Urupedia – Ketika ada saudara atau kawan yang telah meninggal dunia, biasanya dibacakan Alfatihah, entah dibaca secara langsung maupun ditulis melalui chat di media sosial.
Kemudian, bagaimana hukumnya membaca Alfatihah kepada orang yang telah meninggal? Hal ini pun di jawab oleh KH. Ma’ruf Khozin dalam laman facebook pribadinya.
Dia menjelaskan bahwa ahli hukum dalam agama Islam itu harus mencermati permasalahan dengan lebih dalam.
“Masalah Fatihah yang dibaca untuk orang yang wafat mestinya diperinci menurut ulama Salafi, misalnya: Fatihah itu bagian dari Al-Quran. Menurut ahli hadis kami, Syekh Al-Alim AlAllamah Nashiruddin Al-Albani ada dua pendapat, di kitab Ahkam Janaiz tidak membolehkan. Di kitab lainnya boleh membaca Fatihah bagi anak-anak almarhum,” tulis KH. Ma’ruf Khozin.
Hal ini didasarkan pada fatwa Syekh Al-Alim AlAllamah Nashiruddin Al-Albani dalam kumpulan hadis-hadis Sahih:
وخلاصة ذلك أن للولد أن يتصدق ويصوم ويحج ويعتمر ويقرأ القرآن عن والديه لأنه من سعيهما ، وليس له ذلك عن غيرهما إلا ما خصه الدليل مما سبقت الإشارة إليه . و الله أعلم . (السلسلة الصحيحة – ج 1 / ص 483
“Kesimpulannya, bahwa anak boleh bersedekah, berpuasa, berhaji, berumrah dan membaca Al-Quran untuk kedua orang tuanya. Sebab anak merupakan usaha orang tua (QS. An-Najm 39). Dan anak tersebut tidak bisa melakukan itu semua untuk selain orang tuanya, kecuali yang dikhususkan oleh dalil, yang telah dijelaskan,” (al -Silsilah al-Sahihah, 1/483)
“Tapi anda tidak akan menemukan cara menjawab seperti itu dalam kelompok mereka. Bidah ya Bidah, meskipun ulama Salafi jika tidak memiliki dalil jangan diterima. Rupanya ulama Salafi juga banyak ditemukan fatwanya tidak memiliki dasar hadis Sahih,” jelas KH. Ma’ruf Khozin.
“Bagi kami dalam Mazhab Syafi’i, membaca Fatihah yang dibaca untuk orang yang sudah wafat berdasarkan metode ijtihad berupa istinbath (menggali hukum dari dalil) Qiyas Aulawi,” lanjutnya.
KH. Ma’ruf Khozin menjelaskan bahwa metode istinbath Qiyas Aulawi, apabila dilihat dari teks zahir hadis memanglah tidak terlihat, tapi menurutnya disinilah letak Badzlu Wus’i. Kemudian, tugas seorang ulama Mujtahid adalah mengerahkan kemampuan ilmunya untuk berijtihad. Hal ini sebagaimana yang dikaji oleh Imam As-Subki dari hadis berikut:
فقالوا لهم هل فيكم راقي فإن سيد الحي لديغ أو مصاب. فقال رجل منهم نعم فأتاه فرقاة بفاتحة الكتاب فبرأ الرجل فأعطى قطيعا من غنم فأبى أن يقبلها. وقال حتى أذكر ذلك للنبي – صلى الله عليه وسلم-. فأتى النبي -صلى الله عليه وسلم- فذكر ذلك له. فقال يا رسول الله والله ما رقيت إلا بفاتحة الكتاب. فتبسم وقال « وما أدراك أنها رقية » (رواه مسلم)
Mereka berkata: “Adakah dari kalian yang dapat meruqyah? Pemimpin kabilah sakit digigit hewan berbisa.” Lalu oleh sahabat dibacakan ruqyat surat Fatihah, lalu sembuh. Setelah tiba di Madinah, sahabat sampaikan pada Nabi, Nabi senyum bertanya: “Kok tahu kalau Fatihah adalah Ruqyah?” (HR Muslim)
Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari berkata:
قال الشبكي تبعا لابن الرفعة … الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه إذ قد ثبت أن القارئ لما قصد بقراءته نفع الملدوغ نفعته وأقر النبي صلى الله عليه وسلم ذلك بقوله { وما يدريك أنها رقية } وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بها أولى لأنه يقع عنه من العبادات بغير إذنه ما لا يقع عن الحي . (أسنى المطالب – ج 12 / ص 139
Al-Subki: “Berdasar dalil hadis jika sebagian Quran diniatkan untuk mayit, maka manfaat. Seperti hadis bahwa ada sahabat baca Fatihah untuk orang yang tersengat, lalu Nabi bersabda: “Dari mana kamu tahu bahwa Fatihah adalah ruqyah?” Jika fatihah ditujukan kepada yang masih hidup dapat berguna, maka kepada orang mati lebih berguna,” (Asna Mathalib, 12/139).
Editor : Ummi Ulfatus Sy