BeritaEkonomi

Gelombang PHK 2025: Saatnya Negara Hadir, dan Memenuhi Janjinya

×

Gelombang PHK 2025: Saatnya Negara Hadir, dan Memenuhi Janjinya

Sebarkan artikel ini

Tahun 2025 belum sampai pertengahan, namun bayang-bayang kelam sudah menyelimuti dunia kerja di Indonesia. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali terjadi secara masif, memukul berbagai sektor industri, mulai dari tekstil, manufaktur, hingga teknologi. Ribuan pekerja menjadi korban.

Mereka tak lagi hanya kehilangan pekerjaan—mereka kehilangan arah, kehilangan rasa aman, bahkan kehilangan harga diri.

Fenomena ini bukan kejutan. Ia adalah akumulasi dari ketidaksiapan struktural kita dalam merespons perubahan zaman dan tekanan ekonomi global.

Dalam satu sisi, pasar dunia sedang melambat. Namun di sisi lain, negara kita terlalu lama berpuas diri, sibuk dengan wacana pertumbuhan ekonomi tanpa fondasi industri yang kokoh dan berkeadilan.

Kita lupa, bahwa di balik angka-angka PDB yang membaik, ada manusia-manusia yang bekerja dalam bayang-bayang upah minimum dan kontrak outsourcing.

Kita lupa bahwa investasi yang terus dipuja ternyata hanya memperkuat sektor padat modal, bukan padat karya. Kita lupa bahwa pembangunan tanpa perlindungan buruh adalah pembangunan yang rapuh.

PHK Bukan Badai, Tapi Sistem yang Bocor

PHK besar-besaran yang terjadi hari ini bukan sekadar akibat cuaca ekonomi global. Ini adalah akibat sistem ekonomi domestik yang bocor di mana-mana.

Kita terlalu mudah membuka keran impor, melemahkan industri lokal. Kita terlalu bergantung pada investasi asing, namun tak memberi ruang aman bagi pekerja lokal untuk berkembang.

Sementara itu, perusahaan demi perusahaan memindahkan pabrik mereka ke negara lain demi efisiensi. Dan pekerja? Hanya dianggap beban yang harus dipangkas.

Ada satu pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan: di mana posisi negara ketika warganya kehilangan pekerjaan? Apakah cukup dengan program BLT dan pelatihan yang tak menyentuh kebutuhan riil industri? Apakah cukup dengan narasi “ini tantangan global” tanpa solusi konkret di dalam negeri?

Saatnya Negara Hadir, Bukan Sekadar Menyusun Regulasi

Negara seharusnya tak hanya menjadi pengatur. Negara harus menjadi pelindung. Sudah saatnya pemerintah mengambil alih kendali untuk membangun ekosistem ketenagakerjaan yang berkelanjutan dan berpihak pada rakyat.

Pertama, kita butuh reformasi besar-besaran di sektor pelatihan dan pendidikan vokasi. Bukan sekadar kursus kilat, tapi program terstruktur yang mampu menjawab kebutuhan industri baru seperti teknologi, energi hijau, dan ekonomi digital.

Kedua, kita harus memperkuat UMKM sebagai tulang punggung ekonomi rakyat. Ketika industri besar goyah, UMKM justru bisa menjadi benteng penyelamat lapangan kerja.

Namun mereka butuh akses modal, pasar, dan perlindungan dari serbuan ritel besar dan e-commerce asing.

Ketiga, sudah waktunya kita hentikan paradigma bahwa pekerja adalah angka beban. Pekerja adalah tulang punggung produksi.

Mereka bukan hanya objek, tapi subjek pembangunan. Sediakan jaminan sosial yang kuat, sistem pengawasan ketenagakerjaan yang efektif, dan ruang dialog industrial yang sehat.

Reza Dwi Kurniawan mahasiswa universitas pelita bangsa dari prodi manajemen pernah berujar: “Kita sibuk membuat kapal besar bernama negara, tapi kita lupa mengajarkan rakyat cara berenang.”

PHK massal bukan sekadar tragedi ekonomi. Ia adalah kegagalan kolektif. Tapi dari kegagalan, selalu ada ruang untuk bangkit—asal kita berani berubah, dan benar-benar menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan.

Karena pekerjaan bukan hanya soal gaji. Tapi soal harga diri, kebermanfaatan, dan masa depan. Dan negara, jika benar berpihak pada rakyat, tak boleh membiarkan warganya kehilangan semua itu.

Index