
Urupedia.id- Malam itu, jutaan mata menatap layar Trans7. Program Xpose Uncensored menayangkan cuplikan video yang mengatasnamakan pesantren namun yang tersisa justru amarah publik.
Tayangan itu dinilai melecehkan, menggiring opini, dan mengabaikan fakta. Dalam hitungan jam, dunia maya bergemuruh, laporan dilayangkan ke KPI dan Dewan Pers. Di tengah arus rating dan iklan, etika seolah menjadi korban yang terlupakan.
Media televisi sering terjebak pada logika komersial, dimana sensasi dan kontroversi menjadi barang dagang untuk menarik perhatian publik.
Eksposur terhadap pesantren yang sebenarnya sarat nilai spiritual dan kebudayaan menjadi bahan tayangan sensasi.
Dalam upaya memperoleh rating tinggi produksi narasi bisa jadi didesain lebih provoaktif daripada objektif, memanfaatkan stereotip atau persepsi keliru untuk menarik klik mata pemirsa
Di titik ini, persoalannya bukan semata soal kesalahan redaksi Trans7, tetapi tentang krisis moral yang melanda banyak ruang redaksi hari ini.
Media kerap abai terhadap riset etika kemanusiaan (human ethical research) yakni proses mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis dari setiap liputan yang disiarkan.
Padahal, di balik setiap tayangan, ada manusia yang menjadi objek pemberitaan, ada martabat yang perlu dijaga, serta nilai-nilai kemanusiaan yang semestinya dilindungi.
Denis McQuail (2010) dalam Mass Communication Theory menjelaskan bahwa fungsi utama media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memelihara tatanan moral dan sosial masyarakat.
Ketika media mengabaikan nilai kemanusiaan demi kepentingan komersial, maka media telah gagal menjalankan fungsi normatifnya sebagai penjaga moral publik (moral guardian).
Sementara itu, Clifford G. Christians (2009) menekankan pentingnya humanistic ethics dalam praktik jurnalistik. Ia berpendapat bahwa inti dari etika media adalah penghormatan terhadap martabat manusia (respect for human dignity).
Setiap proses produksi berita harus dilandasi empati dan kesadaran akan dampak moral dari pesan yang disampaikan. Tanpa itu, media hanya menjadi alat eksploitasi yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Jika ditarik ke dalam konteks komunikasi Islam, etika penyiaran semestinya berpijak pada nilai amanah, ‘adl, dan tabligh. Prinsip amanah menuntut jurnalis untuk menjaga kepercayaan publik dengan menyampaikan informasi yang benar dan berimbang.
‘Adl menekankan keadilan dalam penyajian fakta tanpa memihak atau menstigma. Sementara tabligh mengajarkan bahwa penyampaian pesan harus dilakukan dengan hikmah yakni kebijaksanaan yang mempertimbangkan kemaslahatan manusia.
Dalam kerangka ini, praktik penyiaran yang menyinggung kesakralan pesantren demi rating jelas bertentangan dengan semangat dakwah yang rahmatan lil ‘alamin
Kerangka Teoretis Framing Media
Analisis Framing merupakan salah satu pendekatan penting dalam studi komunikasi massa yang menjelaskan bagaimana media tidak sekadar menyampaikan realitas, tetapi juga membentuk cara publik memahami realitas tersebut.
Robert N. Entman (1993) dalam karyanya “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm” mendefinisikan framing sebagai proses menyeleksi aspek tertentu dari realitas yang ditonjolkan dalam teks komunikasi untuk memperkuat definisi masalah, interpretasi kausal, evaluasi moral, serta rekomendasi penanganan.
Dengan kata lain, framing adalah cara media menyusun pesan agar khalayak menafsirkan peristiwa sesuai dengan sudut pandang tertentu.
Entman menjelaskan bahwa dalam praktiknya, framing memiliki empat fungsi utama, yaitu (1) define problems, (2) diagnose causes, (3) make moral judgment, dan (4) suggest remedies.
Melalui define problems, media menentukan apa yang dianggap sebagai persoalan utama dari suatu peristiwa.
Selanjutnya, diagnose causes menekankan pada siapa atau apa yang dipandang sebagai penyebab dari persoalan tersebut.
Dalam make moral judgment, media menanamkan nilai-nilai moral tertentu untuk menilai benar atau salah suatu tindakan.
Terakhir, suggest remedies menunjukkan bagaimana solusi ditawarkan berdasarkan frame yang telah dibangun.
Empat elemen inilah yang menjadikan framing bukan sekadar teknik penyusunan berita, tetapi juga alat ideologis yang membentuk opini publik.
Dalam konteks etika penyiaran, teori Entman membantu memahami bahwa media memiliki kekuatan besar dalam menentukan persepsi sosial melalui pilihan kata, visual, dan narasi yang disajikan
Analisis Framing Tayangan Trans7 Berdasarkan Model Robert N. Entman
Robert Entman (1993) menjelaskan bahwa framing adalah proses seleksi dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas untuk membentuk pemahaman khalayak terhadap suatu isu.
Dalam tayangan Xpose Uncensored di Trans7, framing dilakukan dengan cara menyusun narasi yang mengarah pada generalisasi dan pembentukan citra negatif terhadap pesantren dan para kiai. Empat elemen framing Entman dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Define Problems (Pendefinisian Masalah)
Tayangan Xpose Uncensored mendefinisikan pesantren sebagai ruang praktik feodalisme dan ketidakadilan sosial. Adegan seperti santri yang berjalan jongkok (ngesot) untuk mendapatkan segelas susu atau mencium tangan Kiai digambarkan sebagai bentuk ketundukan yang tidak manusiawi.
Masalah dipersepsikan bukan pada perilaku individu, melainkan pada sistem kehidupan pesantren itu sendiri. Dengan demikian, media membingkai pesantren sebagai institusi yang bermasalah secara moral dan sosial.
B. Diagnose Causes (Identifikasi Penyebab Masalah)
Penyebab dari fenomena tersebut dikonstruksi oleh narator melalui dugaan bahwa Kiai memperoleh kekayaan dari praktik pemberian amplop dan kerja gratis para santri.
Framing ini membentuk persepsi bahwa ketimpangan sosial di pesantren muncul karena eksploitasi spiritual yang dilakukan oleh Kiai terhadap santri maupun donatur.
Padahal, tayangan tersebut tidak menunjukkan bukti empiris yang jelas dan tidak melibatkan klarifikasi dari pihak yang diberitakan, sehingga penyebab masalah dibangun secara sepihak dan spekulatif.
C. Make Moral Judgment (Penilaian Moral)
Narasi dalam tayangan menilai praktik khidmah (pengabdian santri kepada Kiai) sebagai tindakan feodal yang menindas. Praktik budaya pesantren yang memiliki makna spiritual, seperti tawadhu’ (kerendahan hati) dan pengabdian sebagai bentuk pendidikan karakter, direduksi menjadi simbol penindasan sosial.
Di titik ini, media berperan sebagai hakim moral (moral judge) yang menentukan mana yang benar dan salah tanpa memahami konteks religius dan kultural dari pesantren.
D. Suggest Remedies (Solusi yang Ditawarkan)
Solusi yang disiratkan dalam tayangan ini adalah perlunya pesantren membuka diri dan meninggalkan praktik-praktik yang dianggap tidak manusiawi.
Narasi tersebut mendorong publik untuk menilai pesantren secara kritis bahkan sinis, tanpa mengarahkan pada dialog atau pemahaman yang lebih objektif.
Akibatnya, media tidak lagi menjadi fasilitator pemahaman sosial, tetapi justru memperkuat stigma dan jarak antara pesantren dan masyarakat luas.
Dari hasil analisis framing menggunakan model Robert N. Entman, dapat disimpulkan bahwa tayangan Xpose Uncensored Trans7 membingkai realitas pesantren secara parsial dan sensasional.
Melalui konstruksi narasi dan visual yang menonjolkan sisi eksploitatif serta feodal, media mendefinisikan pesantren sebagai ruang ketidakadilan dan ketundukan, tanpa mempertimbangkan makna kultural dan religius di balik praktik tersebut.
Penyebab masalah dikaitkan dengan perilaku Kiai yang digambarkan serakah, penilaian moral diarahkan pada potret negatif lembaga pesantren, dan solusi yang ditawarkan bersifat normatif tanpa membuka ruang dialog.
Framing semacam ini menunjukkan bagaimana media, dalam upaya mengejar rating dan kepentingan komersial, kerap menanggalkan prinsip dasar riset etika kemanusiaan (human ethical research).
Dampak sosial dan psikologis dari pesan yang disiarkan tidak diperhitungkan, sehingga objek pemberitaan dalam hal ini pesantren dan komunitas santr menjadi korban representasi yang tidak berimbang.
Padahal, menurut Clifford G. Christians, inti dari etika media adalah penghormatan terhadap martabat manusia (respect for human dignity), dan sebagaimana dikemukakan oleh Denis McQuail, media seharusnya menjalankan fungsi moral sebagai penjaga tatanan sosial masyarakat.
Jika ditarik ke dalam konteks komunikasi Islam, praktik penyiaran semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip amanah (kejujuran dan tanggung jawab), ‘adl (keadilan dalam menyampaikan fakta), serta tabligh (penyampaian pesan dengan hikmah dan kebijaksanaan).
Dengan demikian, kasus Trans7 tidak hanya menjadi potret kegagalan redaksional semata, tetapi juga cerminan krisis moralitas media di era komersialisasi konten.
Media idealnya tidak sekadar menjadi penyampai informasi, tetapi juga penjaga nilai-nilai kemanusiaan. Ketika pemberitaan melupakan sisi etis dan memosisikan manusia sekadar objek tontonan, maka media kehilangan ruhnya sebagai sarana pencerahan publik.
Di titik inilah, etika penyiaran dan tanggung jawab sosial media harus kembali ditekankan agar jurnalisme tidak sekadar hidup dari rating, tetapi juga dari moralitas.






