Urupedia-“Kita berjuang di masyarakat itu ibarat naik perahu. Adakalanya dayung kita yang mengendalikan air. Adakalanya pula kita yang dikendalikan arus ketika sangat besar. Namun, kita harus tetap kokoh memegang dayung.” (Bu Nur Asiah)
Latar Belakang Sosial
Ibu Nur Asiah merupakan perempuan tangguh yang berasal dari keluarga sederhana. Beliau lahir dari pasangan ayah dan ibu yang bernama Pak Matja’i dan Bu Giyem. Ayahnya merupakan sosok yang sangat menekankan kedisiplinan dalam hal ilmu agama pada putra-putrinya. Ketika Nur Asiah kecil tidak mengaji, maka akan dimarahi. Berbeda halnya ketika tidak masuk sekolah (sekolah umum), Asiah tidak mendapatkan marah. Ayah beliau merupakan orang yang sangat tekun, ilmu apapun yang dimiliki selalu diamalkan, meskipun sebelumnya belum pernah mengenyam pendidikan pesantren akan tetapi ayahnya sendiri merupakan seorang guru ngaji, Mbah Abdullah. Sang Ayah dipastikan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Menurut penuturan Bu Asiah, sang Ayah mempelajari ilmu tasawuf pada usia lansia kepada orang alim sekitar Desa Bangelan, salah satunya bernama Kiai Mufidz dan Kiai Syaerozi. Adapun Bu Giyem, ibunya memang dari kalangan awam, namun beliau merupakan istri yang sangat taat. Ayah Bu Asiah menikah dengan dua perempuan, yakni Bu Kasmilah dan Bu Giyem. Sepeninggal istri pertamanya, Pak Matja’i menikahi Bu Giyem.
Dari istri pertama melahirkan seorang putra bernama M. Afandi. M. Afandi melalangbuana ke berbagai wilayah, ia mengejar ilmu dimana pun ia berada. Di mana ada orang alim, dia berguru di situ. Afandi memiliki jiwa dakwah yang tinggi, di setiap tempat yang ia singgahi, ia membangun masjid dengan hasil jerih payah keringat sendiri. Ia menjelajahi beragam tempat dalam rangka menguatkan keimanan. Karena begitu baik budi luhurnya, hingga ketika hari wafatnya, saudara-saudaranya dari Jawa mengunjungi Kalimantan dan disambut dengan baik oleh penduduk di sana. Adapun istri yang kedua melahirkan Bu Nur Asiah, Bu Siti Fatimah, Bu Siti Khasanah, dan Pak Imron Fauzi.
Mbah Buyut dari Bu Nur Asiah termasuk orang alim, bahkan termasuk tokoh agama Desa Bangelan. Pada awal mula mengajarkan ngaji di Desa Bangelan, beliau mendirikan musala yang digunakan anak-anak mengaji. Menurut cerita orang dahulu, Mbah Yai Abdullah mengajarkan solat dan membaca Al Quran pada warga Desa Bangelan. Di lain sisi, kakek dari jalur ayahnya juga merupakan seseorang yang ahli tirakat meskipun tidak memiliki murid. Sampai pada akhirnya, perjuangan untuk menyebarkan agama tersebut diteruskan oleh Ayah Bu Nur Asiah, Pak Matja’i. Bahkan banyak dari murid-muridnya yang menjadi kiai, seperti Pak Supangi, Pak Suwandi, dan Pak Satuan.
Hal yang paling ditekankan sang Ayah kepada Bu Asiah adalah untuk senantiasa menunaikan “salat”. Salah satu hal yang dikagumi Bu Asiah dari sosok Ayahnya adalah selalu menghindar jika ada kerumunan yang membicarakan keburukan orang lain (ngerasani).
Latar Belakang Pendidikan
Nur Asiah mengenyam pendidikan dasar sampai kelas 5 di SDN 1 Bangelan, selebihnya mengenyam pendidikan pesantren. Ketika mengenyam pendidikan dasar, Asiah belajar Al-Qur’an kepada kakaknya sendiri, M. Afandi dan Hj. Salamah. Selain itu, Asiah juga berguru pada putra Bu Hj. Salamah, Pak Mukhid. Kemudian beliau juga memiliki guru tilawah yang bernama Pak Sholeh dan Pak Abdul Jalil. Karena kegetolannya dalam belajar, Nur Asiah kecil sudah bergaul bersama ibu-ibu bahkan menghadiri khataman Quran rutin yang ada di desa.
Setelah mengenyam pendidikan dasar hingga tingkat kelas lima tersebut, Asiah tidak langsung melanjutkan ke pendidikan pesantren karena memang latar belakang keluarga dari keluarga yang sangat sederhana. Ketika seusia kelas 6 tingkat Dasar, Nur Asiah mengikuti kompetisi Tilawah Qur’an (MTQ) yang diadakan oleh berbagai persero, termasuk perusahaan kopi yang ada di Bangelan, (PT Perkebunan Nusantara) PTPN XII, beberapa pabrik rokok seperti Gudang Garam dan beberapa persero lain. Alhasil beliau menyabet juara 3. Sementara temannya, Mbak Narsih menyabet juara 1. Pada saat itu, juara 1-3 dan harapan berkesempatan melanjutkan kompetisi dan melakukan karantina di pabrik teh daerah Wonosari, Lawang. Dari peserta satu rayon itu dibimbing oleh Pak Zaidun dari Singosari. Setiap hari, para kontingen berlatih qiroah. Untuk pelaksanaan kompetisinya diadakan tepat pada saat Nuzulul Qur’an tanggal 17 Ramadhan di pabrik rokok Gudang Garam, Kediri. Namun saat kompetisi ini beliau belum berhasil menyabet kejuaraan.
“Siapa yang menuai kebaikan pasti akan memanen kebaikan. Akan tetapi barang siapa yang menuai keburukan pasti akan memanen keburukan pula.”(Sebuah kata mutiara yang penulis dapatkan ketika menyimak kisah perjalanan hidup beliau semasa kecil, diselingi dengan berbagai petuah mendaging)
Pendidikan Pesantren
Adapun pendidikan pesantren dienyam di daerah Gondang, Blitar, yakni di Asrama Perguruan Islam Salafiyah (APIS) yang diasuh oleh Kiai Shodiq Damanhuri. Asiah menempuh pendidikan pesantren selama 6 tahun. Tepat tahun 1983, orang-orang berduyun untuk menimba ilmu di Pondok Remaja APIS, baik dari lulusan SPG, SMA, maupun MA.
Tahun 1986-1987, Pesantren APIS mulai membuka Pondok Mambaul Hisan untuk tingkat usia dini. Sebelumnya anak-anak tingkat dasar mengenyam pendidikan pesantren di Sedayu Gresik kemudian ketika dibuka pondok asuh (untuk tingkat sekolah dasar) dan untuk usia tingkat dini, maka diarahkan ke Mambaul Hisan. Mambaul Hisan ini membuka beberapa cabang di Carangkembang, Jabang, dan beberapa cabang lainnya.
Saat itu Nur Asiah dilibatkan sebagai pengajar anak-anak Mambaul Hisan. Amanat mengajar yang diberikan kepadanya bukanlah tanpa alasan, karena beliau memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga ia pantas untuk mengemban amanat tersebut. Beliau senantiasa tidak berhenti untuk belajar, bahkan tidak malu belajar dengan teman-teman sekelasnya. “Dari semua santri itu saya salah satu orang yang tidak memiliki ijazah. Akan tetapi saya termasuk kategori orang yang tidak malas belajar. Walaupun itu dengan teman sekelas, ” tutur Bu Nur Asiah.
Pesantren APIS saat itu memang sangat masyhur dalam mencetak para santri menjadi muballigh. Di sana terdapat agenda rutin yang wajib ditunaikan oleh masing-masing santri, yakni muhadoroh untuk melatih public speaking para santri. Acara Muhadhoroh diadakan di pesantren setiap malam Kamis. Asiah mengaku tidak pernah menyiapkan teks karena memang tidak bisa menulis. Tampak semua santri membawa kertas dan menghafalkan teks masing-masing. Akan tetapi beliau memiliki kelebihan, alhasil selalu mendapatkan juara ketika dilangsungkan muhadhoroh. Sehingga beberapa santri mengakuinya sebagai sosok yang pandai. Terdapat satu hal ikonik saat melakukan muhadhoroh bagi santriwati zaman itu yakni memakai pakaian kebaya karena Bu Nyai pun dan muballigh pada zaman dahulu memang mengenakan pakaian sedemikian rupa.
Seiring berkembangnya zaman, pesantren ini mengalami kemunduran karena ada persaingan dengan pesantren yang sepaket dengan pendidikan umumnya. Akan tetapi setelah itu mengalami kemajuan lagi karena ada tahfidz Al Qur’annya.
Seorang murid pastilah memiliki seorang guru idola. Semasa itu Nur Asiah mendapatkan banyak motivasi dari sang Guru. Salah satu gurunya yang sangat lekat nasehat dan pengalaman bersamanya adalah Kiai Imam Suhrowardi. Satu nasehat yang masih lekat dalam benaknya adalah tentang didikan Kiai Imam Suhrowardi tentang kesiapan mental, bahwa kapanpun dibutuhkan harus siap.
“Guru saya Kiai Imam Suhrowardi itu memang ladunni, ndak pernah sekolah. Belajarnya menulis saat beliau menjadi skretaris. Saya banyak ditempa oleh beliau. Beliau juga menguji kesetiaan santri. Ketika beliau nimbali niku mapan disek, kemudian bertanya, wonten dawuh, Kiai? Sebagai contohnya diutus mengikuti pidato bahasa arab. MasyaAllah beliau dawuh, “Aku ngerti lek awakmu raiso makane tak kongkon melu, makane belajaro!”
Dari dorongan tersebut, Asiah bersemangat belajar dan mempersiapkan kompetisi. Selain itu, terdapat satu kisah ketika beliau bersama dengan Kiai Imam Suhrowardi berkunjung ke Jombang dalam rangka bersilaturahim ke berbagai pesantren. Beliau mengunjungi sebuah warung makan, Asiah remaja disuguhkan pecel lele oleh sang Kiai. Keesokan harinya, Asiah diutus membuat sambel mentah sebagaimana yang dimakan kemarin. Beliau mengaku hingga saat ini lihai dalam membuat sambel mentah karena berkah dari guru beliau. Dawuhnya beliau, “sambelno koyo wingi!” memang begitulah metode mendidiknya Abah Imam dengan menekankan pengalaman langsung seorang santri.
Selain motivasi eksternal, Asiah juga memiliki motivasi internal dari dalam dirinya. Ia belajar di pesantren dengan sungguh-sungguh karena ia merupakan anak sulung, “Saya memang suka berjuang, saya memiliki semangat karena termasuk anak tertua. Jika saya tidak semangat maka kasian adek adek saya karena keburu mereka yang akan dibayai.”
Jiwa belajar Asiah begitu tinggi, pada usia sekolah menengah pertama Asiah telah mempelajari pelajaran tingkat aliyah. “Pelajaran yang seharusnya dipelajari di tingkatan atasnya saya sudah pelajari sebelumnya karena saking semangatnya. Sampai begitu kelas tiga tsanawiyah, saya mempelajari pelajaran aliyah.” Tak hanya itu saja, semangat Asiah menuntut ilmu tetap membara dan kokoh sampai usia tua. Karena zaman semakin canggih, beliau juga tak kalah dengan zaman. Beliau tidak menafikan teknologi sebagai sarana belajar, buktinya beliau menimba ilmu pada beberapa platform kajian online.
Terdapat suatu kenangan, pada saat masa mudanya Kiai Asrori Kedinding, beliau membaiat di Blitar. Setiap ada acaranya Kiai Asrori, Asiah bertugas sebagai pembaca manaqib. Beliau meyakini bahwa hal tersebut mendatangkan berkah wasilah menjadi ajudan Bu Nyai. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Bu Nur Asiah merupakan santri yang taat dan mituhu kepada guru. Ketika datang Ramadhan pun, banyak santri yang tabarukan ke berbagai pesantren, akan tetapi Asiah sendiko dawuh pada Bu Nyai untuk selalu berada di pesantren Gondang.
Selama di pesantren, Asiah juga seringkali membantu ndalem Kiai. Asiah sering membantu Bu Nyai di dapur karena notabene adalah keluarga petani yang terbiasa dengan kegiatan-kegiatan anak desa, seperti nampeni gabah. Kisah yang dituturkan, beliau nampeni gabah bersama anak ndalem dan satu temannya yang bernama Mbak Sabur hingga 2 kwintal karena tidak ada santri lain yang mau melakukan. Apalagi ketika terdapat acara baiat bersama Kiai Asrori.
Kiranya banyak kisah ciamik yang akan penulis tuturkan di sini, penuh hikmah dan nasehat. Pada saat itu Bu Nur Asiah bercerita bahwa ketika beliau diutus memijat Bu Nyai Shodiq Damanhuri, beliau mengisahkan kehamilan putranya. Diantara ke delapan anaknya memiliki karakteristik pada masa kehamilan yang berbeda. Beliau menuturkan bahwa ketika mengandung Kiai Imam Suhrowardi sregep nderes Al Quran bahkan dalam kurun tiga hari dapat mengkhatamkan Al Qur’an. Alhasil memang Kiai Imam menjadi pribadi yang alim dan memiliki ilmu ladunni, berkat berkahnya Al Qur’an.
Ibu Nur Asiah merupakan sosok santri yang taat kepada gurunya. Pada suatu waktu, beliau diberikan amanah oleh Kiai Imam Suhrowardi untuk mengikuti diklat jurnalis. Akhirnya beliau mengikutinya dan menjadi anggota jurnalis pesantren selama kurun waktu 2 tahun. Di sini Asiah menjabat sebagai anggota, karena memang posisi jurnalis saat itu sebagai tambahan dan hiburan. Sesuai dengan penuturannya bahwa kewajiban utama sebagai santri adalah untuk mengaji, seperti menghafalkan Alfiah, kitab nahwu fenomenal karya Ibnu Malik. Produk jurnalis ini berupa buletin El Wardah yang terbit setiap 3 bulan sekali. Topik yang diangkat tentang kisah kehidupan, kisah Rasulullah, pesantren dan masyarakat. Sayangnya, pembuatan buletin ini hanya berlangsung selama dua tahun saja karena minim generasi penerus.
Sebelum menjadi anggota jurnalis pesantren, terdapat kisah bermakna ketika beliau mengikuti diklat jurnalis yang dihadiri oleh salah satu wartawan Jawa Pos. Kesemua peserta ketika ditanya siapakah tokoh idola, setiap mereka menjawab wartawan yang menjadi idolanya. Namun Asiah remaja tak memiliki idola paling keren selain Nabiyullah Muhammad Saw. kemudian ketika ditanya cita-cita, ia menjawab menjadi “ibu yang baik.” Sontak seisi ruangan tertawa. Namun hal ini yang membuat wartawan Jawa Pos itu tertarik untuk bertanya pada Asiah. Kenapa memiliki idola Nabi Muhammad?
Dunia kejurnalistikan tampaknya memang tidak begitu diminati oleh Asiah, ia lebih tekun dalam mendalami kitab dan mempelajarinya hingga detail. Alasannya ketika membaca kitab, seseorang tidak mengandalkan ideologinya karena rentetan tulisan yang ada di sana adalah karya ulama yang ma’rifat, pemikiran dan ide bahkan termasuk nubuwwah dari ulama besar.