Mozaik

Memaknai Ulang Kemerdekaan dalam Diri Ala Kaum Sufi

×

Memaknai Ulang Kemerdekaan dalam Diri Ala Kaum Sufi

Sebarkan artikel ini
Memaknai Ulang Kemerdekaan dalam Diri Ala Kaum Sufi
Ilustrasi Sufi-Klimkin-pixabay

Urupedia – Segenap umbul-umbul dan bendera merah putih telah terpancang tegak di setiap pelataran rumah kita. Pertanda peringatan kemerdekaan di depan mata. Gelegak riuh tua-muda tumpah ruah menyongsong peringatan “merdeka”. Dari situlah nampak, seberapa pentingnya arti merdeka.

***

“Tidak ada dunia yang lebih membahagiakan dibanding rasa merdeka. Semua orang berjuang untuk merdeka. Semua orang menginginkan kebebasan yang sebebas-bebasnya,” demikian ucap KH. M. Luqman Hakim.

Tentu setiap orang harus memastikan bahwa dirinya merdeka, tetapi tidak hanya merdeka secara dohir saja. Saat yang bersamaan, kita perlu memastikan diri kita tidak dijajah pula oleh ketamakan batin yang menyandarkan harap pada manusia.  

Merdeka dari Ketamakan

Syekh Ibn Athaillah Assakandari dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan merdeka jika ia merasa telah berputus asa (tidak mengharapkan) sesuatu, dan seseorang dikatakan menjadi budak jika ia tamak (berharap pada sesuatu).

أَنْتَ حُرٌّ مِمَّا أَنْتَ عَنْهُ آيِسٌ وَ عَبْدٌ لِمَا أَنْتَ لَهُ طَامِعٌ

“Kamu merdeka dari segala yang tidak kamu harapkan, dan kamu budak bagi apa-apa yang kamu harapkan”

Lantas Syekh Abdullah Assyarqowi dalam Sayarah Hikam mengatakan:

 الطمع في الشىء دليل على الحب له وفرط الاحتياج الى نيله وذلك عبودية له كما أن اليأس من الشىء دليل على فراغ القلب منه وغناه عنه وذلك حرية منه فالطامع عبد واليائس حر

Artinya, “Menaruh harapan kepada sesuatu adalah tanda mencintainya dan tanda sangat berhajat untuk menggapainya. Sampai sini seseorang sudah menghamba kepadanya. Demikian halnya putus asa atas sesuatu adalah tanda kekosongan hati dan kekayaan hati darinya. Sampai sini orang merdeka darinya. Orang yang berharap itu hamba. Mereka yang putus asa itu adalah orang merdeka,”

Dari ibarot tersebut dapat diketahui bahwa seseorang belum dikatakan merdeka jika ia masih terkungkung oleh harapan-harapannya (hawa nafsunya). Karena harapan itulah yang akan mempermainkannya dan menjeggalnya untuk merdeka. Lebih dari itu, tamak merupakan sifat tercela yang mempotensikan kita ke jurang hina, lara dan dosa.

Menyitir dhawuh Gus Baha, “Anda jangan gemar senang pada sesuatu yang tidak pantas disenangi (diharapkan)”. Tetapi kita selaku manusia sering lupa. Kita masih sering berharap untuk disenangi semua orang, berharap balasan orang lain atas kebaikan yang kita lakukan, berharap rasa kita dibalas sepadan oleh seseorang yang kita senang, itu semua adalah lara yang kita pupuk sendiri dan menjadi bukti nyata bahwa diri kita memang belum merdeka.

Begitu bahayanya sifat tamak bahkan Sayyidina Ali Karraamallahu Wajhah menjelaskan bahwa sebab penyebab dari rusaknya agama adalah ketamakan. Senada dengan itu, Syekh Ibn Athaillah juga mengatakan bahwa sumber dari macam-macam kehinaan adalah tamak.

ما بَسَقَتْ أَغْصانُ ذُلٍّ إلّا عَلى بَذْرِ طَمَعٍ

“Tidak akan tumbuh kembang dahan kehinaan kecuali atas adanya biji ketamakan”

Dari qoul tersebut Syekh Ibn Atthaillah memberi gambaran bahwa kehinaan adalah sebuah pohon. Sedangkan dahan-dahannya adalah perumpamaan cabang-cabang kehianan. Seakan beliau mengatakan “Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga tumbuh kembang menjadi pohon kehinaan yang dahannya bercabang-cabang.”  

Merdeka adalah Orang yang Merasa Cukup

“Kemerdekaan tertinggi terwujud saat seseorang  merasa cukup dengan apa yang dimilikinya”

Syekh Zakaria al-Anshari dalam karyanya Al-Garurul Bahiyyah Fi Syarhil Bahjah  AL-Wardiyyah mengatakan bahwa standar seseorang dikatakan merdeka adalah merasa cukup dan menerima apapun yang ada pada dirinya dan tidak tamak pada apa-apa yang ada pada orang lain.

الْعَبْدُ حُرٌّ إنْ قَنِعْ وَالْحُرُّ عَبْدٌ إنْ طَمِعْ

فَاقْنَعْ وَلَا تَطْمَعْ فَمَا شَيْءٌ يَشِينُ سِوَى الطَّمَعْ

Artinya” Seorang hamba sahaya layaknya orang merdeka jika ia merasa cukup dengan apa yang ada, dan orang merdeka layaknya seorang hamba sahaya jika ia rakus. Maka terimalah apa yang ada, dan jangan rakus, karena sesungguhnya tidak ada perangai yang lebih jelek daripada rakus.”

Syekh Syatho Dimyati menegaskan bahwa qana’ah dapatmenanggung pelakunya sehingga seseorang yang memiliki sifat qana’ah akan senantiaasa diliputi rasa syukur atas segala karunia-Nya.

Keadaan-keadaan demikianlah yang diartikan kaum sufi sebagai esensi dari kemerdekaan diri. Di hari kemerdekkan ini, marilah kita berkontemplasi secara kolektif dalam rangka memaknai kemerdekaan sejati. Namun jangan salah faham, tulisan ini merupakan peringatan bagi kita semua yang masih sering menghamba pada tempat tamak yang semu (selain Allah), dan hikmah ini sama sekali tidak bertujuan untuk mengkerdilkan semangat kita dalam berprestasi dan meraih himmah aliyah. Wallahu A’lam

Index