren terjalin ukhuwah karena serasa saudara seperjuangan, meskipun beda pesantren.

Akhirnya dari situ, Asiah diangkat menjadi ketua majelis taklim. Akan tetapi beliau terpaksa pulang karena sang Mertua meninggal dunia. Namun penduduk sana masih membutuhkan Asiah, ada yang menawarkan rumah untuknya meski rumah kecilnya telah terjual, ia akan diberi rumah khusus. Asalkan Bu Asiah mengajar di sana. Akhirnya, Bu Asiah memutuskan kembali ke Malang pada tahun 1992. Beliau berada di Malang selama 7 tahun, hingga tahun 1997. Saat itu beliau memiliki lahan pertanian jeruk akan tetapi bangkrut. Alhasil memutuskan untuk merantau ke Gresik.

Merantau ke Gresik (2000-2011)

Pada awal tahun 2000-2011, Bu Nur Asiah  hijrah lagi ke Gresik. Pada saat itu kontrak rumah dan ikut suami bekerja.  Di sana beliau dihadapkan dengan ragam ujian dan cobaan, pemuda sekelilingnya mengkonsumsi narkoba dan mabuk-mabukan. Terdapat suatu cerita bahwa di sore hari banyak pemuda ramai di sekitar rumah, mereka mengkonsumsi narkoba dan meminum minuman keras. Salah satu pemuda meminjam gelas di rumah Asiah dan mengembalikannya seraya berkata, “Bu, ini jangan dipakai ini najis.” Dari sini Asiah memahami bahwa seseorang yang berbuat jahat dan maksiat sebetulnya mereka tahu buktinya pencuri saja melakukannya dengan sembunyi-sembunyi tidak terang-terangan. Akan tetapi Asiah tidak membenci orang-orang itu hanya saja membenci perilakunya.

Ketika berada di Gresik, Ibu Nur Asiah masih menimba ilmu tasawuf ke Pesantren Ahlus Shofa wal Wafa di bawah asuhan Kiai Nizam As Shofa yang dilakukan selama seminggu dua kali karena pulang-pergi dari rumah. Kiai Nizam As Shofa merupakan cucu dari Kiai Sahlan. Belum genap satu tahun menimba ilmu, Asiah ditimbali oleh Yai untuk menghadap beliau. Padahal santri lain jika tidak mengantri sowan tidak berkesempatan bertemu. Sekitar jam setengah dua pagi, dalam pertemuan malam itu membahas tentang Islam dan Iman. Islam adalah orang yang selamat dari nafsu yang keluar dari dirinya sendiri. Sementara Iman adalah orang yang selamat dari nafsu yang berasal dari luar tubuh/orang lain. Topik ini dikaji sampai jam tiga pagi.

Gus Nizam As Shofa pada suatu ketika mengenalkan Asiah pada guru hakikatnya, Mbah Jatmiko yang berdomisili di Pacet, Mojokerto. Beliau telah dikenal sebagai wali yang ahli hakikat masa itu dengan usia seratus sekian. Sebelum menjadi muslim, beliau adalah pertapa yang berdiam diri  di dalam air. Keberadaan beliau di sana dinilai berbahaya karena pesawat dan hewan apapun yang lewat di atas nya akan jatuh. Berita tersebut terdengar oleh Yai Abdul Hayyi Malang akhirnya Mbah Jatmiko diangkat dari bawah lautan dan diIslamkan.

Suatu ketika, Bu Nur Asiah sakit. Teman beliau-sesama santri di Pondok Ahlus Shofa wal Wafa sowan ke Mbah Jatmiko dan menceritakan perihal keadaan Nur Asiah. Nasehat yang diberikan Mbah Jatmiko adalah harus selalu menanamkan sikap sabar karena esok pada akhirnya akan menuai kemujurannya. Statemen singkat yang masih Asiah ingat adalah, “Sak wayah-wayah e dirangkep iku munggahe ruhanine.” Beliau juga menuturkan “Tidak ada tempat terbaik untuk kembali hijrah kecuali pada Allah.”

Kehidupan Ibu Nur Asiah penuh dengan hidmah pada ilmu. Di daerah Gresik ini pun, Bu Asiah juga mendirikan majelis taklim. Majelis taklim di Semambung Gresik ini bernama an Nuriyah yang diambil dari nama Nur Asiah sendiri. Di. sisi mengaji Al Quran dan kitab, majelis ini juga mengamalkan Thoriqoh Qadiriyah wan Naqsabandiyah. Akan tetapi ketika suaminya meninggal, Asiah kembali ke Malang, majelis ini diteruskan oleh Eni Rosyidah, wanita asal Bojonegoro. Kemudian menetap di Malang hingga saat ini.

Perjuangan di Desa Bangelan (2011-sekarang)

Berjuang di masyarakat tentunya tidak lepas dari sebuah tantangan dan rintangan. Ketika pertama kali memasukkan istighosah, beliau mendapatkan penolakan keras dari pemerintah, jamaah ini dikecap sebagai aliran baru yang memberikan sebuah ajaran lain. Tantangan paling besar yang dihadapi sampai pada titik pembubaran jamaah istighosah. Di pertengahan perkembangan jamaah istighotsah, terdapat teman Asiah yang menghampiri dan menegurnya karena memberikan amalan ijazah. Asiah mendapatkan ujaran tidak sedap dari temannya yang mengatakan bahwa Asiah tidak tamat SD sehingga tidak mendapatkan ijazah kok akan mengajarkan istighosah. Akan tetapi Asiah memiliki prinsip bahwa ilmu itu tidak ada pada ijazah akan tetapi terdapat pada hati. Apa artinya ijazah jika ilmunya tidak bermanfaat?

Akhirnya Asiah sowan ke ndalem Kiai di Pondok Gondang. Asiah memberitahukan maksud dan tujuan untuk mengamalkan istighosah pada jamaahnya. Kiai dawuh bahwa ijazahnya sudah aam (umum) karena pada saat pulang dari pesantren, Asiah matur pada Kiai tidak boyong, hanya saja berjuang di desa. Kemudian Abah Kiai memberikan sebuah nasehat “Opo sing urung enek, enekno. Kegiatan opo ae sing urung enek, enekno. Lek durung enek yasinan yo kekno yasinan, urung enek istighosah yo kekno istighosah, urung enek manaqiban yo kekno manaqiban.” Bahkan saking cintanya Asiah pada ilmu yang dipelajari, sampai hafal manaqiban.

Untuk saat ini, beliau baru dilantik sebagai sie dakwah dan pendidikan pada BKMM (Badan Koordinasi Majelis Taklim Masjid) bagian dari MUI yang dilindungi pemerintah. Organisasi BKMM daerah Kecamatan Wonosari ini diketuai oleh Bu Tamim, yang anggotanya memang di kecamatan ini semua terdiri dari kaum perempuan.

Selain itu, Bu Nur Asiah juga mendirikan Jamaah an Nuriyah di Bangelan. Jamaah An Nuriyah berdiri pada akhir tahun 1988. Jamaah ini melangsungkan pengaosan setiap malam Rabu, malam Kamis, malam Selasa (pengajian thoriqoh) dan malam Sabtu (pengajaran Al Qur’an). Dimana kesemua anggotanya adalah ibu-ibu di masyarakat. Jumlah jamaahnya kisaran 60 orang, mereka berasal dari ragam wilayah seperti Tumpangrejo, Dawung, dan Krantil. Perjuangan sejauh ini selalu tidak bebas dari tantangan, beliau menuturkan bahwa di masyarakat itu selalu ada orang yang tidak suka. Tapi hal itu bukan halangan untuk tidak berdakwah dan menebarkan kebaikan pada masyarakat. Kebenaran itu tidak semua orang menerima.

Selain ngeramut jamaah majelis yang berbasis keagamaan, Nur Asiah juga getol dalam perjuangan pemberdayaan perempuan. Ia membentuk komunitas ibu-ibu untuk mencari nafkah dengan membuat kuliner makanan, mulai dari lauk-pauk hingga jajanan. Komunitas ibu-ibu ini merambah ke beberapa kampung. Kebiasaan jualan kuliner ini sebelumnya sudah dilakukan Asiah di Gresik yang kemudian dimulai kembali di Malang.

Pandangannya Terkait Perbedaan Masyarakat

Dulu dan sekarang karakter saya itu berbeda,” tuturnya. Di masa mudanya, beliau masih banyak dan besar egonya. Tapi pada akhirnya kembali pada ayat inna akromakum indallahi atqokum. Takwa tak hanya di lesan akan tetapi juga di dalam hati. Kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan/berdakwah soal efeknya itu kembali pada hak prerogatif Allah. Rasa jengkel dan marah ketika menghadapi jamaah juga kerap dialami Bu Nur Asiah, akan tetapi di sisi lain SDM di masyarakat juga berbeda beda, ada yang pernah mondok dan tidak, ngajinya masih tingkat rendah dan ada yang tingkat tinggi dan memahami beberapa ilmu syariat. Beliau menuturkan bahwa seyogyanya kita memberikan jawaban sesuai dengan tingkatan keilmuwan masyarakat, kalau syariat ya syariat kalau sudah meningkat ya ke tarekat. Kita harus pandai-pandai memahami pola masyarakat agar apa yang kita sampaikan sedikit-sedikit dapat diterima.

Siapapun itu adalah ciptaan Allah, kita tak boleh mengklaim orang lain. Jangan merasa menjadi diri yang baik sendiri! Membenci orang yang salah itu tidak boleh karena masih proses. “Cara menghadapi perbedaan masyarakat memang bilhikmah dengan bijaksana, misalkan berada dalam lingkup syariat ya syariat misal di tarekat ya tingkat tarekat. Apalah kita jika menyombongkan diri, masih banyak ulama yang alim di atas kita,” pungkasnya.

Prinsip Hidup

Satu prinsip yang dapat penulis ambil dari kisah beliau dapat disimpulkan dari pernyataan langsung beliau, “Dakwah adalah kehidupan saya. Ketika bekerja pun harus tetap berdakwah.” Di manapun beliau berada, beliau senantiasa mengajarkan ilmu Allah. Ketika berada di Gresik pun, yang awal mulanya memiliki utjuan mencari mata pencaharian dan memperbaiki ekonomi, beliau tetap getol untuk berdakwah. Selain itu beliau juga sangat getol dalam mencari ilmu dengan alasan sebagaimana keistimewaan pencari ilmu di atas yang telah penulis singgung. Hal ini juga berangkat dari semangat yang ditularkan sang Kakak, M. Afandi padanya. Kemudian berkaitan dengan keilmuwan hakikat, beliau tidak berani memberikan statement buruk kepada seseorang yang secara dzohirnya terlihat buruk, karena sebatas penilaian manusia. Lain halnya dengan pandangan dan penilaian Allah padanya. Oleh karena itu, beliau tidak mudah untuk menjudgment seseorang. Karena orang yang terlihat buruk di mata manusia belum tentu buruk dalam penilaian Allah.

Index