Opini

Kritik Standar Ideal Terhadap Lowongan Pekerjaan dan Pengangguran di Indonesia

×

Kritik Standar Ideal Terhadap Lowongan Pekerjaan dan Pengangguran di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Kalesang.id

Urupedia.id- Indonesia menghadapi tantangan yang berkepanjangan terkait standar ideal untuk lowongan pekerjaan, termasuk persyaratan usia, tingkat pendidikan, dan kriteria fisik, serta masalah pengangguran yang terus meningkat.

Meskipun ada upaya dari pemerintah untuk mendorong inklusi dan melakukan reformasi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat jurang yang signifikan antara apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja dan kualifikasi yang ditetapkan. Tulisan ini mengulas kritis mengenai praktik rekrutmen yang eksklusif serta dampaknya terhadap pengangguran, dilengkapi dengan data terbaru dan analisis yang mendalam.

Tinjauan Mengenai Pengangguran di Indonesia

Berdasarkan data dari BPS, pada bulan Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di tingkat nasional tercatat sebesar 4,76% dari total angkatan kerja yang berjumlah 153 juta orang; jumlah pengangguran adalah 7,28 juta jiwa (bps. go. id). Meskipun angka ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun jumlah pengangguran absolut tetap naik sekitar 80 ribu orang (idnfinancials. com).

Kelompok usia muda (15–24 tahun) mengalami tingkat pengangguran tertinggi, mencapai 16,16%, yang tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan rata-rata nasional. Yang lebih memprihatinkan, setengah dari total pengangguran terdiri dari generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi belum mampu menyelaraskan dengan kebutuhan nyata di dunia kerja.

Sebuah studi dari Universitas Swadaya Gunung Jati (2024) menemukan bahwa TPT bagi lulusan sarjana mencapai 5,34%, di atas rata-rata nasional yang sebesar 4,86%, dan hanya 53% dari mereka yang bekerja di bidang studi yang sesuai—sementara 40% perusahaan merasa bahwa kompetensi mereka kurang memadai. Hal ini menunjukkan adanya ketidakcocokan antara sistem pendidikan tinggi dan standar kualifikasi ideal yang diharapkan di pasar kerja.

Standar Ideal: Kendala dalam Proses Rekrutmen

Melalui analisis kritis dan studi terkait, tampak bahwa banyak perusahaan menyertakan persyaratan seperti “belum menikah”, batasan usia maksimal, serta kriteria fisik seperti tinggi badan, penampilan menarik, dan bahkan warna kulit. Peraturan terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan (Surat Edaran M/6/HK. 04/V/2025) melarang advokasi persyaratan yang bersifat diskriminatif tersebut. Namun, penerapan di lapangan masih lemah; para pekerja muda sering kali menghadapi “syarat ideologis” yang tidak relevan—menghalangi mereka untuk mendapatkan pekerjaan.

Walaupun laporan dari Robert Walters (2025) menyebutkan bahwa perusahaan kini mulai beralih ke rekrutmen yang berbasis pada keterampilan, masih banyak lowongan yang mengharuskan pendidikan S1, IPK tinggi, serta pengalaman magang. Di lapangan, terutama bagi lulusan baru dari perguruan tinggi yang tidak terkenal, memenuhi kualifikasi tersebut menjadi sulit.

Dengan demikian, persyaratan ideal yang ada lebih dari sekedar seleksi kualitas; mereka berfungsi sebagai penghalang struktural—mengubah lowongan menjadi sangat eksklusif dan tidak realistis.

Perubahan Pasar: Komplek Mengeliminasi Sederhana

Struktur industri Indonesia beralih dari sektor pertanian ke sektor jasa dan manufaktur. Akan tetapi, penyerapan tenaga kerja dalam sektor formal masih stagnan sebab proyek yang ada lebih bersifat padat modal dan bukan padat karya, sementara otomatisasi semakin bertambah. Hanya 37–42% dari tenaga kerja diserap oleh sektor formal.

BPS melaporkan adanya ketidakcocokan atau mismatch di pasar. Banyak pengangguran muda yang memiliki gelar, tetapi tidak siap untuk bekerja karena kurangnya daya saing. Jika perusahaan menjadikan “pengalaman magang” sebagai syarat wajib, maka kesempatan bagi para lulusan baru pun semakin menyusut.

Standar yang sulit dijangkau ini tidak hanya mengurangi akses, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis yang negatif: stres, perasaan rendah diri, hatta hingga keterasingan sosial. Banyak job fair yang penuh sesak dan bahkan kacau, contohnya di Bekasi, mencerminkan betapa putus asanya pencari kerja generasi sekarang.

Kritik Struktural dan Rekomendasi

Argumen mengenai idealisme yang menyatakan “memilih” kualitas sering kali tidak mempertimbangkan esensi dari pekerjaan itu sendiri. Pembatasan terhadap usia, status, atau penampilan tidak menambah nilai kompetensi pekerja. Solusinya adalah mengubah kerangka perekrutan berdasarkan pada kompetensi yang spesifik—dilakukan melalui analisis pekerjaan dan pemetaan kompetensi.

Reformasi Pendidikan dan Sektor Industri

Studi oleh Universitas Swadaya Gunung Jati (2024) merekomendasikan untuk melakukan revisi kurikulum, mengintegrasikan magang yang penting, dan melakukan evaluasi secara berkala terhadap kebutuhan industri.

Beberapa inisiatif seperti vokasional dan program magang perlu diperluas, menekankan pentingnya kerjasama antara dua pihak: perguruan tinggi dan dunia industri.

Kementerian Ketenagakerjaan telah memberikan petunjuk (Surat Edaran 2025). Namun, penerapan sanksi masih rendah. Diperlukan inspektur ketenagakerjaan yang proaktif dalam menindak perusahaan yang bersikap diskriminatif. Selain itu, pemerintah bisa memberikan insentif kepada perusahaan yang merekrut lulusan baru tanpa mempertimbangkan usia dan latar belakang.

Perusahaan harus berani menetapkan “langit standar” daripada “lantai standar”—memberikan prioritas pada hasil dan kemampuan alih-alih syarat-syarat yang kaku. Model magang, pelatihan di tempat kerja, serta kursus ulang (re-skilling/up-skilling) perlu mendapatkan subsidi agar lebih inklusif.

Dari sudut pandang reflektif, saya mengamati adanya sinergi antara mikro dan makro di sini: budaya dengan standar tinggi yang disekat untuk menjadi “eksklusif” mengakibatkan lowongan menjadi jebakan, bukannya kesempatan. Meski teknologi dan globalisasi menciptakan peluang baru (seperti gig economy dan talenta digital), jika standar pribadi yang dogmatis tidak dihilangkan, kita hanya akan beralih dari satu bentuk eksklusivitas ke yang lainnya—yang secara struktural menciptakan kelas “terpilih” dan generasi yang terpinggirkan.

Isu mengenai standar ideal dan pengangguran di Indonesia tidak dapat diselesaikan secara sepihak. Yang diperlukan adalah:

  1. Penilaian ulang terhadap sistem perekrutan yang bersifat diskriminatif;
  2. Reformasi dalam pendidikan agar lebih relevan dan responsif terhadap kebutuhan industri melalui kerjasama antara magang dan pelatihan;
  3. Penerapan regulasi yang kuat dan memberikan insentif bagi perusahaan yang mendorong budaya inklusif;
  4. Pendekatan yang berfokus pada kompetensi, bukan pada kualifikasi yang dogmatis.

Tanpa tindakan-tindakan tersebut, angka pengangguran—terutama di kalangan pemuda—akan tetap menjadi beban bagi masyarakat dan menghambat potensi ekonomi.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 4,76% pada Februari 2025; jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang. 5 Mei 2025.

BPS. TPT untuk kelompok usia 15–24 tahun mencapai 16,16%. 5 Mei 2025.

The Bali Media. Larangan persyaratan diskriminatif (usia, status, tinggi, penampilan) dalam lowongan kerja — Surat Edaran M/6/HK. 04/V/2025. 3 Juni 2025.

Robert Walters Indonesia. Tren perekrutan 2025: transisi ke perekrutan berbasis keterampilan. 2025.

Kompas. id. Kekacauan di job fair Bekasi menunjukkan besarnya tekanan yang dialami pencari kerja. 5 Juni 2025.

algoresearch. id. Kurangnya Pekerjaan Formal di Indonesia, Oktober 2024 — sektor formal hanya menyerap sekitar 2 juta tenaga kerja baru antara 2019–2024.

Nababan dan Purba. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Industri Manufaktur di Indonesia, ArXiv 2023 — peningkatan efisiensi produksi dalam industri tidak sejalan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja.

Index