Berita

Skandal Chromebook dan Bayang-Bayang Digitalisasi Pendidikan

×

Skandal Chromebook dan Bayang-Bayang Digitalisasi Pendidikan

Sebarkan artikel ini
https://share.google/images/Aosgm58trgFu56CfR

Urupedia.id- Jakarta – Proyek ambisius laptop Chromebook senilai Rp9,3 triliun yang digadang-gadang bakal menjadi tonggak digitalisasi pendidikan justru berujung pada skandal hukum. Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, sebagai tersangka korupsi dengan dugaan kerugian negara Rp1,98 triliun.

Kasus ini bermula dari rapat internal antara Nadiem dan Google Indonesia pada 2020. Tak lama berselang, lahirlah Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 yang menetapkan standar perangkat berbasis Chrome OS untuk sekolah-sekolah. Regulasi inilah yang kemudian dinilai menjadi pintu monopoli vendor tertentu. Audit Badan Pemeriksa Keuangan dan penyelidikan Kejagung menemukan indikasi mark-up harga, pengaturan tender, dan pembelian perangkat lunak Chrome Device Management yang membebani anggaran hingga ratusan miliar rupiah.

Kritik kian deras ketika ribuan laptop yang dibagikan ke sekolah pada 2022 rusak, lemot, dan tidak kompatibel dengan kebutuhan belajar offline. Alih-alih memudahkan, sebagian guru menilai program ini justru menambah beban administrasi sekolah.

Nadiem melalui kuasa hukumnya, Hotman Paris, menegaskan tak ada praktik mark-up. Ia menyebut harga pengadaan lebih rendah daripada e-katalog dan pemilihan Chromebook berdasarkan efisiensi serta keamanan sistem. Menurutnya, pertemuan dengan Google adalah bagian dari diplomasi teknologi yang wajar, sementara hubungan bisnis Google dengan Gojek tidak relevan dengan proyek ini.

Tempo mencatat, perkara ini bukan sekadar soal hukum, melainkan juga cermin rapuhnya tata kelola pengadaan barang di sektor pendidikan. Di atas kertas, proyek Chromebook seharusnya menjadi momentum modernisasi sekolah. Namun praktiknya, ketergesaan kebijakan, minimnya transparansi, dan lemahnya pengawasan justru membuka ruang korupsi.

Kasus ini menyisakan pertanyaan besar: apakah digitalisasi pendidikan akan benar-benar mengangkat kualitas belajar, atau justru menjadi lahan basah bagi rente kebijakan? Publik kini menanti, bukan hanya vonis hukum, tetapi juga keberanian negara untuk memperbaiki tata kelola proyek strategis agar tidak jatuh pada lubang yang sama.

Advertisements