
Tulungagung — Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung tahun ini kembali digelar dengan semarak telah berjalan 2 hari. Rektor UIN, Prof. Abdul Aziz, menyebut kegiatan tersebut sebagai respon terhadap program Kementerian Agama mengenai Ekoteologi. Kampus bahkan meluncurkan program Reli Green yang digadang-gadang mampu membentuk kepedulian ekologis sejak dini, dengan kontribusi pada pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan kualitas pendidikan. (26/07/2025)
Outputnya tidak main-main. Sebanyak 3000 tempat sampah bambu yang dibuat mahasiswa baru diklaim akan diarahkan ke instansi seperti Dinas Perhubungan, Dinas Sosial, dan Dinas Pariwisata. Di sisi lain, kampus juga merencanakan penanaman 41 bibit pohon langka — mulai dari kelarak, nagasari, majapahit, hingga mindi — di lingkungan kampus maupun lahan baru yang masih dirahasiakan. Harapannya, 5–10 tahun ke depan pohon-pohon tersebut menjadi sarana edukasi, penelitian, sekaligus pelestarian ekologi lokal.
Namun di tengah jargon ekoteologi ini, muncul pertanyaan kritis: apakah mahasiswa baru benar-benar memahami makna dari gerakan tersebut? Ironisnya, materi ekologis hanya disampaikan formal tidak reflektif disampaikan dalam rangkaian PBAK. Bagaimana mungkin kesadaran lingkungan dibentuk hanya lewat serangkaian simbol seremonial tanpa ruang refleksi dan pendidikan ekologis yang sistematis?
Pencatatan rekor MURI seolah menjadi magnet utama kegiatan ini. Menurut Sri Widayati dari MURI, ini adalah kali ketiga pihaknya mencatatkan sejarah di UIN Tulungagung. Sebelumnya, tahun 2022 kampus ini meraih rekor “Buku tertebal karya mahasiswa baru”, lalu 2023 dengan “Lukisan kaligrafi Asmaul Husna terpanjang” sepanjang 1.500 meter. Kini, 2025, kembali tercatat dengan “Pembuatan tempat sampah dari bambu terbanyak” sebanyak 3.648 unit, mengalahkan rekor Pemkab Bandung yang hanya 2.399 unit. Capaian ini menandai rekor MURI ke-12.358.
Prestasi seremonial yang membanggakan? Mungkin. Tetapi apakah rekor semacam ini benar-benar membentuk kesadaran ekologis mahasiswa baru, atau sekadar memoles citra hijau kampus di mata publik?
Kritik justru datang dari dalam. Kaffin, panitia PBAK bagian Humas, mengakui ada banyak kekurangan koordinasi. Agenda tambahan berupa paper moop bahkan dipaksakan meski banyak divisi tidak setuju. Lebih jauh, beberapa panitia perkap dan humas mengaku tidak mengetahui adanya agenda tambahan tersebut setelah pencatatan rekor MURI.
Mahasiswa baru pun ikut bersuara. Hafidz, mahasiswa FEBI asal Trenggalek, mengaku kaget ketika tiba-tiba hadir tamu Forkopimda (Pejabat- pejabat daerah Tulungagung) tanpa pemberitahuan. Ketua Dema Ikhsan menambahkan bahwasanya acara pbak ini banyak, komunikasi dari rektorat. Kehadiran pejabat- pejabat daerah tanpa sepengetahuan dirinya. Tapi suatu pertanyaan menarik? Lantas apa fungsi mahasiswa yang katanya agent of change, agent of control?
Ia juga menyebut banyak miskomunikasi yang membuat mahasiswa baru resah, terutama terkait paper moop. Aturan yang berubah mendadak H-1 membuat sejumlah mahasiswa merasa kerja kerasnya sia-sia. “Mending tidak usah ada saja, daripada mendadak seperti ini,” ujarnya, menambahkan bahwa mahasiswa sudah diberatkan tugas lain seperti video, esai, dan pembuatan tempat sampah.
Meski begitu, Hafidz mengapresiasi bahwa perpeloncoan atau senioritas yang biasanya menghantui acara serupa nyaris tak terlihat pada PBAK kali ini. Namun harapannya tetap sama: agar panitia ke depan lebih matang dalam persiapan sehingga miskomunikasi dan keterlambatan agenda bisa diminimalisir.
Pertanyaan akhirnya kembali menggantung: apakah PBAK di UIN Tulungagung ini benar-benar berhasil menanamkan environmental awareness atau sekadar mencetak rekor dan menjalankan formalitas? Jika benar ingin membentuk generasi yang peduli bumi, seharusnya kegiatan tidak berhenti pada aksi seremonial, tetapi juga menyentuh ranah reflektif, kritis, dan aplikatif dalam keseharian mahasiswa.
Masyarakat tentu menunggu jawaban: apakah PBAK ke depan akan menjadi ruang pembelajaran ekologis yang nyata, atau hanya parade simbolis yang indah dipamerkan, namun hampa di dalamnya?
Reporter: M. Fakhirna Haqiqul Umam Jurnalis: Krisna Wahyu Yanuar






