
Kebisingan Jakarta menjadikan kota yang seakan tak pernah tertidur. Seni tradisional Betawi hadir membawa gambaran baru terhadap dunia teater.
Rabu sore (12/6/2025) kemarin, Gedung Kesenian Jakarta kembali menghidupkan seni Tradisional Betawi yang kian tergerus ombak globalisasi, Topeng Blantek.

Komunitas Topeng Blantek Fajar Ibnu Sena, sore itu menarik perhatian penonton lewat pementasan “Sarba Mayangsari”, sebuah lakon yang disutradarai oleh Nasir Mupid. Acara ini turut dihadiri oleh Rusmantoro, Kasudin Kebudayaan Jakarta Selatan, Bang Haji Noval, selaku Pembina kampung silat petukangan, dan Hadi Winarno, dosen STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi sekaligus Pembina sanggar ondel-ondel pesanggrahan, yang selama ini konsisten merawat denyut nadi tradisi di bawah tanah.
Lakon ini bukan sekadar cerita rakyat Betawi, melainkan kritik tajam atas realitas sosial yang dibungkus dalam genre komedi, musik, hingga tarian khas Betawi.
Sarba Mayangsari ini berkisahkan seorang laki-laki berumur 40 tahun bernama Sarba. Hidupnya, terus-menerus diberikan stigma negatif, belum menikah.
Akhirnya, tekanan sosial memaksanya untuk menerima kenyataan. Sarba menerima lamaran H. Marzuki untuk menikahi putrinya, Mayangsari.
Namun, nahasnya perahu rumah tangga mereka sunyi dari tawa dan tangisan buah hati. Dalam tekanan batin yang terus-terusan menghantui mereka, Sarba memutuskan untuk pergi ke Gunung Batu Sempuh seraya mengucapkan janji.
“Jika istriku mengandung, aku akan membawa bekakak kebo,” ucapnya.
Tuhan mengabulkan janjinya. Namun, janjinya tak kunjung dilunasi. Sarba pun tewas akibat kutukan atas janji yang terlupakan.
Disinilah letak kekuatan narasi: membentangkan batas antara harapan, kewajiban, dan ketundukan manusia pada kalimat yang diucapkan.
Lebih dari Sekedar Hiburan
Lakon ini merupakan cerminan budaya masyarakat Betawi di masa lalu. Sebuah satire spiritual tentang nazar, tekanan budaya, dan konsekuensi pasti yang menanti.
Semua dikemas dalam gaya khas Betawi, Topeng Blantek ̶ musikal, jenaka, dan Gerakan yang penuh energik.
Generasi muda menjadi ujung tombak dalam pementasan ini. Anak-anak muda seperti Aziz, Adel, Apik, Aping, Ahsan, dan Rey menjadi semangat yang membara dalam menghidupkan seni tradisional yang hampir terlupakan di kanca internasional.
Mereka berhasil membawakan lakon ini dengan ekspresi yang tak bisa bohong. Segala ekspresi dan dialog yang dijalankan membawa kita ke era dahulu.
Kalbu Penonton Berkata: Apresiasi dan Catatan Penting
Tak sedikit penonton yang terpikat pada pementasan teater tradisional ini. Rusmantoro, Kepala Suku Dinas (kasudin) Kebudayaan Jakarta Selatan, memuji pementasan ini.
Tak hanya itu, disisi lain ia memberikan sebuah catatan penting, agar ciri khas dalam sebuah seni teater tidak akan pernah hilang.
“Pementasan ini sudah sangat bagus. Tetapi, saya rasa ada ciri khas yang sedikit hilang, lampu kecil kuning di sebuah pementasan. Maka dari itu, pementasan selanjutnya harus diperkuat kembali,” ujar Rusmantoro.
Kekaguman juga datang dari Perempuan hebat. Fatin, mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra UNJ, mengaku terhipnotis alur cerita yang dibawakan.
“Sampai-sampai saya tidak sadar kalau pertunjukannya selesai. Banyak pesan moral yang bisa kita petik dalam lakon ini,” tuturnya penuh semangat.
Bahkan, fatin pun terinspirasi untuk ikut andil dalam melestarikan dan mengembakan seni-seni tradisional, seperti Topeng Blantek ini.
Sisi lain, Grace seorang dosen FBS Universitas Negeri Jakarta, melihat potensi besar pementasan ini dari aspek Pendidikan.
“Ini bisa menjadi gerbang awal generasi muda ke seni tradisional. Paling tidak, mereka kenal dulu. Kemudian, bisa berkembang menjadi sebuah penelitian seperti skripsi, artikel atau bentuk karya ilmiah lainnya,” jelasnya.
Menjembatani Budaya dan Zaman
Sarba Mayangsari menunjukan kepada kita bahwa seni tradisional bukan sekedar warisan masa lalu, tetapi sebagai jembatan komunikasi antar generasi.
Ketika budaya diolah dengan narasi yang kontekstual, maka budaya itu tidak akan pernah musnah, akan terus bertumbuh dan berkembang.
Pesan paling kuat yang dapat kita serap adalah “Setiap janji yang diucapkan merupakan hutang yang harus segera dilunasi, jika tidak maka kalian harus terima konsekuensinya.”
Dan di situlah Topeng Blantek berdiri gagah di Gedung Kesenian Jakarta, bukan hanya hiburan, tapi untuk mengingatkan.