
Urupedia.id- Kita pernah berada di sebuah posisi dimana untuk pertama kalinya mendapatkan sebuah pengumuman bahwa kita telah lulus dari SMA.
Ini berarti masa sekolah berakhir.
Tinggal bagaimana menentukan langkah hidup selanjutnya.
Melanjutkan studi, bekerja, atau rencana hidup lainnya.
Jika memilih kuliah maka kita harus bersiap untuk menghadapinya.
Kuliah adalah salah satu jalan yang berpotensi mempertemukan kita dengan masa depan yang lebih baik.
Disebut potensi karena kuliah itu memberikan bekal-bekal yang penting dalam kehidupan.
Jika hasil kuliah digunakan secara baik maka akan memberikan banyak manfaat dalam kehidupan.
Saat awal masuk, terbayang bagaimana kita akan mewujudkan aneka rencana, membayangkan bagaimana nanti menghadapi mata kuliah, berpakaian bebas dan mendapat teman baru.
Namun ekspektasi itu tidak selalu sejalan dengan realitas.
Sesungguhnya begitulah hidup. Selalu ada jurang antara harapan dengan kenyataan.
Banyak mahasiswa yang mengalami “Culture Shock”.
Transisi dari masa SMA yang terstruktur ke lingkungan kampus yang menuntut otonomi penuh adalah salah satu perubahan hidup terbesar.
Ini merupakan ladang subur bagi isu kesehatan mental.
Tidak sedikit mahasiswa yang siap menghadapi transisi ini.
Mentalnya telah terasah. Perubahan akan dihadapi dengan baik.
Namun tidak sedikit juga yang mengalami limbung.
Masa transisi adalah masa yang cukup berat.
Meninggalkan rumah, mengharuskan beradaptasi secara akademik, menghadapi persoalan sosial, persoalan kemandirian, dan aneka persoalan harus dihadapi.
Di sini diperlukan pemahaman dan kesadaran.
Ini yang akan menjadi kunci masa depan. Jangan lagi menggunakan cara berpikir seperti sewaktu SMA.
Menjadi mahasiswa berarti harus siap menghadapi tuntutan akademik yang tidak tingan.
Tidak ada lagi guru yang menuntun sebagaimana waktu SMA. Anda harus inisiatif belajar mandiri.
Menjadi mahasiswa baru berarti menghadapi kehidupan baru.
Pagar sosial yang kita miliki semasa SMA telah runtuh. Kita harus membangun jejaring pertemanan dari nol di lingkungan yang sangat beragam.
Bagi yang merantau, beban berlipat ganda: melawan kerinduan rumah sambil mati-matian mencoba terlihat baik-baik saja dan diterima oleh lingkungan baru.
Dan kemudian, media sosial datang. Ini adalah muara yang mengakumulasi kecemasan.
Saat anda sedang bergulat dengan materi kuliah yang tidak dipahami di kamar kos, feed media sosial menampilkan teman seangkatan yang sudah aktif di organisasi bergengsi, teman SMA liburan ke luar kota, atau nilai cemerlang yang dipamerkan di story.
Kita terjebak dalam perbandingan sosial yang sangat toksik.
Kita membandingkan behind the scenes hidup kita yang penuh kekacauan dengan “High light Reel” orang lain yang sempurna.
Tekanan ganda inilah—tuntutan dunia nyata yang berat plus citra ideal di dunia maya—yang menciptakan perasaan inadekuat, cemas berlebihan, dan berpotensi memicu sepresi.
Akibatnya, minat kuliah melemah bahkan hilang. Motivasi menurun.
Energi hidup meredup. Kita harus berhenti mendefinisikan sukses berdasarkan timeline orang lain.
Kita harus sadar bahwa perubahan ini normal, tetapi keterpurukan bukanlah adalah langkah awal untuk menjaga kesehatan mental di babak baru ini.
Solusi Praktis untuk Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa Baru
- Atur ekspektasi secara realistis. Kuliah tidak selalu mulus, dan itu wajar. Terima bahwa adaptasi butuh waktu.
- Bangun sistem belajar yang sesuai dengan diri sendiri. Buat jadwal belajar, ringkasan, atau teknik manajemen waktu yang efektif.
- Cari komunitas positif. Bergabunglah dengan organisasi atau kelompok minat yang membuat Anda merasa diterima.
- Batasi konsumsi media sosial saat sedang rentan. Sadarilah bahwa apa yang Anda lihat bukan gambaran utuh kehidupan seseorang.
- Terbuka dengan orang lain. Ceritakan perasaan kepada teman dekat, mentor, atau keluarga. Berbicara membantu mengurai beban.
- Jangan ragu mencari bantuan profesional. Jika kecemasan atau tekanan terasa makin berat, konselor kampus atau psikolog adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan dukungan.
Ekspektasi yang tidak terpenuhi, tekanan akademik, perubahan sosial, dan pengaruh media sosial dapat mengguncang mental.
Menjadi mahasiswa berarti memasuki babak baru yang penuh peluang sekaligus tantangan.
Namun dengan kesadaran, strategi yang tepat, dan keberanian untuk meminta bantuan, masa transisi ini bisa dilewati dengan baik.
Kampus mungkin tidak selalu seindah bayangan, tetapi dengan pengelolaan diri yang sehat, perjalanan ini tetap dapat menjadi pengalaman yang berharga.
Oleh: Qubba Najwa Ilman Naim, Mahasiswa KPI UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung






