Nasional

Gelar Kehormatan Habib: Modal Kapital dan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan?

×

Gelar Kehormatan Habib: Modal Kapital dan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan?

Sebarkan artikel ini

Gelar “Habib” mengandung makna prestise, penghormatan, dan legitimasi religius dalam pandangan masyarakat, dikarenakan gelar tersebut diasosiasikan dengan keturunan Nabi Muhammad. Hal ini memberikan pemegang gelar otoritas moral dan sosial, yang sering kali diterima tanpa perlu dibuktikan melalui kompetensi keilmuan atau kontribusi sosial yang nyata. Akibatnya pengagungan, dan penghormatan tersebut menjadikan gelar Habib, sebagi penyalahgunaan otoritas keagamaan. Pada rabu (30/4/2025) seorang Terlibat sebagai pelaku pelecehan terhadap 31 anak di bawah umur, latar belakang individu yang teridentifikasi sebagai predator seksual tersebut ternyata bukan berasal dari kalangan yang umum, yakni dari kalangan seorang Habib. Inisial beliau adalah SZA. Menurut pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Dwi Subagio, pelaku tindak kejahatan seksual tersebut mendekati para korban melalui aplikasi komunikasi daring. Dikutip dari Radar Jawa Pos Jawa Tengah, “Pelaku memulai dengan rayuan, lalu meminta korban membuka pakaian. Jika korban menolak permintaan berikutnya, dia mengancam akan menyebarkan foto dan video itu,” jelas Dwi. Lebih parah lagi, lebih dari 10 korban bahkan diajak bertemu langsung oleh pelaku dan menjadi korban kekerasan seksual dipaksa berhubungan. Walaupun tidak bersentuhan dengan langsung, dengan gelar tersebut. Aksi tersebut sangat disayangkan karena beliau memiliki penghormatan dihadapan masyarakat.

Gelar habib juga merupakan modal sosial. Gelar ini juga memberikan akses kepada jaringan sosial yang luas, terutama di kalangan pesantren, jamaah tarekat, serta kalangan elite politik. Habib sering kali memperoleh akses istimewa kepada tokoh-tokoh penting dan institusi keagamaan. Meskipun tidak secara langsung, gelar Habib dapat diinterpretasikan sebagai suatu aset ekonomi yang bernilai, yang mencakup undangan untuk memberikan ceramah, pengaruh terhadap sumbangan dari umat, serta posisi strategis dalam organisasi kemasyarakatan atau partai politik, atau bahkan melakukan tindakan kriminal yang jauh dari Uswatun Khasanah Nabi Muhammad SAW.

Sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu, menjelaskan bahwa modal simbolik merupakan bentuk kekuasaan yang diperoleh melalui pengakuan sosial terhadap simbol-simbol tertentu, seperti nama, gelar, atau atribut budaya. Dalam konteks ini, istilah “Habib” berfungsi sebagai simbol legitimasi. Gelar ini menempatkan pemiliknya dalam posisi yang lebih tinggi di hadapan masyarakat umum. Otoritas religius yang melekat sering kali tidak berasal dari kapabilitas keilmuan, melainkan berdasar pada garis keturunan yang sulit untuk diverifikasi. Akibatnya gelar tersebut dinyatakan sebagai kebenaran ilahiah, padahal Nabi Muhammad SAW dengan tegas menolak perlakuan yang berlebihan (ghuluw) dalam memberikan penghormatan kepada diri beliau. Hal ini mencerminkan bahwa Islam tidak mendorong adanya kultus individu, bahkan terhadap Rasulullah sekalipun.

Mendekontruksi Makna Simbolik habib merupakan suatu bentuk upaya masyarakat dari legitimasi religius, dan modal sosial yang condong terhadap suatu hal. Untuk mengurangi fanatisme, pengagungan berlebihan terhadap manusia. Padahal Islam datang itu untuk mengajarkan arti kemanusiaan yang sesungguhnya. Menantang dominasi simbolik yang berpihak (tidak murni). Maka dari pada itu ruang sakral dalam sebuah gelar harus diuji dalam aspek manusia tersebut, segi historis, sosiologis, dan etis. Dengan tujuan menyaring antara kesalehan yang otentik dan kesakralan yang dikonstruksi demi kepentingan duniawi.