Feature

Biografi KH. Ma’sum Achmad, Dari Ayam Jago Dari Jawa Sampai Mimpi Bertemu Rasulullah

×

Biografi KH. Ma’sum Achmad, Dari Ayam Jago Dari Jawa Sampai Mimpi Bertemu Rasulullah

Sebarkan artikel ini
Biografi KH. Ma'sum Achmad, Dari Ayam Jago Dari Jawa Sampai Mimpi Bertemu Rasulullah

Di Kisahkan oleh Agus KH. Nilzam Yahya saat haul Ponpes Al-Hidayat Lasem tanggal 13 Oktober 2021 M/06 Rabiul Awal 1443 H, beliau membacakan Manakib dari Simbah KH. M. Ma’sum Achmad.

Beliau menceritakan bahwa KH. M. Ma’sum Achmad lahir dengan nama Muhammadun, lahir pada 1870 M atau 1290 H. Ayah beliau bernama KH. Ahmad seorang saudagar. Dari jalur ayahnya beliau punya darah Sultan Mahmud Al Minangkabaui, yang makamnya di Jejeruk Lasem, dan silsilah beliau bersambung sampai Sunan Giri hingga sampai Kanjeng Rasul Muhammad Saw.

Ibu Mbah Ma’sum bernama Nyai Qosimah, KH. M. Ma’sum Achmad mempunyai 2 saudara, yaitu Nyai Zainab dan Nyai Malichah. Dan sejak kecil beliau telah di kirim ke berberapa Pesantren untuk mendalami ilmu agama. Di antaranya, Kiai Nawawi jepara, Kiai Ridwan Semarang, Kiai Umar Harun Sarang, Kyai Siroj Kajen, Kiai Abdus Salam, Kiai Idris Solo, Kiai Kholil Bangkalan, dan di Makkah beliau berguru pada Syekh Mahfud At Turmusi dari termas.

Salah satu tanda keutamaan Mbah Ma’sum yang telah secara kasaf di lihatkan oleh Kiai Kholil Bangkalan, seorang wali Kutub yang masyhur. Bahwa Mbah Kholil meminta para santri untuk membuat kurungan ayam, yang waktu itu Mbah Kholil ngendiko (Mengatakan. Red) “Tolong aku di buatkan kurungan jago, besok ada ayam jago dari tanah Jawa datang ke sini”, begitu Mbah Ma’sum datang, yang usianya pada waktu itu sekitar 20 tahunan, beliau langsung dimasukkan ke kurungan ayam itu, Mbah Ma’sum di minta langsung oleh Mbah Kholil.

Yang sangat luar biasa pengajaran-nya yang di lakukan oleh Mbah Ma’sum, pada saat diperintah oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang unik, pengajaranya di lakukan di sebuah kamar tanpa sebuah lampu, sedang santri-santrinya di luar. Mbah Ma’sum hanya 3 bukan di Bangkalan dan ketika hendak pulang Mbah Kholil memanggilnya dan di doakan dengan doa sapu jagad. Lalu Mbah Ma’sum melangkah pergi beberapa meter, beliau di panggil lagi dan di doakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi sama hingga berulang 17 kali.

Beliau menikah 2 kali, pertama, dengan Nyai Muslihah yang sampai meninggal tanpa keturunan, dan yang kedua dengan Nyai Nuriyah. Keponak Mbah Baidhowi. Beliau dalam mencari nahkah sempat berjualan baju jahitan Hj. Nuriyah, beliau juga berjualan perkakas rumah tangga atau klitikan di pasar Jombag. Sembari berdagang beliau mennyempatkan diri untuk memgajar umat. Dan selalu rutin berkunjung dan mengaji ke KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng. Beliau aktif sebagai khatib di forum musyawarah yang di pimpin langsung oleh KH. Hasyim yang menjadi Rois. Walaupun dari segi usia Mbah Ma’sum lebih tua.

Beliau berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW beberapa kali, dimana Rasul menasehati agar meninggalkan dagang dan beralih menuju pendidik umat. Mimpi itu terjadi di beberapa tempat. Di antaranya di Stasiun Bojonegoro, lalu di antara tidur dan terjaga beliau berjumpa Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW memberi nasihat dalam lafads yang sangat terkenal “la khoiro Illa fi nashril Ilmi” yang artinya tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu. Beliau pernah bermimpi bersalaman dengan Baginda Rasul Muhammad SAW dan setelah bangun tanganya berbau wangi.

Kemudian yang di alami itu di sampaikan kepada Mbah Hasyim Asy’ari. Yang biasa beliau memanggil Mbah Ma’sum dengan sebutan Kang Mas Ma’sum, Karena sudah sangat akrabnya. Mbah Hasyim mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi di tafsirkan dan sejak kejadian itu kehidupan mbah Ma’sum bertempat di Lasem dan istiqamah mengajar.

Sebelum membuat Pesantren beliau berziarah dulu ke beberapa makam waliyullah, seperti makam Habib Abdullah bin Ibn Thalib Al alattas Pekalongan, beliau juga sering datang ke Haul Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsy Kuitang Jakarta, dan makam Sultan Mahmud di Lasem dan setiap kali berziarah ke makam Jejeruk Mbah Ma’sum ahli di dalam sejarah.

Pondok Pesantren Al-Hidayat di didirikan pada 1918 M, yang di dahului dengan membangun musholla pada tahun 1916 M. Pada saat pembangunan itu ada persembahan dari Nyai Fatimah putrinya yang merelakan emasnya untuk pembangunan.

Dalam hidupnya beliau banyak mengajar dan berperan aktif langsung dalam dalam mendidik santrinnya. Kebiasaan beliau mengajar beberapa kitab yang di ajarkan terus dan berulang. Diantaranya Kitab Fathul Qorib, Kitab Fathul Wahab, Kitab Al fiyah Ibnu Malik. Kitab Riyadus Sholihin dan Kitab Ihya Ulumuddin.

Dalam mengajar beliau disiplin dan istiqamah, sebab Istiqomah istiqomah lebih baik dari seribu karomah. Dari Istiqomah beliau jadi banyak santrinya, salah satunya KH. Abdul hamid Pasuruan,  KH. Abdul Faqih Langitan. KH Bisri Mustofa Rembang, KH. Mustamid Abas Buntet Cirebon. KH. Imron Hamzah Surabaya. KH. Subhi musyadid Pekalongan, KH. Ahmad Syaifu Jakarta, Prof. Mukti Ali dan Prof. Dr. Saifuddin Zuhri yang ke dua ini akhirnya jadi menteri agama.

Mbah Ma’sum sendiri pada tahun 1955-1959 pernah berjuang di Parlemen menjadi anggota Konstituante, salah 1 kelebihan beliau yaitu ahli silaturrahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidup beliau diabadikan untuk masyarakat, terutama kaum dhuafa.

Beliau menggap pengabdian ini sebagai laku thoriqotnya. Menurutnya beliau sudah menggunakan thoriqoh langsung dari Rasul. Yaitu “hubbul foqoro wal masakin”. Mbah Ma’sum rajin silaturahmi ke santri-santrinya, tidak membeda-bedakankan santri satu dengan yang lain. Beliau rela naik turun gunung, masuk keluar kampung, masuk keluar kota. Hal demikian membuat hubungan dengan santri-santrinya sangat dekat dan erat.

Mbah Ma’sum menunjukkan totalitas dan ke istiqomahan dalam dakwah agama, dengan bersama sejumlah Kiai, termasuk KH. Hasyim Asy’ari dan Mbah Wahab yang bersepakat mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama yang berdiri tahun 1926 di Surabaya. Kemudian beliau melanjutkan pendirian NU di wilayah Lasem bersama KH Baidhowi Abdul Aziz dan KH. Kholik Masyhuri

Prinsip NU dalam masyarakat telah di praktekkan dalam sehari-hari beliau, yang kemudian di rumuskan oleh jam’iyah NU berupa sikap tasamuh, tawazun, i’tidal, tawasuth. Sebagai pendiri NU, beliau juga gigih berjuang mendukung, membesarkan NU bersama Kiai lainya. Beliau amat mencintai organisasi ini, Sehingga beliau tidak ridho jika anak turunya tidak mengikuti NU.

Mbah Ma’sum menjadi rujukan oleh banyak Kiai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doa. Contohnya ketika ada hangat-hangatnya pendirian Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN). Mbah Ma’sum termasuk yang setuju bahkan menjadi petinggi organisasi tersebut, dimana KH Baidhowi Abdul Aziz menjadi Roisul Akbar.

Selain itu banyak tokoh lain yang sowan ke beliau hanya untuk minta doa restu. Hal ini dilakukan oleh Prof. Ali Mukti saat di angkat jadi menteri. Beliau bersedia mendoakan Prof. KH Ali Mukti Ali jika dia mau mengikuti saranya. Yang salah satunya “Engkau jangan sekali-kali membenci NU karena membenci NU sama saja membenci aku. Karena yang mendirikan NU saya berasama-sama ulama lain. Tapi engkau Jangan membenci Muhammadiyah, PNI dan Partai lain. Engkau harus berdiri di tengah dan adil dengan lain”.

Ketika pecah pemberontakan G30S/PKI. Mbah Ma’sum salah satu tokoh yang di incar dan hendak di bunuh oleh PKI. Tapi beliau tetap memimpin Pondok Pesantren yang menjadi pusat perlawanan hingga bisa di tumpas. Pada saat itu polisi Lasem di bawahnya dan ketika rapat koordinasi dilakukan di Pondok Pesantren Dan santri-santrinya, seakan-akan polisi Lasem berpindah kantor.

Di bidang dakwah atas jerih payahnya menggugah kepedulian banyak orang untuk bergotong royong. Sehingga berhasil membangun 7 masjid Ploso dan desa sekitarnya. Tidak berhenti di situ. Beliau juga menugaskan santrinya untuk berdakwah.

Beliau wafat pada hari jumat 29 Oktober 1972M/12 Ramadhan 1329 H Jam 2 siang setelah sholat Jumat. Beliau di makamkan di komplek Masjid Jami’ Lasem. Pada saat pemakamananya dihadiri oleh banyak orang. Seorang ahli sejarah terkenal, Denys Lombard mengatakan bahwa “Mbah Ma’shum adalah seorang guru (Kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat Nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya”.

Penulis : Munawir Muslih. M

(Mohon Maaf jika ada kesalahan dalam kepenulisan nama)