Opini

Media Sosial dan Tubuh Perempuan: Simulacra, Dekadensi Moral, dan Objektifikasi Digital

×

Media Sosial dan Tubuh Perempuan: Simulacra, Dekadensi Moral, dan Objektifikasi Digital

Sebarkan artikel ini

Urupedia.id- Kemajuan teknologi membawa dampak besar bagi masyarakat digital saat ini. Perubahan ini berperan dalam meningkatkan efisiensi pola kerja, mempercepat distribusi informasi, sekaligus mengubah cara masyarakat memahami realitas sosial. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan individu maupun kelompok mengakses berbagai sumber informasi tanpa batas ruang dan waktu.

Selain itu, publikasi dan penyebaran informasi melalui media sosial, blog, serta portal berita, mempercepat arus komunikasi sekaligus memperluas interaksi sosial, budaya, dan ekonomi. Transformasi digital dengan demikian bukan sekadar instrumen, tetapi fondasi penting yang mendorong produktivitas, memperkuat jaringan komunikasi, dan menumbuhkan pola masyarakat yang adaptif terhadap perubahan zaman. Namun, kesiapan masyarakat dalam mengadopsi teknologi digital menjadi syarat mutlak agar dapat bersaing di tengah globalisasi yang kian kompleks.

Disrupsi Digital dan Fetisisme Media: Sebuah Kritik Kultural

Gelombang agresi digital tidak selalu membawa dampak positif. Ketika masyarakat—terutama generasi muda—gagal menginternalisasi etika adaptif terhadap laju evolusi ruang siber, maka yang muncul adalah paradoks destruktif. Konsekuensi paling kentara adalah menjamurnya sampah visual yang tak tereliminasi, di mana tubuh perempuan direduksi menjadi komoditas visual nir-edukasi.

Fenomena ini bukan sekadar insiden, melainkan bagian dari rantai kausalitas yang represif. Konten yang secara brutal mengeksploitasi citra perempuan menemukan audiens toksik, mayoritas laki-laki, yang terperangkap dalam labirin fetisisme visual. Konsumsi apatis dan normalisasi moral terhadap konten ini menjadi bahan bakar algoritma media sosial.

Padahal, algoritma sejatinya netral. Namun, ia justru terjebak dalam siklus eksploitasi terinstitusionalisasi. Hasilnya adalah arus konten amoral yang semakin tak terbendung, memunculkan standarisasi opresif terhadap ekspresi perempuan di ruang digital. Ruang yang semestinya menjadi kanal emansipatoris kini terswastanisasi oleh pandangan patriarkal bertopeng algoritma.

Ini adalah alarm kultural yang mendesak: perlunya intervensi untuk merebut kembali otonomi ekspresi dari cengkeraman kapitalisme visual dan moralitas yang tergerus.

Simulacra dan Objektifikasi Perempuan di Ruang Digital

Konsep simulacra Baudrillard membantu membaca bagaimana tubuh perempuan dijadikan objek visual di media sosial. Ada tiga tahap kritis yang melukiskan proses lenyapnya realitas sosial:

1. Tahap Penghilangan Realitas Awal

Konten yang menjadikan tubuh perempuan sebagai objek nafsu memotong hubungan dengan realitas esensial perempuan sebagai subjek utuh dan kompleks.

  • Realitas yang hilang: perempuan sebagai individu berotonomi, berintelektualitas, serta memiliki peran sosial beragam.
  • Simulacra yang muncul: perempuan direduksi semata menjadi tubuh sebagai komoditas visual. Citra ini bukan lagi cerminan kehidupan nyata, melainkan samaran yang menutupi kompleksitas realitas.

2. Pra-Eminensi Algoritma (Precession of Simulacra)

Algoritma media sosial membalikkan logika kausalitas. Bukan lagi realitas sosial yang memicu produksi konten, melainkan konten itu sendiri yang menciptakan permintaan baru.

Konten simulacra diproduksi masif berdasarkan data konsumsi sebelumnya. Ia bukan hanya mencerminkan realitas, melainkan menggantikannya. Bagi banyak pengguna, citra hiper-objek perempuan menjadi referensi utama tentang bagaimana perempuan “seharusnya” terlihat dan bertindak.

3. Hiperrealitas dan Standarisasi Opresif

Puncak proses ini adalah lahirnya hiperrealitas—dunia di mana citra palsu terasa lebih nyata daripada realitas itu sendiri.

  • Simulacra menjadi norma: perempuan terdorong meniru citra yang dihargai algoritma.
  • Hilangnya otonomi ekspresi: keaslian digantikan kepalsuan yang lebih “sukses” secara algoritmis.

Menurut Baudrillard, masalahnya bukan sekadar soal moralitas. Konten objektifikasi telah melenyapkan realitas itu sendiri. Tubuh perempuan berubah menjadi tanda paling efisien untuk mendulang atensi dan kapital.

Masyarakat digital hidup dalam jebakan simulacra, di mana tubuh perempuan direduksi menjadi citra yang terus berputar dalam sirkuit tanda. Media sosial, dengan algoritma yang seharusnya netral, justru memperkuat kolonialisme seksual atas tubuh perempuan.

Konsep Baudrillard membantu membuka tabir: bahwa yang lenyap bukan sekadar moralitas, melainkan realitas itu sendiri. Dalam hiperrealitas, tubuh perempuan bukan lagi milik dirinya, melainkan milik algoritma, audiens toksik, dan logika kapitalisme visual.

Urgensi hari ini adalah merebut kembali otonomi ekspresi perempuan dari jerat algoritma, serta mengembalikan ruang digital sebagai kanal emansipatoris, bukan arena pengekangan.

Daftar Pustaka

  • Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. Translated by Sheila Faria Glaser. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994.
  • Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures. London: Sage, 1998.
  • Wolf, Naomi. The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. New York: Harper Perennial, 2002.
  • hooks, bell. Feminism Is for Everybody: Passionate Politics. Cambridge, MA: South End Press, 2000.
Advertisements
Index