Deskripsi Masalah :
Di saat Rasulullah masih hidup, para sahabat tidak kebingungan dalam memecahkan suatu problem, karena mereka punya pedoman dan panutan yang masih ada, sehingga sahabat tidak semerta-merta menghukumi suatu masalah tanpa ada imbauan langsung dari Rasulullah. Semenjak Beliau wafat, banyak para sahabat yang agak kesulitan untuk memecahkan masalah, sehingga harus ada kesepakatan antara satu dengan yang lain.
Namun ada sebagian sahabat yang memang membidangi satu disiplin ilmu, contoh kecilnya seperti Abdullah ibn Abbas yang mendapat doa langsung dari Rasulullah supaya bisa memahami ilmu agama dan ta’wil, walaupun sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membidangi, seperti Ali ibn Abi Thalib.
Setelah periode sahabat, banyak ulama’ yang sudah mulai membukukan tafsir Al-Qur’an, mereka punya cara tersendiri untuk menafsiri ayat-ayat Al-Qur’an, yang mana cara ini terkadang tidak disetujui oleh sebagian ulama’, seperti halnya memasukkan cerita-cerita Israiliyyat. Dalam menyikapi metode penafsiran yang seperti ini, ulama’ sangat hati-hati, mereka memilih mana riwayat yang sahih dan yang maudlu’.
Diakui atau tidak, kita sering membesar-besarkan cerita Israiliyyat yang menurut sebagian ulama’ tidaklah benar. Seperti halnya cerita Nabi Ayyub as yang menurut sebagian mufassir, cobaan yang menimpa beliau adalah, kulitnya sampai melapuh bahkan dagingnya pun dimakan ulat. Dalam masalah ini, kita bukan hanya mempercayai, bahkan menceritakan kepada peserta didik atau khayalak umum. sebenarnya permasalahan seperti ini tidak akan berimbas pada keyakinan, melainkan pada keabsahan dalil yang dipakai.
Pertanyaan :
a. Bolehkah mengambil dan menceritakan cerita-cerita israiliyyat kepada siswa/khayalak umum?
Jawaban:
a. Cerita israiliyyat terbagi menjadi tiga jenis:
Pertama, jenis israiliyyat yang diketahui kebenarannya karena isinya sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits, seperti cerita tentang ciri-ciri Nabi Muhammad Saw. israiliyyat jenis ini boleh diceritakan.
Kedua, cerita yang diketahui kebohongannya karena isinya bertentangan dengan al-Quran dan al-Hadits, seperti cerita tentang para Nabi yang isinya mencederai derajat ishmah mereka, menceritakan jenis israiliyyat kedua ini adalah haram.
Ketiga, cerita yang tidak diketahui benar dan tidaknya, maka boleh disampaikan, namun lebih baik tidak menyampaikannya.
Referensi:
1 . Tafsir Ibnu Katsir, vol. 1, h. 4.
2. Al-Isroiliyat wa Al-Maudlu’at, h. 106
3. Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, vol. 1 , h. 37.