Urupedia – Barangkali kita sering mendengar kata Suwung. Ketika mendengar kata tersebut, mungkin yang ada dalam pikiran kita adalah suatu kondisi sepi, kosong, tanpa teman, tanpa kerjaan, dan serba sendiri.
“Lagi suwung nih jalan yuk kemana gitu atau ngopi?”. Pemaknaan definisi yang demikianlah yang membatasi pemahaman kata Suwung. Jika kita mau mendalami dan memahami hakikat dari Suwung kita akan menemukan sesuatu yang lebih dalam dan lebih mengenal siapa sebenarnya diri kita. Mengapa kita bisa merasa Suwung? Bukan hanya ramai dengan kesendirian, atau sepi dari kerjaan, bahkan manusia dnegan banyak pikiran bisa jadi mengalami suwung.
Ketika pikiran manusia penuh dengan sesuatu yang harus dikerjakan, ia bingung mana hal yang harus ia prioritaskan? Disitulah tiba-tiba suwung. Barangkali suwung itu memang sering kali datang ketika kita tidak menyadari atau mengdatangkannya. Sering kali suwung berupa tatapan kosong ketika memandang sesuatu sampai pikiran menghalu kemana-mana, hingga mempengaruhi sanubari. Seakan-akan menyiksa batin.
Ketika seseorang mengalami suatu permasalahan dan sulit untuk memecahkannya, tiba-tiba berlari ke suwung. Seakan-akan suwung mempermainkan kehidupan seseorang yang dibuat kekosongan, bisa juga kebimbangan. Memang secara alamiah seperti itu, seakan-akan memeras pikiran kita.
Tapi mengapa seseorang ketika suwung tidak sadar? Bukankah sejatinya ketika suwung masih ada jalan keluarnya, yaitu berpegang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena hakikat suwung sama halnya seperti sesuatu yang kosong adalah isi, dan yang isi adalah kosong.
Nah, untuk itu marilah kita bercermin dari pandangan orang Jawa dalam memahami hakikat istilah Suwung, orang Jawa memaknai kata Suwung adalah kondisi hampa, sunyi dan sepi. Isinya hanyalah kekosongan itu sendiri, namun dibalik itu ada sesuatunya.
Konsep suwung dalam masyarakat Jawa merupakan lantaran dari rasa hampa yang sudah ada pada sendirinya. Namun dalam masyarakat penganut aliran sufi Jawa memaknai Suwung dengan istilah “Nafi” yang berarti tidak ada. Maksudnya adalah adanya tidak nampak oleh mata. Sehingga dimaknai sebagai nuansa kekosongan pengendalian diri yang sempurna menuju kesejatian kehidupan akan pribadi diri yang berkaitan dengan jalan Ketuhanan. Seperti dalam Serat Whedatama (Pungkur: 14) yang berbunyi:
Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung,tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wonganom sami
Artinya: Sebenarnya keadaan itu merupakan anugrah Tuhan, Kembali alam yang mengosongkan, tidak mengumbar nafsu duniawi, yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal muasalmu. Oleh karena itu, wahai anak muda sekalian.
Dalam penjelasan di atas menjelaskan terkait hakikat perjalanan menuju alam semesta yang bernama alam suwung. Alam suwung ini merupakan refleksi tempat dan asal kehidupan manusia sekaligus tempat kembali dalam memperoleh karunia Tuhan.
Untuk itu ketika kita berada dalam kondisi Suwung seharusnya mulai mengingat kembali Karunia dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada kita. Agar dalam perjalanan hidup kita bisa bermanfaat.
“Suwunglah pada tempat dan kondisi yang dapat mehamai dirimu dengan sendiri, tak terlepas dari Yang Maha Kuasa. Agar menemukan jalan pikiran yang jernih”
Penulis: AL Fatih Rijal Pratama
Editor: Ummi Ulfa. S