“Capek banget ya, baru saja selesai KKN dah harus lanjut magang, belum lagi tugas-tugas lainnya. Begini banget sih nasib mahasiswa semester tua. Pengen nikah aja, “keluhku pada salah satu sahabatku.
“Eits, nikah-nikah. Nikah bukan solusi, sudahlah jalani saja pilihanmu saat ini, selesaikan dulu apa yang sudah kamu mulai!” timpalnya.
Aku sebagai salah satu mahasisiwi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jawa Timur, kini memang dilanda beberapa kekhawatiran. Bagaimana tidak? tugas satu belum usai sudah muncul tugas yang lain. Belum lagi tekanan dari orang sekitar tentang sederet pertanyaan yang menanyakan ‘Sudah lulus kuliahnya?’ ‘Sudah kerja belum?’ ‘Sudah ada calon belum?’ ‘Kapan nih nyebar undangannya?’. Wajar saja tetangga ataupun teman sebayaku bertanya demikian, teman sebayaku memang sudah banyak yang bekerja, menikah dan memiliki buah hati.
Rentetan pertanyaan di atas membuatku overthinking. Menjadikanku sering mengeluh bahkan hampir putus asa. Ingin rasanya menyelesaikan dan menjawab pertanyaan itu dengan menikah. Kulihat hidup mereka seperti tak banyak beban, terlihat sangat bahagia. Tidak hanya itu, banyak orang bilang bahwa dengan menikah akan menjadi lebih fokus dalam mengejar impian.
Namun, setelah merenungi dan memahami perkataan sahabatku, memang benar yang ia sampaikan. Sedari dulu, aku terobsesi untuk melanjutkan pendidikan agar bisa meraih gelar sarjana. Seharusnya tidak boleh putus asa begitu saja. Apalagi menjadikan pernikahan sebagai pelarian dan solusi atas segala kecemasan yang melanda. Bukankah menikah perlu kesiapan?
Al-Qur’an telah menekankan bahwasannya menikah itu perlu kesiapan fisik, mental, spiritual, sosial dan ekonomi. Bagi mereka yang belum memiliki kemampuan dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. An-Nur ayat 33 yang artinya, “Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan.”
Allah Maha Tahu tentang kapan, di mana dan dengan siapa kamu menikah. Menikah bukanlah ajang siapa cepat, tapi menikahlah karena memang hati sudah siap. Siap menerima baik buruknya pasangan, siap menerima berbagai macam ujian. Jangan menikah karena hanya sekedar menuruti nafsu, apalagi karena sekadar ikut-ikutan teman, merasa gengsi dan minder. Pernikahan bukan ajang perlombaan, jangan ngebet dan ngebut.
Menikah bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Sebab, setelah menikah ada tanggung jawab dan prioritas baru yang harus dihadapi. Menikah menjadi wasilah menyatukan dua perbedaan antara suami istri juga pihak keluarga, agar terjalin visi dan misi yang sama. Menikah adalah tentang komitmen dan tanggung jawab bersama terhadap seorang yang kamu pilih. Untuk itu, jika memilih menikah dan hidup bahagia, jangan terburu-buru apalagi gegabah. Sebab, kita harus siap bekerja sama menjalani segala resiko dalam kehidupan baru.
Pernikahan tidak menjanjikan seseorang terbebas dari masalah. Masalah akan terus menjadi bagian dari hidup manusia. Karena hidup ini takkan pernah terlepas dengan cobaan dan ujian. Tergantung pada bagaimana kita menyikapi dan menyelesaikan masalah agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar. Bukankah Allah Swt. tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuan? Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qs Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Dalam hidup tersaji banyak piliha, mudah ataupun susah. Kuliah atau menikah, keduanya adalah ibadah yang sangat dianjurkan oleh Allah Swt. dan RasulNya. Tinggal bagaimana kita memantaskan diri dalam menjalani hidup dengan seimbang sehingga tidak ada ketimpangan. Untuk saat ini, tentu pilihannya bukan menikah namun menggapai impian dan mencari ilmu setinggi-tinngginya. Namun, kalau dirasa teman-teman siap dengan pilihan ‘menikah’ maka tak ada salahnya untuk menunaikan ibadah tersebut, life is choice, maka pilihlah yang terbaik untuk kehidupan kita kedepan. Karena antum a’lamu bi umuri dunyakum, engkau lebih tahu akan perkara duniamu, maka engkau yang dapat memilih dan menentukan arah hidupmu.
Editor : Ummi Ulfatus Syahriyah