
Di tengah gegap gempita modernitas, masyarakat Muslim terus bergulat (dialektik) dengan dua kekuatan yang saling tarik-menarik: agama sebagai perekat identitas kolektif dan agama sebagai medan pertarungan ideologis. Untuk memahami dinamika ini, dua pemikir klasik—Emile Durkheim dan Antonio Gramsci—menawarkan perspektif yang saling melengkapi. Durkheim, dengan fokus pada fungsi pemersatu agama, dan Gramsci, dengan analisisnya tentang hegemoni budaya, kita melihat bersama-sama, keduanya membuka jendela untuk melihat bagaimana Islam tidak hanya menjadi sumber stabilitas, tetapi juga arena konflik yang hidup. (Syam, 2022)
Emile Durkheim, bapak sosiologi modern, melihat agama sebagai cermin dari jiwa kolektif masyarakat. Dalam pandangan Durkheim, umat Islam yang berkumpul di Masjidil Haram saat haji tidak hanya memenuhi kewajiban ritual, tetapi juga sedang merajut kembali benang-benang kohesi sebagai satu- kesatuan ummah.
Guru besar sosiolog UIN Sunan Ampel surabaya Prof. Nursyam dalam artikelnya mencurahkan hasil pemikirannya dengan bunyi, bukan suatu kebetulan bahwa agama-agama yang dikenal sebagai agama Semitik lahir di kawasan Timur Tengah dan memiliki hubungan historis satu sama lain. Semua agama tersebut berakar pada Nabi Ibrahim AS, yang kemudian berkembang ke berbagai cabang. Sebagian berkembang melalui Nabi Musa AS dan keturunanya sampai kepada pembentukan agama Yahudi, dan sebagian lainya melalui Nabi Isa AS yang melahirkan agama Nasrani, dan sebagian lagi melalui Nabi Muhammad SAW yang menjadi dasar bagi agama Islam. Baginya, ritual keagamaan bukan sekadar ibadah individual, melainkan mekanisme untuk memperkuat solidaritas sosial. Shalat berjamaah, puasa Ramadan, atau ibadah haji, misalnya, adalah contoh nyata bagaimana Islam menciptakan ikatan sakral yang melampaui batas geografis dan kultural. (Syam, 2021).
Namun, Durkheim sering dikritik karena dianggap terlalu optimis. Ia kurang menyentuh konflik internal yang menggerogoti tubuh masyarakat Muslim. Di sinilah Antonio Gramsci muncul dengan pisau analisisnya yang tajam. Bagi filsuf Marxis ini, agama bukanlah entitas yang netral atau pasif. Sebaliknya, ia adalah medan pertarungan hegemoni—ruang di mana kelompok-kelompok bersaing untuk mendominasi kesadaran masyarakat.
Gramsci mengenalkan konsep intelektual organik, aktor-aktor yang membentuk ideologi melalui institusi seperti sekolah, media, atau lembaga keagamaan. Dalam konteks Islam, ulama, dai media sosial, atau tokoh gerakan seperti Hasan al-Banna adalah contohnya. Mereka tidak hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi juga membentuk narasi tentang “Islam seperti apa” yang harus diikuti.
Contoh nyata pertarungan hegemoni ini terlihat dalam fenomena Partai AKP di Turki. Di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan, AKP tidak hanya memenangkan pemilu, tetapi juga secara sistematis membangun narasi “Islam yang modern” melalui kontrol atas media dan penggunaan masjid sebagai pusat mobilisasi politik. Ini adalah strategi war of position ala Gramsci—merebut hegemoni bukan dengan revolusi fisik, tetapi melalui penetrasi nilai-nilai ke dalam sendi-sendi kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, di dunia digital, gerakan-gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin menggunakan platform seperti TikTok atau YouTube untuk menyebarkan konten dakwah yang sarat dengan pesan kontra-hegemoni terhadap nilai-nilai sekuler Barat.(Akbar et al., n.d.) Pertemuan antara teori Durkheim dan Gramsci melahirkan dialektika menarik. Di satu sisi, agama adalah penjaga stabilitas yang mencegah kekacauan sosial (anomi), seperti terlihat dalam fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kerap menjadi panduan moral publik.
Di sisi lain, fatwa yang sama bisa dipahami sebagai alat hegemoni kelompok konservatif untuk meminggirkan suara minoritas atau pandangan liberal. Ambil contoh fatwa haram LGBT: bagi Durkheim, ini adalah upaya mempertahankan collective conscience (kesadaran kolektif) mayoritas Muslim; bagi Gramsci, ini adalah bagian dari pertarungan kekuasaan untuk menentukan “wajah Islam” yang dominan (Fitriani and Rahmawati, 2022).
Fenomena hijrah di kalangan milenial Indonesia juga bisa dibaca melalui dua lensa ini. Dari kacamata Durkheim, hijrah adalah respons terhadap krisis identitas di tengah masyarakat urban yang individualistik. Kaum muda yang merasa teralienasi mencari solidaritas baru dalam komunitas religius.
Namun pendapat Gramsci begitu relevan melihat sebagai hasil dari hegemoni “industri hijrah” yang lebih dipromosikan dan digemari oleh pemuda- pemuda gen z seperti selebritas dai seperti Hanan Attaki atau Felix Siauw, dan Handy Bony. Terlihat seperti wadahnya (media) ada Hijrahfest, Pemuda_Hijrah_org dan wadah- wadah lainya mereka berperan seolah menjadi Intelektual organik yang mengkapitalisasi kegelisahan spiritual untuk membentuk kesadaran kolektif yang sesuai dengan agenda tertentu.
Revolusi Iran 1979 menjadi studi kasus sempurna untuk menyatukan kedua perspektif ini. Durkheim akan menjelaskannya sebagai pemberontakan terhadap anomi di bawah rezim Shah yang sekuler.
Masyarakat Iran, yang kehilangan pegangan moral, berbondong-bondong kembali ke nilai-nilai Syiah sebagai sumber identitas yang mempersatukan.
Namun, kedua teori ini bukan tanpa celah. Durkheim dianggap terlalu mengabaikan konflik sektarian, seperti perseteruan Sunni-Syiah, yang justru menunjukkan bahwa agama bisa menjadi sumber perpecahan. Gramsci, di sisi lain, kerap dikritik karena terlalu berfokus pada konflik kelas, sementara di banyak masyarakat Muslim, pertarungan justru terjadi antar kelompok ideologis—seperti Islamis versus sekuler.(Kamirudin, 2017)
Untuk itu, diperlukan modifikasi: konsep solidaritas Durkheim bisa dipakai untuk menganalisis kohesi internal kelompok, sementara hegemoni Gramsci perlu diperluas untuk mencakup pertarungan antar identitas. Dalam konteks kontemporer, sintesis teori ini membantu kita membaca isu-isu seperti radikalisme atau politik identitas.
Kelompok seperti ISIS misalnya, tidak hanya muncul dari kegagalan integrasi sosial (perspektif Durkheim), tetapi juga sebagai upaya membangun kontra-hegemoni melalui narasi khilafah yang menantang tatanan global (perspektif Gramsci). Pada akhirnya, Durkheim dan Gramsci mengajarkan bahwa agama adalah entitas yang hidup diametral sekaligus dinamis(Fathoni, 2024). Ia bisa menjadi tali pengikat yang menyatukan, sekaligus api yang menyulut pertentangan.
Di dunia Muslim yang terus berubah, memahami dialektika ini adalah kunci untuk menghindari jebakan simplifikasi: tidak melihat Islam hanya sebagai agama damai atau sumber kekerasan, tetapi sebagai cermin dari kompleksitas manusia itu sendiri. Dari Arab Spring hingga tren hijrah di media sosial, pertarungan antara solidaritas dan hegemoni terus berlangsung, mengukir wajah Islam yang tak pernah benar-benar selesai.