
Identitas Buku
- Judul: Negeri Senja
- Penulis: Seno Gumira Ajidarma
- Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
- Tahun Terbit: 2018 (edisi terbaru)
- Tebal: 248 halaman
Urupedia.id- Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu sastrawan Indonesia yang konsisten menghadirkan karya sastra sebagai ruang kritik sosial dan refleksi politik.
Melalui novel Negeri Senja, ia kembali menunjukkan kepiawaiannya meramu dunia fantasi dengan realitas sosial yang penuh luka.
Novel ini, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia dalam edisi terbaru pada 2018, memperkenalkan pembaca pada sebuah negeri yang senantiasa berada dalam waktu senja—matahari tergantung di cakrawala, tidak pernah terbit penuh, tidak pula tenggelam.
Negeri ini seolah terperangkap dalam keindahan yang membius, tetapi di baliknya tersimpan tirani, ketidakadilan, dan penderitaan yang seakan tidak pernah berakhir.
Kisah bermula dari seorang pengembara yang hidupnya ditandai oleh kesedihan dan perjalanan tanpa ujung. Ia tiba di Negeri Senja, sebuah tempat yang pada awalnya tampak menenangkan sekaligus memesona.
Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa negeri ini dikendalikan oleh seorang penguasa yang digambarkan buta.
Kebutaan sang penguasa bukan hanya kondisi fisik, melainkan juga simbol kebutaan moral: tidak melihat rakyat, tidak peduli pada penderitaan, hanya mengatur dan menguasai.
Tirana, sang penguasa, menjadi personifikasi kekuasaan yang tidak terlihat secara langsung tetapi terasa kuat dalam aturan, norma, dan perintah yang mengekang.
Di titik inilah Negeri Senja membuka lapisan alegorinya. Senja, yang biasanya kita maknai sebagai peralihan menuju malam, menjadi metafora stagnasi dan kemandekan.
Negeri itu tidak bergerak ke malam, tidak pula menuju pagi; ia mandek di sebuah ruang antara yang penuh ketidakpastian.
Senja di sini menggambarkan kondisi masyarakat yang hidup dalam ketakutan, selalu berada di ambang perubahan, tetapi tidak pernah sungguh mengalami transformasi.
Keindahan senja yang terus menerus justru menjadi perangkap, menipu indera, dan menutupi kenyataan pahit di baliknya.
Seno menghadirkan pengembara sebagai tokoh reflektif. Ia bukan sekadar sosok yang datang dari luar, melainkan saksi sekaligus suara pembaca yang diajak menelusuri ketidakadilan.
Kehadiran pengembara memungkinkan narasi ini bergerak sebagai pencarian eksistensial yakni mencari makna kebebasan, keadilan, bahkan kebenaran dalam sebuah dunia yang dikuasai oleh struktur kekuasaan.
Kehidupan masyarakat Negeri Senja sendiri dilukiskan sebagai kumpulan orang yang dibentuk oleh ketakutan.
Mereka tunduk, diam, tetapi juga diam-diam menyimpan keresahan. Di sini Seno seperti hendak mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu hadir lewat kekerasan fisik semata, melainkan lewat norma, wacana, dan aturan tak kasat mata—sebuah pandangan yang beresonansi dengan teori Michel Foucault tentang disiplin dan rezim kebenaran (Satriani, 2024).
Secara estetis, Seno memadukan diksi puitis dengan imaji yang kontras seperti senja yang indah namun menakutkan, penguasa buta namun menguasai segalanya, rakyat yang diam tetapi sesungguhnya terus bergolak.
Gaya ini menjadikan novel terasa seperti dongeng gelap—sebuah kisah fantasi yang penuh simbol tetapi tak bisa dilepaskan dari konteks nyata sejarah Indonesia.
Sejumlah peneliti bahkan menautkan novel ini dengan peristiwa penculikan aktivis 1998, membaca Negeri Senja sebagai representasi kiasan tentang negara yang menutup mata terhadap jeritan rakyatnya (Sadam, 2015).
Dengan begitu, alegori dalam Negeri Senja tidak hanya bersifat universal, melainkan juga sarat rujukan historis yang khas Indonesia.
Meski demikian, kekuatan novel ini justru bisa menjadi tantangan bagi sebagian pembaca.
Dominasi simbolisme dan alegori membuat kisah tidak selalu mudah dipahami.
Ada bagian-bagian di mana kontemplasi filosofis lebih menonjol ketimbang alur yang bergerak cepat, sehingga pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya alegoris bisa merasa terjebak dalam suasana metaforis yang berat.
Namun, di situlah letak daya tarik Negeri Senja: ia mengajak pembaca untuk tidak sekadar mengikuti cerita, tetapi juga merenung, menafsirkan, dan menimbang kembali realitas sosial di luar teks.
Pembacaan Filosofis: Negeri Senja dalam Perspektif Eksistensialisme
Eksistensialisme, terutama dalam pemikiran Albert Camus dan Jean-Paul Sartre, sering menyoroti absurditas hidup manusia, pencarian makna, dan kebebasan individu di tengah keterbatasan.
Negeri Senja dapat dibaca dengan kacamata ini karena tokoh Pengembara berfungsi sebagai representasi manusia eksistensial.
a. Absurd dan Senja yang Abadi
Camus dalam Le Mythe de Sisyphe (1942) menulis bahwa absurditas lahir ketika manusia mencari makna dalam dunia yang tidak memberikannya.
Negeri Senja—dengan waktu yang macet, matahari yang tidak pernah tenggelam, dan penderitaan yang berulang—adalah dunia absurd.
Pengembara hadir sebagai manusia yang sadar, bahwa ia harus terus berjalan walau tidak menemukan jawaban tuntas.
b. Pengembara sebagai Subjek Bebas
Sartre menekankan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas.”
Dalam novel ini, pengembara memilih untuk terus bergerak, tidak menyerah pada keadaan.
Kebebasannya mungkin terbatas secara sosial, tetapi secara eksistensial ia adalah subjek yang menentukan sikap yakni mengamati, menolak, mempertanyakan.
Inilah bentuk perlawanan eksistensialis—melawan keterbatasan dengan kesadaran diri.
c. Perlawanan dan Harapan
Eksistensialisme tidak selalu pesimis. Bagi Camus, absurditas justru harus dilawan dengan pemberontakan—“la révolte.”
Negeri Senja menghadirkan rakyat yang diam, takut, dan terkekang.
Tetapi dalam keberadaan pengembara, ada simbol harapan bahwa kesadaran kritis bisa menyalakan api perubahan.
Senja yang abadi bisa digeser menuju malam (akhir) atau fajar (awal baru), tergantung pada kesadaran kolektif.
d. Refleksi Bagi Pembaca
Dengan kacamata eksistensial, novel ini berbicara bukan hanya tentang politik, tetapi tentang keberadaan manusia dalam dunia penuh keterbatasan.
Apakah kita hanya menjadi rakyat yang tunduk pada norma tirani? Ataukah kita menjadi pengembara yang memilih berjalan, mencari, dan menolak stagnasi?
Sebagai sebuah karya, Negeri Senja bukan hanya novel fantasi, melainkan cermin sosial yang menyingkap wajah kekuasaan.
Seno menunjukkan bahwa keindahan bisa menyembunyikan penindasan, dan bahwa kebebasan menuntut keberanian untuk menembus batas-batas yang dibangun oleh rezim.
Novel ini menegaskan kembali posisi sastra sebagai alat kritik, sebagai cara untuk memahami dan melawan tirani dengan bahasa, imaji, dan narasi.
Oleh: Krisna Wahyu Yanuar
Referensi
- Ajidarma, S. G. (2018). Negeri Senja. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Azzahra, A. (2022, 24 Oktober). Resensi novel Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma. Indonesiana. Diakses dari https://www.indonesiana.id/read/159198/resensi-novel-negeri-senja-karya-seno-gumira-ajidarma
- Camus, A. (1942). Le Mythe de Sisyphe. Paris: Gallimard.
- Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon.
- Sadam, R. (2015). Gugatan terhadap ketidakadilan kasus penculikan aktivis 1998 pada cerpen “Tujuan: Negeri Senja” karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis sosiologi sastra (Skripsi, Universitas Gadjah Mada). Yogyakarta: UGM Repository.
- Sartre, J.-P. (1943). L’Être et le Néant. Paris: Gallimard.
- Satriani, I. (2024). Dimensi kekuasaan dalam novel Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma perspektif Michel Foucault. Hasta Wiyata, 7(III), 79–87.






