KebudayaanOpini

Pendangkalan Makna Ulama dan Industrialisasi Dakwah: Sebuah Catatan Kritik

×

Pendangkalan Makna Ulama dan Industrialisasi Dakwah: Sebuah Catatan Kritik

Sebarkan artikel ini
https://ciosunidagontor.com/hubungan-antara-murid-dan-guru-di-kalangan-ulama-salaf/

Urupedia.id- Istilah ulama secara historis merujuk pada sosok yang memiliki otoritas keilmuan mendalam dalam berbagai bidang, baik ilmu agama (fiqh, tafsir, hadis, ushuluddin) maupun disiplin non-agama seperti filsafat, logika (mantiq), astronomi, hingga tasawuf.

Ulama klasik bukan hanya pewaris teks, melainkan juga produsen gagasan dan inovasi intelektual. Namun, dalam konteks kontemporer, makna “ulama” mengalami penyempitan yang reduksionis: ia seringkali dipersepsikan sebatas figur penceramah, motivator spiritual, atau bahkan “influencer agama” yang menjual dalil sesuai kebutuhan pasar religius (Abdullah, 2019).

Industrialisasi Dakwah dan Pasar Religius

Fenomena ini berkaitan erat dengan industrialisasi dakwah, yaitu transformasi dakwah menjadi komoditas yang mengikuti logika pasar, media, dan kapitalisme religius. Dakwah tidak lagi sekadar praktik penyebaran nilai moral, melainkan menjadi produk yang dikemas, dipasarkan, dan dikonsumsi oleh publik. Fenomena ini didorong oleh berkembangnya media digital, televisi, hingga platform media sosial yang menciptakan “selebritas agama” (Hasan, 2018).

Dalam logika industri, dakwah diperlakukan seperti hiburan: semakin menarik, semakin populer. Namun, reduksi ini sering mengorbankan kualitas epistemik seorang ulama. Figur yang tidak mendalami disiplin ilmu secara serius, tetapi mampu tampil retoris di panggung publik, seringkali lebih dihargai ketimbang intelektual yang mendalami tradisi keilmuan Islam secara serius (Heryanto, 2020).

Krisis Moralitas: Dari Otoritas Ilmiah ke Skandal Sosial

Krisis semakin nyata ketika figur yang dilabeli “ulama” terseret dalam kasus-kasus pelecehan seksual, korupsi, atau penyalahgunaan otoritas keagamaan. Kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa industrialisasi dakwah bukan hanya menciptakan pasar religius, melainkan juga membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan spiritual. Dalam banyak laporan, figur agama yang dianggap karismatik memanfaatkan kedekatan dengan jamaah, relasi kuasa, serta simbol kesucian untuk melakukan pelecehan (Nisa, 2021).

Fenomena ini menunjukkan bahwa reduksi makna ulama bukan hanya persoalan epistemologis (penyempitan makna dari “ahli ilmu” menjadi sekadar “penceramah”), tetapi juga etis. Ketika otoritas agama dilekatkan pada figur yang tidak mengedepankan integritas moral, maka ulama tidak lagi menjadi ulama, melainkan sekadar “aktor religius” dalam panggung kapitalisme spiritual.

Analisis Kritis

Pertama, terdapat kesenjangan epistemik, yaitu jurang antara ulama klasik yang multidisipliner dengan ulama populer kontemporer yang cenderung simplifikatif. Kedua, ada komodifikasi simbol agama, di mana ayat, hadis, atau fatwa diperdagangkan demi kepentingan individu atau kelompok. Ketiga, terdapat krisis moralitas institusional, yakni lemahnya sistem akuntabilitas terhadap figur agama yang memiliki otoritas publik.

Kritik ini penting, sebab jika tidak ada upaya reorientasi, maka label ulama akan semakin kehilangan makna, dan masyarakat akan semakin sulit membedakan antara ulama sejati dan selebritas agama.

Pendangkalan makna ulama dan industrialisasi dakwah memperlihatkan degradasi epistemologis sekaligus etis. Ulama tidak lagi dipahami sebagai figur multidisipliner yang menjaga integritas ilmu dan moral, tetapi sering hanya dipandang sebagai komoditas pasar religius.

Kasus-kasus penyalahgunaan otoritas, termasuk pelecehan seksual, menjadi bukti paling nyata bagaimana krisis ini berdampak sosial. Oleh karena itu, perlu ada reposisi makna ulama dengan menekankan kembali integritas ilmu dan moral, serta membangun sistem akuntabilitas publik terhadap figur agama.

Daftar Pustaka

  • Abdullah, A. (2019). Islam dan Krisis Otoritas Ulama. Yogyakarta: UII Press.
  • Hasan, N. (2018). Selebritas Agama dan Industri Dakwah di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
  • Heryanto, A. (2020). “Agama, Media, dan Komodifikasi Simbol.” Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(2), 223–245.
  • Nisa, E. F. (2021). “Power, Gender, and Abuse: Religious Authority in Contemporary Indonesia.” Indonesia and the Malay World, 49(143), 67–89.
Advertisements
Index