EsaiPolitik

Membangun Desa dari Bawah, Peran Penting Community Organizer

×

Membangun Desa dari Bawah, Peran Penting Community Organizer

Sebarkan artikel ini

Urupedia.id- Di banyak desa, ketika masyarakat haus akan kepemimpinan yang transparan dan berpihak pada rakyat, mereka selalu memimpikan hadirnya pemimpin yang membawa harapan baru.

Saat momentum Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tiba, warga bersemangat menebak-nebak siapa calon yang dianggap mampu memimpin dengan lebih baik.

Siapa pun yang aktif berbicara soal pemerintahan atau sering mengadakan kegiatan sosial, sering kali langsung dicurigai—atau diharapkan—sebagai calon kepala desa.

Sayangnya, bagi banyak warga, Pilkades seolah menjadi satu-satunya momen yang dianggap menentukan kemajuan desa.

Demokrasi hanya dipahami sebatas Pilkades dan “pil-pilan” lainnya. Dalam imajinasi mereka, demokrasi berarti amplop, kampanye, dan janji-janji manis.

Padahal, Pilkades hanyalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial.

Demokrasi sering dipersempit menjadi peristiwa lima atau enam tahunan (atau delapan tahunan setelah revisi UU Desa).

Padahal, demokrasi sejati adalah urusan keseharian maksudnya adalah partisipasi dan kesadaran warga dalam mengelola kehidupan bersama.

Namun, masyarakat cenderung percaya bahwa yang bisa menyelesaikan masalah hanyalah figur pemimpin yang dianggap “penolong”, bukan partisipasi kolektif mereka sendiri.

Inilah penyakit politik kita, budaya ketergantungan pada sosok.

Bukan budaya partisipatif di mana warga bersama-sama membicarakan nasibnya, menyampaikan pendapat, dan menuntut perubahan.

Budaya Kekuasaan

Pergantian kepala desa sering dianggap sebagai kunci perubahan, padahal itu ilusi belaka.

Kepala desa hanyalah satu orang—dan tanpa pemahaman atas tugas pokok, aturan, serta pengalaman dalam gerakan sosial, ia akan mudah dibentuk oleh situasi kekuasaan.

Kekuasaan, sebagaimana kata Lord Acton, “cenderung korup; kekuasaan absolut korup secara absolut.”

Kekuasaan yang memabukkan membuat banyak kepala desa memanfaatkan jabatan dan anggaran untuk kepentingan pribadi.

Agar aman dan nyaman, mereka menjauh dari partisipasi warga. Akibatnya, kekuasaan di desa sering berubah menjadi budaya tertutup dan otoriter.

Bagaimana proses seseorang yang awalnya lugu bisa berubah menjadi kepala desa yang korup? Setidaknya ada tiga penyebab:

  1. Ego kekuasaan. Begitu berkuasa, seseorang mudah terlena oleh wewenang dan fasilitas. Ia merasa bisa berbuat apa saja demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
  2. Lingkaran politik yang pragmatis. Dalam pertemuan antar-kades, pembicaraan sering berputar pada strategi mengamankan kekuasaan, bukan bagaimana melayani rakyat.
  3. Balas modal politik. Biaya tinggi dalam Pilkades—termasuk praktik “amplop”—mendorong kepala desa untuk mencari jalan mengembalikan modal, bahkan dengan menyalahgunakan wewenang.

Meski demikian, masih ada kepala desa yang berbeda—yang berintegritas, sederhana, dan berorientasi pada pelayanan. Mereka biasanya memiliki idealisme sosial dan moralitas agama yang kuat.

Seperti kisah kepala desa yang mengarahkan perangkatnya untuk menggunakan anggaran sebaik mungkin tanpa intervensi pribadi, “Kalau bisa dibuat sebagus mungkin, malah sebaik mungkin—panitia sudah dapat honor.”

Kepala desa seperti ini langka, tetapi mereka menjadi contoh nyata bahwa integritas masih mungkin tumbuh di tengah sistem yang rapuh.

Pengorganisasian Komunitas di Desa

Pergantian kepala desa bukan jaminan terjadinya perubahan sosial. Yang lebih penting adalah tumbuhnya anak-anak muda dan tokoh-tokoh desa yang peka terhadap masalah sosial, memahami kebijakan publik, serta memiliki inisiatif untuk menggerakkan masyarakat.

Karena itu, pengorganisasian komunitas menjadi kunci. Melalui kegiatan sosial-edukatif di berbagai sektor, desa dapat membangun masyarakat yang terbuka, kritis, dan partisipatif.

Inilah jalan menuju rekayasa sosial (social engineering) yang bertahap namun pasti.

Kegiatan tersebut bisa beragam:

  • Edukasi politik warga, seperti diskusi rutin soal undang-undang desa atau transparansi anggaran.
  • Aksi sosial, seperti kerja bakti, bantuan bagi warga miskin, atau tanggap bencana.
  • Kegiatan budaya, seperti festival lokal, lomba, dan peringatan hari besar nasional dengan muatan nilai kebersamaan.
  • Kegiatan lingkungan, seperti penanaman pohon, lomba kebersihan, dan sarasehan Hari Bumi.
  • Pendidikan anak dan remaja, melalui sanggar seni, kelas literasi, atau pelatihan kepemimpinan muda.

Kegiatan-kegiatan tersebut menumbuhkan kesadaran politik, solidaritas sosial, dan karakter kolektif.

Masyarakat yang terbiasa terlibat akan menjadi kontrol sosial yang efektif.

Mereka tidak mudah dibodohi oleh kekuasaan, bahkan mampu mengawal pemimpinnya agar tetap berada di jalur yang benar.

Peran Penting Community Organizer

Semua itu hanya mungkin jika ada community organizer—penggerak yang mampu membangun, merawat, dan memperluas partisipasi warga. Mereka bekerja di balik layar artinya menginisiasi, mendengar, memotivasi, dan menciptakan ruang dialog.

Seorang organizer harus peka terhadap situasi sosial dan politik, memahami karakter masyarakat, serta memiliki kemampuan komunikasi dan persuasi yang kuat.

Ia harus terus belajar dan berlatih seni memengaruhi dengan empati dan rasionalitas.

Di sinilah fungsi kepemimpinan sejati dalam konteks pembangunan masyarakat desa.

Maka, jika kita ingin desa benar-benar berubah, bukan hanya butuh kepala desa baru, tapi banyak community organizer baru.

Mereka yang menyalakan kesadaran, menumbuhkan partisipasi, dan menjaga api idealisme di tengah arus pragmatisme politik.

*) NURANI SOYOMUKTI
Pendiri Institute Demokrasi dan Keberdesaan (INDEK), kini menempuh studi Pascasarjana Akidah Filsafat Islam di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Advertisements
Index