Judul Buku : Hanasta Mayapada
Pengarang : Hendricha Della
Penerbit : Rumah Karya (2023)
Jumlah halaman : x +178 halaman
Ada dua konsekuensi dari apa yang disebut luka, kesabaran dan murka. Namun dalam buku ini, penulis mengajak kita untuk senantiasa merawat luka dengan kesabaran.
Buku ini dibuka dengan prolog narasi Khaira:
“Kubaca buku bersampul langit biru. Sebuah buku yang membesarkan hatiku, menghapus duka-dukaku, melukis senyum panjangku.”
Alur cerita ini dimulai dengan rasa sesak di dada, menandakan kesedihan pada pemerannya. Meski demikian, cerita ini disusun dengan alur yang ciamik, kisah yang epic sehingga pembaca dibawanya dengan syahdu. Beriring desir angin dan rajut tiap katanya.
Buku ini mengajak pembaca untuk flashback pada masa lalu, dengan membuka lembar buku biru yang Khaira temukan di rumah pohon. Ia berusaha menampik kenyataan bahwa kekasihnya telah tiada. Ia menguatkan hati agar tidak rapuh berkepanjangan.
Di dalamnya, tersimpan catatan-catatan penting semasa merajut cinta bersama Amir, sang Kekasih hingga menjelang kepergiannya.
Banyak kenang yang terukir, namun segalanya hanya dapat diputar ulang lewat cerita yang penuh makna.
“Catatanku masih tentangmu, Amir. Butuh seribu hari untuk meredam luka yang disebabkan oleh kepergianmu.” (hal. 52)
Sajak dan rima yang disuguhkan pun begitu indah dan rapih sehingga pembaca dibuat hanyut dalam lautan katanya.
Penulis menegaskan bahwa kesabaran harus selalu ditempa untuk berusaha menerima apa yang telah digariskan oleh takdir.
“Hal terpanjang yang takkan ditemukan ujungnya adalah rasa sabar yang bersembunyi di balik kata menerima.” (hal. 64)
Tak hanya dirinya seorang, Khaira mendapar suport dari orang-orang sekelilingnya untuk menjadi pribadi yang utuh dan tak menyimpan luka.
Di sisi berkisah tentang luka buku ini juga mengisahkan bahagianya anak gadis yang telah menemukan sosok ayah yang telah dicarinya beberapa lama.
“Berkali-kali telah kulangitkan doa perihal pertemuanku dengan seorang ayah, namun tak kunjung tiba juga. Sabar adalah kunci agar hati terhindar dari rasa benci dan prasangka buruk yang menggerogoti keutuhannya.”
Lagi-lagi penulis mengingatkan pembaca untuk meluaskan sabar dan maafnya atas keadaan yang berada di luar kendali dirinya.
“Kekuatan bukan milik mereka yang tak pernah menangis. Namun kekuatan adalah milik mereka yang sabar dan maafnya luas.” (hal.110)
Di sisi ada banyak kelebihan, pastilah buku ini memiliki celah kekurangan. Diksi yang dituliskan masih terdapat yang boros kata serta narasi pengulangan. Kendati demikian, generally karya ini menarik karena diulas dengan gaya bercerita yang berbeda.
Dengan demikian, peresensi menyajikan penutup dari penulisnya;
“Karena waktu, aku harus melepas. Karena Maha Lembut-Nya, Dia berlaku ikhlas.” (hal. 152)