Esai

Reruntuhan yang Menyisakan Nurani, Potret Kemanusiaan di Balik Tragedi Pesantren

×

Reruntuhan yang Menyisakan Nurani, Potret Kemanusiaan di Balik Tragedi Pesantren

Sebarkan artikel ini
Gemini-Ai

Urupedia.id- Pondok pesantren selama berabad-abad telah menjadi jantung pendidikan Islam di Indonesia. Bukan hanya sekadar lembaga pendidikan, tetapi rumah bagi ribuan anak muda dari berbagai pelosok negeri yang datang dengan harapan sederhana untuk mencari ilmu dan membangun masa depan.

Dalam pondok, ilmu, iman, dan kesederhanaan berpadu menjadi kekuatan sosial yang unik. Banyak pesantren berdiri dari swadaya masyarakat yang akhirnya dibangun dengan gotong royong, dan tentu bukan dengan modal besar.

Akan tetapi, di tengah modernisasi dan tuntutan pembangunan, pesantren sering kali dihadapkan pada realitas yang keras seperti ketimpangan ekonomi, minimnya bantuan negara, dan stigma sosial yang masih melekat terhadap lembaga keagamaan yang dianggap tidak formal.

Faktanya, pondok pesantren idealnya menjadi ruang pembentukan moral dan spiritual bagi generasi berakhlak. Namun dibalik ketulusan itu pesantren berjalan sendirian dan dibatas kemampuan tanpa dukungan yang memadai.

Data kementerian agama mencakup ada lebih dari 42.000 pesantren di Indonesia, namun tidak semua terdaftar resmi dan mendapat fasilitas layak seperti tragedi runtuhnya Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo cerminkan persoalan bahwa bangunan diduga belum memiliki izin PBB dan pondok tersebut tidak tercatat didata Kemenag (Suara Indonesia, 2025).

Realitas ini menunjukkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat kerap berjalan tanpa perlindungan struktural yang semestinya.

Peristiwa itu pada akhirnya menjadi renungan bagi pihak pondok, pemerintahan daerah, ataupun pemerintahan pusat.

Pada akhirnya di antara hiruk pikuk kehidupan, kabar runtuhnya Pondok Al-Khoziny di Sidoarjo pada 29 September 2025 hadir sebagai duka yang membelah kesadaran kita bahwa di balik tembok yang roboh, ada harapan dan doa yang ikut terkubur.

Proses evakuasi berjalan penuh haru. Hingga penghentian operasi, petugas SAR berhasil mengangkat 61 jenazah dari reruntuhan, sementara puluhan lainnya selamat dengan luka-luka fisik dan trauma batin.

Tim forensik bekerja siang-malam, mengidentifikasi 48 jenazah dari 67 kantong jenazah yang masuk ke RS Bhayangkara Surabaya.

Permintaan pertanggungjawaban segera melaju, DPR mendesak evaluasi izin ponpes, sementara MUI menyampaikan bahwa musibah ini adalah duka kolektif pesantren Indonesia Mushola yang menjadi tempat beribadah orang muslim untuk mencari ketenangan justru berub ah menjadi peristiwa yang memilukan bagi para santri dan santriwati (Detik, 2025).

Tragedi ini bukan hanya mengingatkan terkait bagaimana pembangunan pindok dari pihak pondok sendiri, namun bagaimana kepekaan sosial dan pemerintah akan hal itu ?

Sayangnya, kita hidup sebagai Warga Indonesia yang dimayoritasi oleh SDM rendah.

Alih-alih melihat akar permasalahan jurstu malah masyarakat menggambil kesimpulan ”Pantas saja roboh karena tidak terdaftar legal gitu”.

Hal ini mencerminkan atas minimnya kita mengetahui ketimpangan. Beberapa pesantren kecil berdiri dari keikhlasan relawan, dan jika ada yang menyalahkan orang miskin pondok yang sekaaligus secara tidak langsung menjadi relawan berarti mereka tidak peduli terhadap sistem.

Dalam hal ini, Marx memandang bahwa perspektif ini suatu bentuk ketimpangan sosial anatara kelas atas dan bawah.

Dalam pandangan Karl Marx struktur sosial dibentuk dari kalangan kelas atas dan kelas rendah, terutama dalam Pondok kecil sangat terlihat ketimpangan sosial saat mereka tidak mendapatkan perlindungan dan pertanggungjawaban dari lembaga besar seperti desa maupun pemerintahan.

Marx menyebut hal ini sebagai kondisi alienasi ketika kelompok tertentu terpisah dari hasil kerja dan makna sosial yang mereka bangun.

Maka pondok-pondok tersebut berperan besar dalam pendidikan moral, namun secara sistematik tetap berada di pinggiran karena tidak memiliki modal ekonomi maupun kekuatan politik untuk diakui.

Dalam kacamata Marx, pendidikan di masyarakat kelas bawah seringkali dipandang sebagai alat reproduksi sosial yang mempertahankan ketimpangan.

Pondok kecil yang berdiri dengan semangat gotong royong justru menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi ekonomi, di mana pondok bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga sebagai ruang anak-anak yang termarginalkan untuk menemukan nilai dan tujuan hidup.

Ketika negara gagal menyediakan asas pendidikan yang layak, pesantren-pesantren seperti ini hadir sebagai penopang akses di tengah keterbatasan terutama di tengah negara yang minim peduli terhadap pendidikan.

Dibalik ketulusan itu, mereka justru sering disalahkan ketika musibah terjadi seolah kemiskinan menjadi dosa yang harus mereka tanggung sendiri.

Jika Marx berbicara tentang sistem yang menindas, Carl Rogers justru menawarkan pandangan sisi psikologis. Proses melihat setiap individu memiliki potensi untuk tumbuh asalkan berada di lingkungan yang mendukung.

Dalam konteks ini, benar bahwa jika suatu lembaga pendidikan tanpa adanya dukungan dari pemerintah ataupun yang paling kecil aparatur desa dapat berpengaruh terhadap sistem pendidikan itu sendiri ataupun sistem bangunan.

Sehingga santri dan keluarga korban tidak sekedar persoalan angka, melainkan manusia yang telah mencari tujuan hidup yang sekarang justru menimbulkan trauma dan tidak adanya tanggung jawab struktural.

Rogers menekankan pentingnya empati dan penerimaan tanpa syarat serta keaslian dalam proses pemulihan.

Maka, dalam menghadapi musibah seperti ini seharusnya masyarakat dan pemerintah diperlukan hadir bukan dengan stigma ataupun kritikan melainkan dengan rasa kasih dan belasungkawa.

Dalam perspektif humanistik penyembuhan bukan hanya soal fisik melainkan pemulihan mental dan martabat kemanusiaan yang sempat retak oleh tragedi dan penilaian sosial yang tidak adil dikarenakan kelas yang tercipta oleh sosial itu sendiri.

Apabila pemikiran max menyoroti ketidakadilan struktural dan Roger menyoroti penyembuhan personal keduanya dapat bertemu dalam perspektif bahwa perubahan lahir dari kesadaran kolektif.

Kita tidak bisa memperbaiki luka individu tanpa memperbaiki sistem yang melukainya begitu pula sistem tidak akan berubah tanpa manusia yang sadar dan peduli.

Maka tragedi pondok Al Khoziny seharusnya menjadi refleksi bersama bukan sekedar tangisan dan kritik, tetapi titik balik bagi sistem pendidikan rakyat agar lebih manusiawi dan adil.

Akhirnya tragedi ini mengingatkan bahwa pembangunan bukan hanya tentang beton dan sertifikat, melainkan tentang nilai kemanusiaan dan solidaritas, sehingga pondok-pondok kecil yang lahir dari keikhlasan masyarakat seharusnya tidak berjalan sendirian di pinggir sistem.

Dengan belajar Marx dan Rogers sekitar diajak untuk lihat manusia bukan dari kelas sosialnya, mainkan martabat serta perjuangan yang dapat berpengaruh bagi individu serta sosial itu sendiri. Karena sejatinya, setiap yang belajar betapa pun sederhana adalah tempat tumbuhnya harapan yang pantas dijaga bersama.

Daftar Pustaka

  • Kementerian Agama Republik Indonesia. (2025). Data Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta
  • Suara Indonesia. (2025, 29 September). Tragedi Runtuhnya Pondok Al-Khoziny di Sidoarjo: Bangunan Tak Miliki Izin PBB dan Belum Terdaftar di Kemenag. Diakses dari https://www.suaraindonesia.co.id
  • Marx, K. (2002). The Communist Manifesto (Terj. Indah Rohmani). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Marx, K. (1978). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Moscow: Progress Publishers.
  • Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.
  • Rogers, C. R. (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.
Advertisements