
Demokrasi yang Berhenti di Pintu Pabrik
Urupedia.id- Masalah ketenagakerjaan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal politik. Banyak tempat kerja beroperasi seperti pemerintahan kecil yang otoriter. Pekerja tidak memiliki hak suara atas keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Mereka diatur, diawasi, dan dapat diberhentikan tanpa partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Inilah yang disebut sebagai paradoks demokrasi modern: warga negara bebas di ruang publik, tetapi tunduk di ruang kerja.[1]
Demokratisasi tempat kerja berarti memberi pekerja suara dalam menentukan aturan yang mengatur hidup mereka. Ini bukan sekadar ideal moral, melainkan kebutuhan struktural untuk menciptakan legitimasi dan stabilitas sosial.
Ketika keputusan perusahaan sepenuhnya ditentukan oleh pemilik modal, maka produktivitas dan loyalitas pekerja pun menurun. Sebaliknya, ketika pekerja dilibatkan, mereka menjadi bagian dari tujuan kolektif organisasi.[2]
Model demokrasi tempat kerja dapat berupa dewan pekerja, perundingan kolektif yang kuat, atau sistem keterwakilan dalam keputusan strategis. Di banyak negara Eropa, hal ini menjadi tradisi hukum ketenagakerjaan modern.
Namun di Indonesia, serikat pekerja sering kali masih dianggap ancaman, bukan mitra. Banyak perusahaan menekan kebebasan berserikat atau membuat “serikat kuning” yang tunduk pada manajemen. Tanpa partisipasi nyata, hubungan industrial hanya menjadi formalitas.[3]
Demokrasi ekonomi di tempat kerja penting karena memengaruhi kualitas demokrasi politik secara keseluruhan.
Masyarakat yang membiarkan ketidakadilan di ruang kerja sulit membangun warga negara yang percaya pada prinsip kesetaraan.
Ketika seseorang terbiasa tunduk tanpa suara di kantor, kecil kemungkinan ia akan menuntut akuntabilitas di ranah publik. Dengan demikian, membangun demokrasi politik mensyaratkan demokratisasi ekonomi di tingkat mikro.[4]
Monopsoni dan Kekuasaan Pasar: Dominasi dari Luar Tempat Kerja
Selain kekuasaan di dalam tempat kerja, ada pula dominasi yang datang dari luar: struktur pasar yang terkonsentrasi.
Fenomena monopsoni menggambarkan situasi di mana hanya sedikit perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja di wilayah atau sektor tertentu. Dalam kondisi ini, pekerja kehilangan pilihan alternatif, dan daya tawar mereka menurun drastis.[5]
Monopsoni tidak hanya terjadi di industri klasik seperti pertambangan atau manufaktur. Dalam era ekonomi digital, monopsoni muncul dalam bentuk baru: platform besar yang mengendalikan akses terhadap pekerjaan.
Sopir ojek daring, pekerja freelance, dan kurir hidup dalam sistem algoritmik yang menentukan pendapatan dan waktu kerja tanpa negosiasi langsung. Mereka secara formal “mandiri”, tetapi secara substantif tergantung penuh pada satu sistem digital.[6]
Hukum ketenagakerjaan konvensional sulit menjangkau bentuk hubungan ini. Status pekerja sering dikaburkan sebagai “mitra” agar perusahaan terhindar dari kewajiban hukum. Akibatnya, pekerja tidak memiliki jaminan sosial, perlindungan kerja, atau hak berserikat.
Situasi ini menciptakan bentuk baru dari monopsoni digital yakni ketika kekuasaan pasar dan teknologi bersatu untuk menekan upah dan menghapus tanggung jawab hukum.[7]
Untuk mengatasi hal ini, perlu sinergi antara hukum persaingan dan hukum ketenagakerjaan. Hukum persaingan harus mencegah praktik kolusi dan kontrak non-kompetisi yang menahan mobilitas pekerja, sementara hukum ketenagakerjaan memastikan perlindungan sosial dan hak dasar bagi semua bentuk kerja, termasuk yang berbasis platform.[8] Pasar yang sehat bukan pasar tanpa aturan, tetapi pasar tanpa dominasi.[9]
Di Indonesia, kebijakan yang berpihak pada efisiensi tanpa memperhatikan struktur kekuasaan pasar hanya memperdalam ketimpangan.
Penurunan standar perlindungan tenaga kerja sering diklaim sebagai strategi peningkatan investasi, padahal efek jangka panjangnya adalah memperkuat posisi modal besar dan melemahkan masyarakat kerja. Hukum yang mengabaikan keadilan sosial pada akhirnya gagal menciptakan stabilitas ekonomi.[10]
Regulasi Kerja Sebagai Politik Kebebasan
Keempat pendekatan di atas ketimpangan daya tawar, kapabilitas, demokrasi tempat kerja, dan monopsoni—menegaskan satu hal yang sama yakni hukum ketenagakerjaan bukan sekadar alat ekonomi, tetapi proyek politik kebebasan.
Ia berfungsi membebaskan manusia dari dominasi, baik oleh majikan, struktur pasar, maupun oleh ketidakpastian hidup yang diciptakan sistem ekonomi modern.[11]
Regulasi kerja yang ideal tidak bersifat tunggal, melainkan plural dan kontekstual. Di satu sisi, hukum memperbaiki ketimpangan daya tawar melalui mekanisme seperti upah minimum, perlindungan serikat pekerja, dan jaminan sosial.
Di sisi lain, ia memperluas kapabilitas manusia dengan menciptakan kondisi yang memungkinkan partisipasi, pembelajaran, dan stabilitas sosial.
Pada saat yang sama, hukum juga menjadi sarana demokratisasi ekonomi dengan memberikan ruang bagi pekerja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan menata struktur pasar agar kekuasaan modal tidak menjadi absolut.[12]
Guy Davidov berargumen bahwa inti dari hukum ketenagakerjaan terletak pada tujuan sosialnya—yakni memperbaiki ketimpangan struktural dan memastikan kesejahteraan manusia dalam dunia kerja yang semakin kompleks. Dengan pendekatan bertujuan ini, setiap regulasi seharusnya diukur bukan dari seberapa jauh ia mendorong efisiensi ekonomi, tetapi dari sejauh mana ia menegakkan martabat manusia yang bekerja.[13]
Dalam konteks Indonesia, tantangan utamanya adalah membangun sistem hukum ketenagakerjaan yang tidak berhenti pada fungsi administratif. Hukum harus menjadi sarana transformasi sosial yang menembus batas-batas hubungan kerja formal.
Perlindungan perlu diperluas ke sektor informal dan pekerja digital yang kerap tersembunyi di balik istilah “mitra” atau “pekerja lepas.” Regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan dilema antara fleksibilitas dan perlindungan; ketika deregulasi dilakukan tanpa jaminan sosial yang memadai, hukum justru melegitimasi ketimpangan.[14]
Meregulasi kerja berarti menegaskan bahwa nilai kemanusiaan tidak boleh tunduk pada logika akumulasi modal. Dalam masyarakat yang semakin terdigitalisasi, nilai-nilai seperti keadilan, solidaritas, dan kebebasan harus menjadi panduan moral bagi setiap kebijakan publik.
Regulasi kerja yang adil bukanlah hambatan bagi pertumbuhan ekonomi, melainkan prasyarat bagi keberlanjutan sosial dan kestabilan demokrasi.[15]
Penutup: Meregulasi Kerja untuk Masyarakat yang Bebas dan Bermartabat
Meregulasi kerja bukan sekadar tindakan administratif atau teknokratis, melainkan tindakan politik dalam arti yang paling mendalam yakni menentukan bagaimana kekuasaan dibagi dan bagaimana martabat manusia dijaga.
Hukum ketenagakerjaan adalah bentuk konkret dari demokrasi sosial—upaya kolektif untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kendali atas kehidupannya di tempat kerja.⁸
Ketika hukum gagal melindungi pekerja, pasar berubah menjadi ruang dominasi; tetapi ketika hukum berpihak pada manusia, pasar menjadi sarana kebebasan.
Dalam masyarakat kapitalis yang semakin kompleks, regulasi kerja bukan penghalang efisiensi, melainkan jaminan bahwa efisiensi tidak mengorbankan manusia.
Empat lensa teoretis yang telah dibahas memperlihatkan arah yang sama:
• Dari ketimpangan daya tawar menuju keadilan,
• Dari perlindungan pasif menuju partisipasi aktif,
• Dari pasar bebas menuju pasar yang adil,
• Dari produktivitas semata menuju martabat manusia.
Maka, meregulasi kerja adalah cara masyarakat modern mempertahankan kemanusiaannya. Ia adalah bentuk nyata dari politik kebebasan—kebebasan yang tidak berdiri di atas dominasi, tetapi dibangun dari solidaritas, keadilan, dan demokrasi ekonomi.
Jika demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, maka demokrasi sejati hanya mungkin terwujud ketika rakyat juga berdaulat di tempat mereka bekerja.
Daftar Pustaka
- [1] Elizabeth Anderson, “Labour and Democracy,” in The Oxford Handbook of the Law of Work, ed. Guy Davidov, Brian Langille, and Gillian Lester (Oxford: Oxford University Press, 2024), pp. 172–174.
- [2] Ibid., pp. 175–178.
- [3] Ibid., pp. 180–183.
- [4] Ibid., pp. 184–188.
- [5] Ioana Marinescu and Herbert Hovenkamp, “Labour Market Power: Monopsony, Sticky Workers, and Bargaining Power,” in The Oxford Handbook of the Law of Work, ed. Guy Davidov, Brian Langille, and Gillian Lester (Oxford: Oxford University Press, 2024), pp. 189–191.
- [6] Ibid., pp. 192–195.
- [7] Ibid., pp. 196–198.
- [8] Ibid., pp. 200–203.
- [9] Philip Alston (ed.), Labour Rights as Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2005), pp. 45–47.
- [10] Law No. 11 of 2020 on Job Creation (Undang-Undang Cipta Kerja), State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2020 No. 245, Supplement No. 6573.
- [11] David Cabrelli, “The Traditional Justification of Labour Law,” in The Oxford Handbook of the Law of Work, ed. Guy Davidov, Brian Langille, and Gillian Lester (Oxford: Oxford University Press, 2024), pp. 128–132.
- [12] Virginia Mantouvalou, “Human Rights, Capabilities, and Non-Domination,” in The Oxford Handbook of the Law of Work, ed. Davidov et al. (Oxford: OUP, 2024),
- [13] Guy Davidov, A Purposive Approach to Labour Law (Oxford: Oxford University Press, 2016), p. 52.
- [14] Ibid., pp. 60–62.
- [15] International Labour Organization, Non-Standard Employment around the World: Understanding Challenges, Shaping Prospects (Geneva: ILO, 2016),









