Urupedia – Gus Dur, dalam pemikiran dan argumen yang disajikan melalui karya tulisnya memberikan bacaan yang kompleks. Latar belakangnya yang gandrung terhadap sastra, termasuk bentuk novel maupun beberapa seni pertunjukan dan film yang bergenre barat maupun china memberikan pengaruh terhadap tulisan yang dibuat. Satu hal yang penulis kagumi dari sosok Gus Dur adalah, ia menyajikan bahasa yang begitu sastrawi sehingga membuat tulisan-tulisannya tidak bersifat kaku. Bisa dikatakan tulisan-tulisannya bersifat filosofis-sastrawi. Gus Dur pun merupakan sosok yang cerdik dalam menciptakan humor, meski demikian tetap dapat menyelipkan hal serius. Dalam istilah gramatika arab, penulis menyebutnya sebagai ilmu mantiq.
Kerap kali dalam artikel yang dibukukan oleh beberapa penerbit Gus Dur mengutip dan merefleksikan suatu karya sastra dan film kepada teori yang ada. Greg Barton pun mengamini hal ini, bacaan dan segala yang disukai Gus Dur turut memberikan sumbangsih pada pembentukan kemanusiaannya.(Barton, 2002)
Gus Dur merupakan sosok yang multidimensional dan multitalent, ia merupakan pengamat seni dan penikmat sastra, intelektual yang kritis, politisi yang getol dengan hak kaum tertindas dan minoritas, serta sosok ulama yang kharismatik. Bahkan deskripsi yang penulis sajikan belum bisa sepenuhnya mewakili sosok Gus Dur yang begitu sempurna.
Gus Dur memperluas pandangan bangsa kita bahkan bangsa lain di seluruh penjuru dunia tentang Islam. Dalam kutipan ‘Islam Kosmopolitan’ ia mengatakan:
Ketika saya menulis tentang kisah penembak misterius, orang luar negeri yang memperhatikan Indonesia mengatakan, “inilah pandangan Indonesia tentang hak-hak asasi manusia,” manusia tidak boleh dibunuh begitu saja. Waktu itu pandangan Islam dianggap luas, padahal semua itu pandangan dan sumbangan saya sebagai manusia Indonesia yang berlatar belakang muslim.(Wahid, 2007)
Sikap Gus Dur mewakili seluruh muslim Indonesia, bahwa satu persepsi akan membawa nama keseluruhan. Gus Dur merupakan sosok yang humanis, dalam tataran ini ia mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan umum dibandingkan pribadi maupun golongan. Selain humanis, ia merupakan sosok yang inklusif, terbuka dengan segala masukan dan apapun yang berada di luar dirinya. Maksudnya, Gus Dur menghargai liyan (orang lain) meski mereka berbeda, baik dalam hal agama maupun budaya. Menurut Zuhari Misrawi, inklusif merupakan tangga awal menuju pluralisme, namun pluralisme memerlukan sikap inklusif untuk menghendaki adanya persatuan di tengah realitas keberagaman.(Misrawi, 2010)
Sikap yang dicontohkan Gus Dur tersebut dapat melunturkan virus-virus Islamophobia yang selama ini membuat orang awam takut dengan Islam. Islam dianggap sebagai sebuah ancaman dan suatu hal yang berbahaya. Hal ini dikarenakan Islam yang nampak dari beberapa oknum penuh dengan kekerasan dan pemberontakan. Bayangkan saja jika muslim Indonesia bertindak eksklusif pada agama lain, Islamophobia akan meluas dan ketakutan kepada Islam semakin meningkat. Negara lain memandang Indonesia sebagai bangsa yang kejam dan beringas. Padahal, kekerasan ini hanya dilakukan oleh beberapa oknum yang berlatar belakang muslim radikal dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia. Kita kembali merefleksi pernyataan Gus Dur di atas, bahwa pandangan satu orang dapat mewakili keseluruhan. Satu golongan bisa mewakili keseluruhan atas nama Bangsa Indonesia karena tindakan yang dilakukan. Menurut penulis, Gus Dur dalam hal ini berpesan kepada generasi muda untuk memperkenalkan corak Islam yang damai dan rukun, terkhusus Islam di Indonesia. Kemudian akan menjadi icon dan role model bagi Islam di seluruh penjuru dunia.
Gus Dur merupakan sosok yang istimewa, bagi penulis ia mampu menggenggam formalitas ajaran agamanya tanpa terjebak dengan formalisme. Kaum radikalis mempelajari teks secara instan tanpa melakukan kontekstualisasi, mereka anggap ayat-ayat jihad memberikan kehalalan atas darah manusia lain, padahal tidak demikian. Jika hal ini terus menerus berlangsung, hukum normatif Islam, khususnya dalam tataran fikih akan dianggap sebagai salah satu aspek yang memberikan sumbangan besar dalam munculnya gerakan tersebut. Namun, hal ini tak bisa dibenarkan, buktinya Gus Dur juga merupakan sosok yang fikihsentris, dalam beberapa tulisannya, menyajikan hukum-hukum fikih dalam berpijak dan mendasarkan suatu argumen. Penulis mengingat kaidah ushul yang sering dilontarkan Gus Dur dalam bukunya adalah “Dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masalih.” Bahwa mencegah kerusakan harus lebih didahulukan daripada menarik suatu kemaslahatan. Dalam sikap humanisnya pun, Gus Dur berangkat dari lima prinsip hukum syariat untuk menjaga agama, menjaga keturunan, menjaga jiwa, menjaga harta, dan menjaga akal.(Arif, 1384)
Jenis humanisme Gus Dur adalah humanisme religius, menghargai potensi akal manusia namun tetap berpijak pada wahyu. Kita ketahui awal kemunculan humanisme yang ada di dunia Eropa, pada masa pencerahan agama dianggap sebagai penghalang seseorang bersikap kritis sehingga mematikan kreativitas berfikirnya. Pada masa pencerahan muncullah teori yang menghargai potensi akal manusia bahkan melebihi wahyu dalam agama, karena pada masa itu agama bersifat menghegemoni.
Berbeda halnya dengan Gus Dur, ia dapat mempertahankan esensi ajaran agama sembari memperjuangkan kemanusiaan. Manusia dituntut kritis untuk menafsirkan ulang ajaran agama, sesuai batas koridor yang ada. Sesama manusia dan makhluk Tuhan harus saling mengasihi dan menyayangi karena permusuhan justru akan mendatangkan murka. Realitas bangsa Indonesia yang plural membuat Gus Dur menawarkan solusi untuk saling berinteraksi dan melakukan dialog aktif sehingga keberagaman ini tetap terawat. Bagaimana jika perpecahan terjadi di mana-mana? Bangsa ini takkan damai dan penuh dengan permusuhan.
Harapannya, Indonesia dapat menjadi duta negara perdamaian dengan banyak keberagaman di dalamnya, suku, bangsa, bahasa, etnik, dan agama tidak menghalangi untuk menyatukan pendapat dan hidup berdampingan dengan damai sejahtera.
Referensi:
Arif, S. (1384). Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Barton, G. (2002). Biografi Gus Dur “The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid.” Yogyakarta: LKiS.
Misrawi, Z. (2010). Al Quran Kitab Toleransi; Tafsir Tematik Islam Rahmatan lilalamin. ttp: Pustaka Oasis.
Wahid, A. (2007). Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.