
Fajar belum usai menggambar cahaya di langit Jamaika, tetapi jerit cangkul dan suara kapak sudah menggema di ladang. Warga-warga berkulit hitam legam berjalan dalam barisan bisu, membungkukan tubuh dengan keadaan kalah oleh waktu yang terus berjalan. Jangan kalian bayangkan masyarakat itu hidup dengan aman dan damai.
Tahun 1900, gambaran neraka bagi warga keturunan Afrika. Aku tak bisa menggerakkan anggota tubuhku. Penglihatan ku buram, mulutku terkunci rapat, dan kakiku terikat rantai kolonialisme. Sudah taka sing jika kami disebut sebagai “Kulit Hitam” yang terbelakang.
Kegiatan sehari-hari keluargaku adalah menanam ganja sebagai makanan pokok di kampung halamanku. Malaikat di keluargaku disiksa dan dihantam tentara kolonial, karena dianggap mengkonsumsi barang illegal di Jamaika. Ibuku pernah berkata: bahwa Ganja itu bukan perbuatan dosa, melainkan tradisi turun menurun yang dijalankan nenek moyang kita.
Kala itu, Jamaika masih berada dalam bayang-bayang hitam kolonialisme.
Keturunan kulit Hitam di negara kami, kalah tenaga oleh keturunan kulit putih. Pelajaran hanya untuk mereka, golongan berkulit putih, sedangkan kami hanya budak yang diwarisi kemiskinan dan kemarginalan.
Keturunan kulit putih kala itu mampu mendominasi kehidupan ekonomi dan politik, meskipun jumlah mereka yang minoritas. Sehingga ketimpangan sosial saat itu tampak nyata dihadapan kami. Disamping itu, aku dan keluargaku berbicara tentang Pan-Afrikanisme yang bertujuan untuk membebaskan orang-orang Afrika dan diaspora Afrika di kanca dunia.
Setiap matahari pamit undur diri, kami melakukan perkumpulan untuk mengawali Gerakan tersebut. Perkumpulan itu akhirnya menyebut-nyebut nama pria, Marcus Garvey. Dia merupakan seorang aktivis Jamaika dan tokoh utama sebuah Gerakan yang disebut “Rastafari”.
Aku masih ingat, agaknya seusai perkumpulan itu. Garvey berkata:
“Aku akan mengangkat martabat dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Afrika di tengah penindasan kolonial,” sabdanya terukir pada tahun 1914.
Kalimat itu menjadi api yang berkobar bagi warga Afrika. Ia bukan hanya menjadi tokoh revolusioner, melainkan menjadi kiblat perjuangan kami. Tiba-tiba aku mendapatkan wahyu sebab wasilahnya “Afrika adalah tanah air sejati bagi seluruh keturunan Afrika”.
Garvey kala itu berkhutbah dan dianggap sebagai ramalan oleh para pengikut Rastafaria. “Lihatlah ke Afrika! Dimana seorang Raja kulit hitam akan di nobatkan menjadi penebus kita,” kalimat ini menjadi aspek teologis penting bagi mereka.
Beberapa tahun kemudian, aku membaca Alkitab secara singkat. Di sana ‘Jah berkata “Inkarnasi-Ku akan hadir di Bumi untuk menyelamatkan kelompok berkulit hitam, dengan hadirnya Nabi dari golongan kalian”.
Melihat ayat itu, aku semakin yakin bahwa Afrika akan mencapai kejayaan dan kebebasannya, ketika inkarnasi Tuhan itu hadir disisi kami. Sejak keluargaku membicarakan pergerakan itu, aku mulai belajar dengan seorang tokoh pendiri Gerakan Rastafari bernama Leonard Howel.
“Hei anak muda, percayalah Haile Selassie adalah inkarnasi Tuhan yang telah ditulis dalam Al-Kitab,”
Seketika itu, keyakinanku semakin kuat.
Karena Pendidikan yang terbatas, aku diberikan bukunya yang berjudul “The Promise Key”. Di lembar pertama yang kumuh, Howel mengatakan “Orang Afrika di seluruh dunia merupakan umat pilihan Tuhan dan penebusan mereka akan datang dari seorang bernama Haile Selassie”.
Tahun 1940-an, aku mendirikan komunitas di Pinacle. Di wilayah ini lah, kami hidup dari ladang, menanam ganja dengan nyaman, gaya hidup sederhana dengan membakar ital sebagai makanan pokok kami.
Pemerintah kolonial menyebut kami sebagai kelompok radikal dan subversive. Mereka kirim martir-martir untuk membakar rumah-rumah kami. Tahun 1954, mereka memberangus kelompok Rastafari di tanah suci Pinacle.
Kejadian ini membuatku dan kelompokku tersebar seperti semut yang kehilangan arah. Aku kabur ke Kawasan urban di Kingston, Ibu kota Jamaika. Aku mabit di desa kumuh dan kecil, Trenctown untuk menyebarkan ajaran Rastafari. Rasa lapar dan keringat bercucuran tak membuatku mengalah. Sela-sela kelelahan ku, kami tetap berkumpul dan menyanyikan lagu One Love, sebagai aransemen yang menunjukan perlawanan dan kebebasan Afrika.
Lirik-lirik lagu itu menjadi do’a dan hajat kepada ‘Jah. Bob Marley memang seorang tokoh perlawanan berbalut penyanyi yang menginspirasi perjuanganku di desa kumuh ini.
Tahun 1966, aku berkumpul ke alun-alun Jamaika. Gedangan Nyaring yang diiringi lagu One Love dan Get up Stand Up menjadi alunan penyambut Nabi Selassie datang ke tanah suci Jamaika. Tanah lapang membawa harapan baru. Selassie berdiri di podium dan berpidato dengan menggelegar.
“Wahai kelompok Rastafari! Berbahagialah kalian, karena ‘Jah berfirman: Tumbuhkan perdamaian, Hadirkan cinta, dan jagalah persatuan,”
Rantaian huruf keluar membawa tangis haru tak terhingga. Tanah suci Jamaika terang benderang, dan matahari ikut senang dengan momentum sakral itu.
Rastafari membuatku berambut Gimbal dan menghisap ganja. Gigiku tinggal bawah, dan dunia semakin modern. Rastafari bukan sekedar kelompok, melainkan agama yang mengedepankan cinta damai dan tekanan spiritual yang amat tinggi.
Sanak cucu ku mendengar hal tersebut, kemudian berkata:
“Apakah legenda Rastafari itu memang nyata?”
“Kalau itu tidak nyata, mengapa kami masih hidup sampai sekarang? Dan mengapa ajaran-ajarannya masih terjaga hingga saat ini,”
Ucapku sambil tersenyum dan mengingat masa-masa itu.