
Saya sering merenungkan satu gejala yang cukup mengganggu dalam kehidupan keberagamaan kita, khususnya di kalangan Muslim. Gejala tersebut adalah munculnya sikap standar ganda dalam menyikapi keyakinan umat agama lain. Saya tidak berbicara dalam kapasitas akademisi besar atau pemuka agama, melainkan sebagai seorang Muslim yang hidup di tengah masyarakat Muslim, dan mencoba memahami relasi antar iman dari pengalaman sehari-hari.
Banyak orang Muslim yang saya temui—baik dalam percakapan langsung maupun melalui media sosial—cenderung membela habis-habisan kisah-kisah dalam kitab suci mereka. Ketika kisah seperti Isra’ Mi’raj, penciptaan Adam dari tanah, atau kisah Nabi Musa membelah laut dikritik atau dipertanyakan, respons yang muncul adalah kemarahan, bahkan tuduhan terhadap pihak lain sebagai penista agama.
Namun, yang saya sayangkan adalah pada saat yang sama, sebagian Muslim juga dengan mudahnya meremehkan kisah-kisah dalam kitab atau kepercayaan agama lain. Saya ambil contoh dari kepercayaan dalam ajaran Hindu. Di sana dikenal konsep Trimurti—tiga dewa besar: Brahma, Wisnu, dan Siwa—yang masing-masing punya fungsi dalam mencipta, memelihara, dan melebur semesta. Ada pula tokoh seperti Ganesha, sosok manusia berkepala gajah, yang memiliki makna simbolik dan spiritual mendalam. Namun saya sering mendengar, bahkan dalam diskusi santai, banyak Muslim yang secara terbuka mengolok atau menganggap kisah itu sebagai mitos yang tidak masuk akal. Padahal, jika umat Hindu melakukan hal yang sama terhadap kisah-kisah Islam, reaksi Muslim bisa sangat keras.
Saya tidak bermaksud menilai siapa yang benar atau salah dalam doktrin keagamaan. Yang ingin saya soroti adalah soal sikap: mengapa kita merasa berhak menyebut keyakinan orang lain sebagai mitos, tapi tak rela jika kepercayaan kita diperlakukan serupa? Sikap semacam ini, menurut saya, merupakan bentuk inkonsistensi berpikir, bahkan cacat logika, yang menunjukkan adanya standar ganda.
Saya paham, mungkin ada yang bertanya, “Mengapa saya hanya mengkritik Muslim? Mengapa tidak bicara tentang agama lain?” Jawabannya sederhana: karena saya adalah Muslim.
Saya lahir, tumbuh, dan belajar di lingkungan Muslim. Maka sangat wajar jika refleksi dan kritik saya tujukan kepada komunitas saya sendiri. Saya tidak merasa berhak mengurusi keyakinan umat agama lain, karena saya bukan bagian dari mereka.
Menurut saya, sudah saatnya umat beragama—khususnya kita sebagai Muslim—belajar untuk tidak mudah mencela atau meremehkan kepercayaan orang lain. Kita hidup dalam masyarakat yang beragam, dan perbedaan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Justru dalam keberagaman itulah kita diuji: apakah kita mampu menjaga akhlak, mengedepankan rasa hormat, dan menahan diri dari sikap merasa paling benar.
Fenomena cacat logika standar ganda di kalangan Muslim dapat dianalisis melalui berbagai perspektif, baik dari sudut pandang internal maupun eksternal. Standar ganda ini sering kali muncul dalam argumen atau tindakan yang tidak konsisten, baik dalam konteks sosial, politik, maupun keagamaan.
Cacat Logika Standar Ganda dalam Argumen Internal
Beberapa cacat logika yang dapat ditemukan dalam argumen keagamaan di kalangan Muslim meliputi beberapa contoh berikut:
Pertama, Argumentum ad Populum, yaitu penggunaan pendapat mayoritas sebagai dasar kebenaran tanpa adanya bukti yang kuat. Contohnya adalah klaim bahwa suatu ajaran dianggap benar hanya karena banyak orang yang mempercayainya.
Kedua, False Analogy, yaitu membandingkan dua hal yang tidak setara, seperti menyamakan konsep kenabian dalam Islam dengan agama lain tanpa memahami perbedaan mendasar antara keduanya.
Ketiga, Circular Reasoning, yaitu penggunaan premis yang sama untuk membuktikan kesimpulan, contohnya adalah membuktikan kebenaran Al-Qur’an dengan merujuk kepada Allah, dan selanjutnya membuktikan eksistensi Allah melalui Al-Qur’an.
Keempat Argumentum ad Consequentiam yakni Mengemukakan bahwa keberadaan manfaat tertentu dalam Al-Qur’an (seperti memberikan panduan moral atau ilmiah) secara otomatis menegaskan bahwa seluruh isinya benar adalah suatu klaim yang tidak valid. Logika ini tidak dapat diterima karena manfaat suatu teks tidak dapat dijadikan bukti untuk membenarkan asal-usul ilahinya.
Kelima Kesalahan Generalisasi yakni Pernyataan bahwa beberapa ayat dalam Al-Qur’an dianggap sejalan dengan ilmu pengetahuan modern tidak dapat disimpulkan bahwa keseluruhan kitab tersebut bebas dari kesalahan atau berasal dari Tuhan. Fenomena ini dikenal sebagai fallacy of composition.
Keenam Penggunaan Emosi dan Ancaman. Cacat logika yang dapat diidentifikasi adalah penggunaan ancaman neraka, sebagaimana tercantum dalam Q. S. Al-Baqarah: 24, untuk meyakinkan pembaca mengenai kebenaran Al-Qur’an. Pendekatan ini dikenal sebagai “appeal to fear” atau argumentasi berbasis emosi, yang tidak relevan dalam konteks pembuktian logis atau ilmiah.
Fenomena standar ganda dan cacat logika adalah sebuah evaluasi. Menurut saya, sudah saatnya umat beragama—khususnya kita sebagai Muslim—belajar untuk tidak mudah mencela atau meremehkan kepercayaan orang lain dan belajar dengan serius bagaimana berlogika dengan baik. Kita hidup dalam masyarakat yang beragam, dan perbedaan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Justru dalam keberagaman itulah kita diuji: apakah kita mampu menjaga akhlak, mengedepankan rasa hormat, dan menahan diri dari sikap merasa paling benar.
Dan membiasakan diri untuk menghormati perbedaan bukan berarti kita harus mengurangi iman kita. Justru dengan bersikap adil dan konsisten terhadap semua bentuk keyakinan, kita menunjukkan kematangan sebagai pribadi beragama. Apabila umat Muslim ingin mengemukakan argumen ilmiah atau historis untuk mendukung klaim keilahiannya, mereka juga harus bersedia menerima kritik dengan menggunakan standar yang serupa. Di samping itu, sangat penting untuk membedakan antara keyakinan yang bersifat iman dan klaim yang memerlukan pembuktian rasional.
Referensi
- Hamid, Sadek. “The Double Standards of Islamophobia.” Open Democracy. Diakses pada April 2025 dari https://www.opendemocracy.net.
- Zemmour, Eric. “Islam and the West: A Clash of Civilizations?” Foreign Affairs. Diakses pada April 2025 dari https://www.foreignaffairs.com.
- Mundiri. 2018. “Logika”, Depok: Rajawali Pers, 242 hlm.

Muhammad Rafli Firjatullah, Penulis merupakan Mahasiswa S1 Progam Studi Sejarah Peradaban Islam.