
Mengapa Kerja Harus Diatur
Urupedia.id- Kerja adalah fondasi kehidupan sosial dan ekonomi. Melalui kerja, manusia tidak sekadar mencari nafkah, tetapi juga menemukan makna, harga diri, dan tempat dalam masyarakat. Dalam proses bekerja, seseorang membangun jati diri sekaligus berpartisipasi dalam kehidupan kolektif.
Namun, di balik peran mulia itu, kerja juga menyimpan ketimpangan kekuasaan yang nyata. Di tempat kerja selalu ada pihak yang memberi perintah dan pihak yang menjalankan, ada yang mengatur waktu dan ada yang diatur.
Dari sinilah hukum ketenagakerjaan lahir: bukan sekadar kumpulan aturan administratif, tetapi sebagai mekanisme moral untuk menyeimbangkan kekuasaan ekonomi dengan prinsip keadilan sosial.[1]
Dalam logika ekonomi pasar, hubungan kerja sering digambarkan sebagai transaksi sukarela antara dua individu yang setara. Narasi ini tampak elegan di atas kertas, namun jauh dari kenyataan di lapangan.
Pekerja tidak pernah benar-benar berada dalam posisi tawar yang seimbang dengan majikan, sebab hidup mereka bergantung pada upah. Bagi sebagian besar orang, menolak bekerja bukanlah pilihan bebas, melainkan ancaman kehilangan sumber hidup.
Maka “kebebasan kontraktual” di pasar kerja sering kali hanya menjadi bentuk halus dari keterpaksaan. Di titik inilah moralitas ekonomi pasar diuji—apakah pasar hanya akan dibiarkan sebagai ruang kompetisi, atau juga dijaga sebagai ruang kemanusiaan[2]
Hukum ketenagakerjaan hadir bukan untuk menentang pasar, tetapi untuk menuntun pasar agar tidak berubah menjadi alat dominasi. Ia berfungsi sebagai penyeimbang struktural, melindungi mereka yang lemah dari kekuasaan modal, sekaligus menegakkan martabat manusia di tengah logika produksi.
Di dalamnya terkandung prinsip bahwa pekerja bukan sekadar faktor produksi, melainkan subjek moral yang memiliki hak atas perlindungan, kepastian, dan penghargaan.[3]
Hubungan kerja berubah, orang bekerja tanpa status nyata. Hukum ketenagakerjaan harus berkembang untuk melindungi dan menjamin kebebasan.
Namun kini, dunia kerja tengah bergeser dengan cepat. Platform digital, kecerdasan buatan, dan model kontrak fleksibel menciptakan bentuk-bentuk subordinasi baru yang lebih tersembunyi. [4]
Ketimpangan Daya Tawar dan Fondasi Klasik yang Tetap Relevan
Selama berabad-abad, alasan utama keberadaan hukum ketenagakerjaan adalah ketimpangan daya tawar. Dalam hubungan kerja, pekerja selalu berada dalam posisi yang lebih lemah.
Mereka menjual tenaga dan waktu, sementara majikan menguasai alat produksi dan menentukan syarat kerja. Tanpa intervensi hukum, pasar kerja akan menghasilkan kesepakatan yang tidak adil karena kekuasaan ekonomi terkonsentrasi pada pemberi kerja.[5]
Ketimpangan ini tercermin dalam berbagai bentuk: upah rendah, jam kerja berlebihan, dan tidak adanya jaminan terhadap pemecatan sewenang-wenang. Itulah sebabnya negara memperkenalkan perlindungan seperti upah minimum, batas waktu kerja, hak berserikat, dan jaminan sosial.
Semua instrumen itu berangkat dari pengakuan bahwa kontrak kerja bukan perjanjian antara dua pihak yang setara, melainkan hubungan hierarkis yang memerlukan koreksi. Namun dalam konteks modern, fondasi ini tidak cukup.
Pasar tenaga kerja tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tetapi juga reproduksi ketidaksetaraan sosial dan politik.
Ketimpangan daya tawar tidak hanya terjadi dalam negosiasi upah, tetapi juga dalam akses terhadap pelatihan, kesempatan promosi, dan perlindungan sosial. Karena itu, hukum ketenagakerjaan perlu melampaui fungsi korektif dan menjadi alat pembebasan sosial.[6]
Di Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja di Indonesia menciptakan konflik antara efisiensi dan keadilan.[7]
Hak, Kapabilitas, dan Non-Dominasi, Pembenaran Baru yang Lebih Manusiawi
Perspektif baru dalam hukum ketenagakerjaan muncul dari teori kapabilitas dan non-dominasi. Gagasan ini memandang bahwa hukum ketenagakerjaan tidak semata-mata berfungsi melindungi pekerja dari eksploitasi, melainkan juga memperluas kemampuan mereka untuk hidup secara bermartabat.
Pekerjaan yang baik bukan hanya yang memberikan upah layak, tetapi juga yang memungkinkan seseorang berpikir, berelasi, belajar, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial sebagai manusia seutuhnya.[8]
Kapabilitas dimaknai sebagai kemampuan nyata seseorang untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga.
Bila seorang pekerja ditempatkan dalam kondisi berbahaya, tanpa jaminan sosial, atau tanpa kesempatan berkembang, maka ia kehilangan sebagian besar potensi kemanusiaannya.
Karena itu, hukum ketenagakerjaan berperan membentuk struktur sosial yang memungkinkan pekerja berkembang — melalui program pelatihan, cuti keluarga, dan perlindungan kesehatan fisik maupun mental.[9]
Sementara itu, teori non-dominasi menegaskan bahwa kebebasan sejati tidak berarti ketiadaan intervensi, melainkan ketiadaan kekuasaan sewenang-wenang.
Seorang pekerja yang “tidak diganggu” tetapi dapat dipecat kapan saja tanpa alasan, tetap hidup di bawah dominasi.
Oleh sebab itu, hukum ketenagakerjaan perlu membatasi kewenangan majikan dengan menetapkan alasan pemutusan hubungan kerja yang sah, menyediakan hak banding, serta perlindungan terhadap intimidasi dan pelecehan kekuasaan.[10]
Dalam konteks Indonesia, prinsip non-dominasi sangat relevan dengan fenomena pekerja kontrak dan outsourcing.
Ribuan pekerja tetap bekerja selama bertahun-tahun tanpa kepastian status, hidup dalam ketakutan kehilangan pekerjaan, dan tidak berani menyuarakan pendapat.
Situasi ini menciptakan ketakutan permanen yang meniadakan kebebasan substantif mereka sebagai warga negara.
Kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang mendorong fleksibilitas hubungan kerja sering kali memperdalam kerentanan tersebut, ketika hak dasar pekerja dikorbankan atas nama efisiensi.[11]
Pendekatan kapabilitas dan non-dominasi memulihkan makna moral hukum ketenagakerjaan artinya ia bukan sekadar seperangkat aturan ekonomi, melainkan instrumen untuk memanusiakan kerja.
Hukum yang adil bukan hanya menetapkan standar upah atau jam kerja, tetapi juga menciptakan kondisi di mana setiap orang dapat tumbuh, belajar, dan berpartisipasi dalam kehidupan bersama tanpa rasa takut.[12]
Daftar Pustaka
- [1] Otto Kahn-Freund, Labour and the Law (London: Stevens & Sons, 1977).
- [2] Hugh Collins, Justice in Dismissal: The Law of Termination of Employment (Oxford: Clarendon Press, 1992).
- [3] Alan Bogg dan Tonia Novitz, Voices at Work: Continuity and Change in the Common Law World (Oxford: OUP, 2014).
- [4] Jeremias Prassl, Humans as a Service: The Promise and Perils of Work in the Gig Economy (Oxford: OUP, 2018); Guy Mundlak, The Law of Work (Oxford: OUP, 2024).
- [5] Guy Davidov, A Purposive Approach to Labour Law (Oxford University Press, 2016), p. 52.
- [6] ibid
- [7] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573.
- [8] Virginia Mantouvalou, “Human Rights, Capabilities, and Non-Domination,” in The Oxford Handbook of the Law of Work, ed. Guy Davidov, Brian Langille, and Gillian Lester (Oxford: Oxford University Press, 2024), pp. 156–158.
- [9] Ibid., pp. 160–163.
- [10] Ibid., pp. 166–168.
- [11] Law No. 11 of 2020 on Job Creation (Undang-Undang Cipta Kerja), State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2020 No. 245, Supplement No. 6573. See also Law No. 6 of 2023 (State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2023 No. 51, Supplement No. 6841).
- [12] Mantouvalou, “Human Rights, Capabilities, and Non-Domination,” pp. 170–172.






