
Urupedia.id- Beberapa hari yang lalu, dalam pembukaan Konferensi Internasional Persatuan Ilmuwan Prasejarah dan Protosejarah (UISPP) Inter-Regional Conference 2025 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali mengajukan teori Out of Nusantara untuk menandingi teori Out of Africa.
Fadli Zon mendasarkan teorinya pada keberadaan Java Man atau Homo erectus yang berumur sekitar 1,5 juta tahun di Jawa Tengah.
Serta beberapa bukti pendukung lain seperti lukisan di gua Sulawesi yang berusia sekitar 51.000 tahun.
Kita akui, penemuan tersebut merupakan salah satu yang terbesar di Asia.
Namun perlu ditegaskan kembali bahwa hal itu tidak berarti Homo erectus memulai penyebaran di wilayah Nusantara, sebagaimana diklaim dalam teorinya tersebut.
Homo erectus tetap berasal dari teori Out of Africa, dan hal itu telah banyak didukung oleh bukti kuat, baik dari bidang genetika, penemuan arkeologis prasejarah, maupun studi-studi paleontologis.
Padahal sudah tahu, teorinya jelas bahwa manusia pertama kali berevolusi di Afrika Timur sekitar 2,5 juta tahun silam dari satu genus kera yang lebih tua, Australopithecus.
Sekitar dua juta tahun yang lalu, sebagian dari mereka meninggalkan tanah asalnya (Afrika) untuk menyebar ke arah Afrika Utara, Eropa, dan Asia.
Sementara itu, evolusi manusia di Afrika Timur tidak berhenti.
Hal ini sekali lagi didukung oleh berbagai studi genetika, arkeologi prasejarah, dan paleontologi.
Karena itu, aneh rasanya ketika Fadli Zon mengemukakan klaim tersebut di forum internasional.
Dalam konteks politik kebudayaan saat ini, wacana Out of Nusantara berfungsi bukan semata sebagai gagasan ilmiah, melainkan sebagai alat simbolik untuk meng- glorifikasi sejarah nasional demi memperkuat citra rezim.
Pemerintahan Prabowo tengah berusaha mengonsolidasikan kekuasaan melalui narasi-narasi besar tentang kebangkitan bangsa, kedaulatan budaya, dan kejayaan masa lampau.
Fadli Zon, sebagai salah satu figur ideologis dalam kabinet tersebut, memainkan peran kultural dalam memperkuat citra itu.
Narasi semacam ini sangat khas dalam politik simbolik post-truth, sejarah tidak lagi dipahami sebagai disiplin ilmiah yang terbuka terhadap kritik, melainkan dijadikan instrumen legitimasi kekuasaan.
Dengan mengatakan bahwa “manusia pertama berasal dari Nusantara,” negara secara simbolik menempatkan Indonesia di pusat peradaban dunia—sebuah posisi yang memperkuat mitos nasionalisme budaya versi pemerintahan saat ini.
Alih-alih membangun peradaban Indonesia, Fadli justru tampak terjebak dalam inferiority complex.
Menurut saya, klaim tersebut bersifat retoris—lebih ditujukan untuk membangun narasi kesatuan Republik Indonesia, bukan klaim ilmiah yang berbasis bukti.
Yuval Noah Harari menyebutkan bahwa mitos kesatuan dalam intersubjective reality merupakan kemampuan khas manusia.
Untuk apa? Untuk mempererat kerja sama yang efektif, meskipun para anggotanya tidak saling mengenal.
Sebagai contoh, ketika Soekarno mengatakan bahwa bangsa Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh Belanda, masyarakat tidak terlalu peduli apakah hal itu benar secara historis.
Yang terpenting ialah bagaimana glorifikasi narasi tersebut mampu membangkitkan kesadaran akan kesatuan dan semangat perjuangan kemerdekaan.
Hal yang sama dilakukan oleh Fadli Zon melalui narasi bahwa “Indonesia merupakan peradaban tertua” atau “penyebaran manusia pertama berawal dari Nusantara.”
Terlepas dari benar atau tidaknya, yang diinginkan ialah menegaskan bahwa Indonesia juga memiliki kebanggaan sebagai bangsa berperadaban tua.
Namun, jika dibicarakan secara ilmiah, narasi semacam itu berpotensi mengaburkan batas antara mitos nasional dan kebenaran ilmiah.
Ilmu pengetahuan tidak dapat dibangun atas dasar kebanggaan semata tanpa dukungan bukti yang sahih.
Jika setiap negara menggunakan logika “kami yang paling tua,” maka diskursus ilmiah akan berubah menjadi arena adu nasionalisme, bukan pencarian kebenaran.
Ilmu semestinya membuka ruang dialog lintas bangsa, bukan memperkuat ego teritorial.
Terlebih lagi, teori Out of Africa sendiri bukan sekadar opini populer.
Ia lahir dari dekade panjang riset lintas disiplin—genetika, antropologi, hingga paleoklimatologi.
Bukti DNA mitokondria manusia modern (Homo sapiens) menunjukkan adanya satu nenek moyang bersama di Afrika sekitar 200.000 tahun lalu.
Jadi, keberadaan Homo erectus di Jawa tidak berarti manusia modern berasal dari Jawa.
Homo erectus hanyalah salah satu cabang evolusi yang tidak berlanjut menjadi Homo sapiens.
Dalam buku Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, Peter Carey dan Farish A. Noor menyinggung bagaimana kolonialisme Eropa sering menggunakan “ilmu pengetahuan” untuk membangun narasi keunggulan rasial.
Menariknya, kini justru kita yang menggunakan pola serupa yakni, menegaskan keunggulan leluhur Nusantara untuk melawan narasi Barat.
Padahal, tanpa disadari, pola berpikirnya sama—hanya aktor dan benderanya yang berganti.
Masalahnya bukan pada semangat nasionalismenya, melainkan pada caranya.
Ketika mitos disamarkan sebagai ilmu, kita kehilangan peluang untuk memahami masa lalu secara jujur.
Sejarah dan arkeologi seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan alat pembenaran identitas.
Jika ingin membangun kebanggaan bangsa, seharusnya hal itu dilakukan melalui kerja ilmiah yang serius—riset, publikasi, dan kolaborasi akademik internasional—bukan lewat klaim besar tanpa landasan.
Selain itu, seperti yang dikatakan Harari dalam Sapiens, kekuatan manusia justru terletak pada kemampuannya menciptakan makna bersama, bukan pada siapa yang lebih dulu ada di bumi.
Jadi, bukan berarti kita harus membuktikan bahwa Indonesia adalah asal segala peradaban, melainkan bagaimana kita menjadikan warisan peradaban yang ada sebagai sumber kebijaksanaan untuk masa depan.
Identitas bukan dibentuk oleh klaim asal-usul, tetapi oleh kesadaran untuk terus belajar dan beradaptasi.
Jika mau jujur, teori Out of Nusantara lebih tepat dibaca sebagai wacana politik kebudayaan daripada teori ilmiah.
Ia menarik untuk dikaji dalam konteks “pencarian jati diri bangsa” di tengah hegemoni pengetahuan global.
Namun, di titik inilah kita perlu waspada: antara kebanggaan dan kebenaran sering kali hanya dibatasi oleh satu hal—kejujuran intelektual.
Tanpa itu, kita hanya mengulang pola kolonial lama, hanya saja kini kita menjadi kolonialis atas kebenaran kita sendiri.
Oleh: Muhammad Rafli Firjatullah, Mahasiswa Sejarah UIN SATU Tulungagung






