Oleh: Ummi Ulfatus Syahriyah
النصوص متناهية والوقائع غير متناهية
Nash Al Quran itu terbatas, sedangkan fenomena/ kejadian yang terjadi itu tidak ada batasnya.
Al-Quran, menjadi salah satu sumber hukum Islam. Meski demikian, Al-Quran masih bersifat global. Hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran memerlukan penafsiran dan penjelasan lebih detail. Di antaranya penjelasan dari hadits nabi, qaul shabahah serta ijma’ para ulama’. Karena zaman semakin maju, tidak stagnan. Naskah/teks itu sifatnya terbatas, dan harus di sesuaikan dengan realitas yang ada agar esensinya tidak mati.
Bagaimana dampak dari teks yang hanya di tafsirkan tunggal atau bahkan tidak dikorelasikan dengan perkembangan zaman? Orang-orang hanya akan memahaminya secara sebela mata, tanpa melihat sudut pandang lainnya. Tulisan sebatas teks, yang dapat menghidupkannya adalah pembaca. Dan dalam pembacaan itu sendiri diperlukan pengetahuan dan wawasan agar tidak menyimpang jauh dari apa yang sebenarnya dikehendaki oleh nash.
Mengapa saya mencoba untuk mengulas hal ini? Karena cara pandang seseorang yang fundamentalis akan cenderung tekstualis. Memahami agama hanya pada lapis permukaan. John Cassanova, dalam bukunya Public Religions in the Modern Word, menyatakan bahwa agama itu bisa membuat sekelompok orang atau individu itu cenderung inklusif, eksklusif, bahkan pluralis.
Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Namun kenapa di dunia-dunia Barat cenderung mengalami islamophobia? Mereka cenderung diskriminatif dan benci terhadap muslim. Beberapa faktor yang menyebabkan islamophobia di dunia barat ini di antaranya sejarah masa lalu, pengaruh politik, pengaruh media massa, pandangan yang monolitis terhadap Islam, dan anggapan bahwa Islam sebagai sebuah ancaman.
Gerakan-gerakan terorisme, yang mendakwahkan Islam secara radikal dan keras memberikan kesan bahwa Islam itu agama perang. Islam seakan memerangi dan memberantas orang-orang yang bukan bagiannya. Yang pada hakikatnya Islam itu mengajarkan kemanusiaan. Menurut Sudibyo Markus, Islam adalah agama pertama yang mengajarkan toleransi. Sesuai dengan hal ini, maka dalam mendakwahkan dan menyebarkan agama harus dengan cara yang halus, bukan dengan kekerasan.
Makna jihad fi sabilillah kerap orang mengartikan dengan peperangan saja. Perang menggunakan senjata, melakukan bom bunuh diri, bahkan melakukan pembantaian dan pembunuhan. Jihad bisa bermakna bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Bahkan pada hadits Nabi Saw. beliau bersabda bahwa jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad yang paling utama. Benar memang, pada zaman Rasulullah Saw. umat muslim melakukan peperangan. Tetapi, peperangan itu tetap memperhatikan sisi kemanusiaan. Melindungi anak dan perempuan serta tidak merusak alam sekitar. Berkenaan dengan terorisme, hal ini justru menimbulkan kerusakan dan kematian secara tragis dari orang-orang yang tak berdosa, maka terorisme di sini antitesa dengan konsep jihad fi sabilillah.
Bapak pluralisme, Gus Dur menyatakan bahwa esensi agama dalam kehidupan kontemporer adalah nilai kemanusiaannya, termasuk pluralitas kehidupan sosial dan kulturalnya. Jadi, menghargai manusia lain, nilai kemanusiaan, melindungi hak setiap manusia itu sangatlah penting dilakukan di tengah kehidupan beragama. Hal ini sejalan dengan pemikiran Prof. Quraish Shihab, Mufassir Indonesia, menekankan prinsip serta nilai kemanusiaan dan sosial merupakan jalan untuk mewujudkan Wasathiyah/moderat.
Tuhan tidak perlu dibela, kiranya judul buku Abdurrahman Wahid yang fenomenal itu menampik gagasan fundamental dan radikal dalam beragama. Seorang sufi, Al Hujwiri mengatakan, “Bila manusia menganggap Allah itu ada hanya karena mereka yang merumuskan maka pada hakikatnya mereka sudah kafir.” Melakukan peperangan atau penyerangan secara keras demi membela Tuhan justru mengurangi ke-Maha-an-Nya. Justru berkecimpung dalam persoalan manusia dan kemanusiaan demi menghargai dan melestarikan keberagaman ternyata hal demikian yang membela Tuhan.
Narasi yang panjang di atas pada intinya menggiring kita pada satu concern, “hargailah perbedaan!” Mengapa narasi-narasi tentang pemahaman teks tanpa dikorelasikan dengan konteks itu saya bubuhkan? Karena dari situlah semua bermuara. Mayoritas orang-orang yang hanya melakukan penafsiranan tunggal dan memaknainya sebatas pada permukaan hanya akan menggiringnya pada kesalahpahaman. Bahkan menjadi ancaman bagi keberagaman bangsa. Karena menginginkan hanya yang dia yang benar dan yang lain salah. Meski dalam narasi Budhy Munawar Rachman mengatakan bahwa salah jika menganggap semua agama itu benar. Yang tepat adalah semua agama memiliki kebenaran versi masing-masing. Jadi agama A tidak bisa memaksakan kebenaran miliknya terhadap agama B. Nah, inilah nanti yang akan mengancam keberagaman dan persatuan negeri ini.
Penulis: Umi Ulfa. S