
Ulasan Film
Urupedia.id- Drama serial Malaysia berjudul “Bidaah” atau “Broken Heaven” saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan publik, terutama di kalangan pengguna media sosial seperti TikTok. Hal ini membuat kita penasaran apa yang membuat film ini luar biasa peminatnya. Bahkan hampir setiap chanel youtube menawarkan episode sampai akhir. Penontonnya mulai dari Malaysia hingga Indonesia pun ada.
Bahkan film ini menjadi viral secara cepat. Teman saya malah dijadikan momen foto profil whats app wajah Walid berjenggot tinggi, memakai sorban sambil menatap dengan senyuman. Sungguh fenomena tak menyangka bisa-bisanya film ini menjadi tiruan tiktok oleh jama’ahnya. Setelah saya melihat film ini ternyata menarik perhatian sekali.
Kisah Walid mendirikan semacam padepokan kalau saya lihat diikuti pengikutnya setia 5 seperti ajudannya. Lebih mustahil lagi Walid mempunyai istri 5 dimana dalam cerita nya ia mengaku sudah mengikuti ajaran Rasulullah saw sesuai perintahnya. Dan diutus Allah swt dan Rasulullah berdakwah didaerah situ. Kenapa bisa ketemu Rasulullah saw?. Kita saja sama sekali belum ketemu apalagi mimpi ketemu Rasulullah saw?. Namun oleh berbagai pengikutnya percaya saja atas apa yang dikatakan oleh Walid sehingga Walid dengan mudah terus mengumpulkan jamaah untuk berdakwahnya.
Ditengah kejanggalannya salah satu istrinya ( saya lupa namannya) tidak terima apa yang dilakukan oleh Walid. Dia merasa tidak adil dalam memperlakukan istri-istrinya. Walid tetep kokoh pendiriannya bahwa ini adalah perintah Rasulullah saw dan Allah swt. Terpaksa istrinya dibuang Walid jauh-jauh karena merasa tidak benar dengan istrinya. Melihat kejadian seperti itu, Sebagian istrinya ikut merasakan kecemburuan luar biasa pada satu istri dinilai tidak mau berbagi. Sampai pada akhirnya jamaah semakin ramai dan banyak hal-hal aneh yakni Walid dengan mudahnya mengawinkan para pasangan Syeikh ( Laki-Laki) dan Perempuan dengan tujuan Rasulullah saw dan Allah swt.
Dari sinilah sosok Perempuan Baiduri curiga atas perbuatan Walid. Hambali menganggap seorang istri tidak boleh asal-asalan mengawinkan laki-laki berdalih perintah Allah dan Rasulullah saw.
Baiduri mengadu pada ibuknya sering sekali mengikuti kajian Walid agar tidak lagi ikut pengajian Walid. Selain Hambali mengadu atas kejadian nikahkan istri dan suami, Baiduri juga merasa ada yang aneh perbuatan walid yakni bekas kaki dimasukkan dalam air merupakan berkah untuk Walid. Hambali sangat jijik melihatnya.
Disisi lain Hambali yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Yaman ikut merasa aneh Ketika beberapa hari mengikuti rutinan nya Jamaah Walid.
Akhirnya Walid terbongkar atas perilakunya apa yang lakukan. Melakukan hubungan seks seperti Binatang, menikahi santri putrinya nikah batin. Dan dipenjara atas apa yang ia lakukan selama di Padepokan nya . Film menjadi pembelajaran bagi kita bahwa tidak semua orang berjubah layaknya syeikh-syeikh Arab belum tentu memberikan dampak manfaat bagi jamaahnya. Sekaligus memberikan pesan agar lebih berhati-hati dalam memilih guru berkedok agama yang Dimana kita belum tahu kehidupannya. Biar manapun beragama tetep tengah-tengah tidak berlebih-lebihan sekali. Supaya kehidupan kita tetap stabil di dunia hingga akherat kelak. Amin
Film Walid dan Kasus Penyelewengan Otoritas Keagamaan Indonesia
Ketika kita melihat film tersebut, teringat jelas masih banyaknya kasus penyelewengan otoritas keagamaan dengan sebuah bentuk kekerasan seksual. Kasus kekerasan di lingkungan pesantren masih menjadi perhatian yang serius. Menurut catatan Kementerian Agama (Kemenag), antara Januari hingga Agustus 2024, terdapat 101 santri yang menjadi korban kekerasan seksual di pesantren. Untuk mencegah terulangnya kasus serupa. (Aranditio, 2024) Contoh kasus dikutip dari Konde.co pada 14 Maret 2025. Kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren kembali mencuat ke permukaan. Beberapa waktu yang lalu, seorang santriwati berusia 15 tahun menjadi korban pelecehan seksual oleh pemilik pondok pesantren, yang dikenal dengan inisial MY, di Kabupaten Bogor.
Peristiwa memilukan ini terjadi pada bulan Desember 2022. Modus operandi yang digunakan oleh terduga pelaku adalah mengajak korban untuk berziarah serta berwisata ke sebuah pemandian air panas. Selama perjalanan, kiai yang memimpin pondok pesantren tempat korban belajar tersebut melakukan tindakan pelecehan yang sangat tidak pantas. Ia meraba, memeluk, dan bahkan menciumnya.
Setelah mengalami kejadian tersebut, korban menceritakan pengalamannya kepada tiga teman santriwati lainnya yang juga diajak berziarah oleh terduga pelaku. Merasa tertekan dan takut, korban kemudian melarikan diri dari pondok pesantren dan pulang ke rumah orang tuanya, di mana ia memberitahukan mereka tentang pelecehan seksual yang telah dialaminya.
Definisi Kekerasan Seksual
Kekerasan atau Violence dalam artian makna tersebut selalu bergantung bagaimana masyarakat membentuk presepsi tersebut. Sedangkan yang dimaksud Kekerasan Seksual adalah upaya atau suatu macam tindakan yang mempengaruhi dengan “ancaman” atau “tindakan” untuk melayani kepuasan seksual. Kemudian dari pada itu apakah kekerasan seksual di pesantren termasuk kekerasan seksual? Kekerasan seksual di pesantren termasuk juga kekerasan seksual karena menggunakan ancaman dalam tanda kutip jika tidak melakukan sesuatu terhadap pemilik otoritas biasanya bentuk ancaman-nya bersifat soft (halus) contoh jika tidak mengamalkan kawin batin, tidak akan dapat berkah dari Tuhan. Walaupun ada juga yang bersifat abusive (kasar). Contohnya jika tidak melakukan kawin batin akan diancam untuk dirundung, diancam dengan ekpresif. Penyelewengan Otoritas Keagamaan ini dilihat dari bentuk tindakan authority, atau semacam keterpengaruhan seseorang untuk memimpin, memutuskan dan mengendalikan. Dari otoritas Kegamaan tersebut penyelewengan dimulai ketika otoritas keagamaan mempengaruhi ruang sosial- keagamaan hanya untuk kepentingan pribadi yang hanya bersifat sementara. (Khotim Muzakka Ahmad, 2018)
Artinya keterpengaruhan tersebut biasanya dalam konteks kekerasaan seksual di ruang keagamaan. Membentuk suatu ruang sakral hanya untuk menuruti kemauan dan kepentingan dirinya sendiri.(pemilik otoritas) dalam tanda kutip disini bisa Kyai, Ustadz, Pengasuh, atau Pengurus. Ruang sakral tersebut menciptakan makna palsu, dari tafsir keagamaan asli. Misalnya seorang Ustadz memberikan wejangan untuk mengamalkan amalan- amalan hanya untuk memuaskan birahinya.
Dalam Islam, otoritas keagamaan bukan merupakan sesuatu yang kaku dan biasanya, berdasarkan pengakuan dan dukungan dari
masyarakatnya atau pengikutnya. Dalam dunia pesantren, sebuah mekanisme terbentuknya otoritas keagamaan berjalan terhadap dua ruang, ruang kepada Ilmu dan Adab. Ruang kepada Ilmu sifatnya lebih inklusif, cair, dan ruang kepada Adab sifatnya lebih padat, kaku, absolut. Misalnya contoh jika Santri mengadakan sawir (musyawarah) maka pembahasannya akan lebih mencair dan tidak memandang atribut seseorang tapi memandang keahlian dan penguasaan. Tapi untuk wilayah Adab, keseharian sosial, santri harus patuh dan absolut untuk menghargai pemilik ilmu dan adab- adab lainya.
Seharusnya penyelewengan otoritas keagamaan melalui kekerasan seksual bisa dideteksi dengan gejala- gejala irasional yang dipaparkan otoritas keagamaan tersebut di pesantren atau lembaga keagamaan lainya. Dimana untuk menanggulanginya, kita bisa memperkuat aqidah kita terhadap Tuhan, bahwasanya kesakralan itu sifatnya subjektif- empirik. Maksudnya dimana seorang santri seharusnya tidak mudah percaya akan bentuk- bentuk amalan sakral jika tujuannya hanya bersifat sementara, apa lagi melakukan kawin batin. Yang mana itu sangat tidak masuk akal dan jauh dari moralitas itu sendiri.
Maka daripada itu literasi atau pendidikan sangat penting dalam membentuk daya pikir kritis. Artinya sebuah pendidikan dikatakan berhasil jika santri atau murid berhasil memberikan ulasan atau evaluasi terhadap ilmu dan bentuk otoritas keagamaan. Agama islam seharusnya menjunjung tinggi rasionalitas dan kemanusiaan. Segala sesuatu yang terbentuk dalam ruang sakral yang bertujuan tidak rasional pasti akan mengundang sebuah “Dilema” atau titik manusia akan ber muhasabah dengan dirinya akan perbuatannya. Kekerasan seksual ini sudah tercermin dalam film Bidaah, dimana sosok Walid adalah sosok manipulatif (Otoritas Kegamaan). Yang mana banyak bentuk penyelewengan otoritas keagamaan yang ia distribusikan kepada santri- santri atau abdi dalemnya.
Film Walid mengajarkan bahwa ruang keagamaan itu juga perlu banyak koreksi untuk berbenah. Terutama pendidikan keagamaan di indonesia, yang masih banyak kasus- kasus kekerasan seksual masih menyebar dan menjalar disana. Mari memberikan ruang aman, dialektis untuk keilmuan, inklusif untuk perubahan pendidikan keagamaan di indonesia.
Referensi
Khotim Muzakka Ahmad. 2018. “OTORITAS KEAGAMAAN DAN FATWA
PERSONAL DI INDONESIA”, Jurnal Epistemé, Vol. 13, No. 1. Hal 67.
Dhewy Anita. 2025. “Santriwati Alami Pelecehan Seksual Oleh Pimpinan Pondok Pesantren dan Diintimidasi Saat Lapor Kasusnya”, Konde.co: https://www.konde.co/2025/03/santriwati-alami-pelecehan-seksual-oleh-pimpinan-pondok-pesantren-dan-diintimidasi-saat-lapor-kasusnya/
Aranditio. 2024. “Sejak Januari, Sudah 101 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Pesantren”, Kompas.com: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/08/12/101-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-di-pesantren