Urupedia – Uang merupakan satu-satunya alat transaksi jual beli yang sah di Indonesia, bahkan di dunia dengan mata uang yang berbeda-beda. Tingkat kepentingannya yang tinggi membuat manusia bekerja keras untuk menghasilkan uang. Bahkan, ada orang bilang tidak bisa hidup tanpa uang, saya kira benar adanya.
Tampilan uang dengan mata uang rupiah selalu mengalami perkembangan, bahkan sejak zaman purba yang hanya dalam bentuk logam sederhana. Saat ini tampilan uang sudah jauh lebih bagus daripada uang keluaran tahun-tahun sebelumnya. Hingga yang terbaru, yakni uang kertas tahun emisi 2022 yang diluncurkan pada 18 Agustus 2022.
Bank Indonesia mengungkapkan bahwa uang baru diluncurkan dalam rangka meningkatkan kualitas uang itu sendiri, mulai dari penggunaan warna yang lebih tajam, unsur pengaman yang lebih kuat, dan daya tahan bahan uang yang lebih kokoh.
Terlepas dari tahu atau tidaknya masyarakat tentang alasan uang baru diluncurkan, mereka tetap berbondong-bondong untuk menukar uang baru saat menjelang hari Raya Idul Fitri kemarin.
Sekilas, masyarakat begitu menyukai uang baru sampai banyak THR lebaran yang beredar dalam bentuk uang baru. Namun, di hari ketika saya mulai berbaur dengan ibu-ibu di tempat penjual sayur. Saya dibuat berpikir dengan keluh kesah mereka terkait uang baru.
Kemiripan yang Mengecoh
Secara umum masyarakat sudah mengenal ciri khas uang kertas di Indonesia dengan berbagai macam warnanya. Sampai-sampai, tanpa melihat nominalnya pun, mereka sudah tahu lembar mana yang hendak diambil baik dari dompet maupun dari loker.
Namun, warna uang baru pecahan Rp.2000,00 yang sekarang memiliki kemiripan dengan uang Rp.50.000,00. Kemudian uang pecahan Rp.5000,00 mirip dengan uang Rp.100.000,00. Bayangkan! Bagaimana rasanya jika kamu sebagai pedagang memberi uang kembalian cukup banyak setelah mengira uang lima ribu sebagai uang seratus ribu, tentu akan sangat rugi, bukan?
“Lah, tak kiro uang satusan iki maeng.” (Lah, saya kira uang seratus ribu ini tadi)
Begitulah kira-kira ucap seorang pedagang sayur tempat saya berbelanja ketika sedang melakukan transaksi kepada pembeli lain.
Si penjual kemudian bercerita bahwa ketika dia hendak berniat memasukkan uang lima ribu ke amplop THR, dia hampir saja memasukkan uang seratus ribu. Wah, bisa dibayangkan betapa menyesalnya dia seandainya itu tidak dipergoki oleh anaknya yang kebetulan melihat aktivitas sang ibu.
Benar-benar mengecohkan.
Tidak Suka Uang Baru
Sewaktu kecil, saya adalah salah satu orang yang antusias mencari uang baru ketika pemerintah telah resmi mengedarkannya. Setelah dapat, saya dan teman-teman saling memamerkan hasil. Mengumpulkannya seolah barang antik. Padahal, barang antik adalah barang langka peninggalan masa lalu, bukan justru yang baru. Ada-ada saja kami waktu itu.
Dari pengalaman dan pengamatan saya, lumrahnya orang-orang lebih menyukai uang baru daripada uang lama. Seperti ketika saya meminta uang kepada kakak saya dan dia menyerahkan uang lama tanpa pikir panjang.
“Ojo sing iki, tak simpen.” (Jangan yang ini, kusimpan)
Begitulah jawabannya ketika saya meminta untuk diberi uang yang baru.
Fakta yang saya percaya sejak lama bahwa orang-orang lebih menyukai uang baru seketika agak goyah ketika suatu hari melihat seorang ibu berbelanja dan diberi kembalian berupa uang baru. Kemudian dia berkata, “Ojo sing iki, ndak demen aku.” (Jangan yang ini, saya tidak suka)
Kalimat tersebut pun mendapatkan respon berupa dukungan dari ibu-ibu lainnya.Tunggu, bukankah uang baru tersebut yang akan beredar dan bertahan di Indonesia? Lalu bagaimana jika masyarakat tidak menyukainya?
Harus Lebih Teliti
Inovasi dalam bentuk uang yang menimbulkan keluh kesah ini bisa diatasi dengan meningkatkan ketelitian bagi masyarakat yang melakukan transaksi. Mulai dari memastikan untuk melihat nominal dengan jelas, jangan hanya melihat dari warnanya! Jangan melipat uang saat melakukan transaksi!
Lalu bagaimana jika orang tua yang melakukan jual beli tersebut memiliki penglihatan agak buruk? Maka solusi terbaik adalah menciptakan kesadaran bagi orang muda untuk meluruskan ketika melihat kekeliruan dalam transaksi yang dilakukan oleh orang tua.
Jangan sampai kita diam ketika melihat kecurangan dalam jual beli!