Opini

Ketakutan yang Dijual: Konten Mistik sebagai Komoditas di Era Digital

×

Ketakutan yang Dijual: Konten Mistik sebagai Komoditas di Era Digital

Sebarkan artikel ini

Dalam beberapa tahun terakhir, konten yang mengangkat tema mistis dan horor telah mengalami peningkatan ketertarikan yang luar biasa di Indonesia.

Berbagai konten mulai dari menjelajahi lokasi angker, berkomunikasi dengan makhluk halus, hingga demonstrasi kerasukan, telah hadir di berbagai platform digital—terutama YouTube, TikTok, dan Instagram. Lebih menarik (atau mungkin meresahkan), banyak dari konten-konten ini tidak hanya dimaksudkan untuk hiburan, tetapi juga untuk mencari untung yang besar: melalui iklan, hadiah TikTok, hingga sponsor.

Fenomena ini mengangkat pertanyaan penting: apakah rasa takut kini telah menjadi barang yang diperdagangkan di dunia digital?

Mistisisme Sebagai Barang Dagangan

Ketertarikan masyarakat terhadap hal-hal yang berbau gaib bukanlah hal baru dalam budaya Indonesia.

Berbagai daerah di Indonesia memiliki tradisi yang kaya mengenai makhluk halus, roh nenek moyang, dan tempat suci. Namun, di zaman digital ini, unsur budaya tersebut telah berubah menjadi bentuk hiburan yang luas.

Pembuat konten kini menjadikan mistisisme sebagai cerita yang diperdagangkan kepada penonton internasional, lengkap dengan elemen dramatis dan efek visual untuk menarik perhatian.

Seorang pembuat konten di YouTube bernama “Jurnalrisa” contohnya, dikenal karena video penjelajahan lokasi angker bersama timnya. Video mereka menyuguhkan narasi “komunikasi” dengan roh, sering kali disertai dengan adegan kerasukan dan reaksi ketakutan yang ditampilkan dengan dramatis.

Di TikTok, akun-akun seperti @horror. id dan @ghosthunter_indonesia bahkan melakukan siaran langsung dari tempat angker dan meminta penonton untuk memberikan “hadiah” berupa stiker digital berbayar—yang langsung mendatangkan uang bagi mereka (Kurniawan, 2023).

Yang lebih drastis, ada kreator konten yang secara terang-terangan membuat “penampakan buatan” menggunakan teknologi CGI atau kostum untuk meningkatkan ketegangan.

Bahkan seringkali mereka live di TikTok ditengah- tengah hutan hanya untuk mengundang narasi yang memikat.

Video-video ini sering menjadi viral karena dianggap “sangat menyeramkan”, padahal hanya hasil rekayasa. Tak jarang pula mereka menciptakan “drama horor” di balik layar—seolah-olah mereka benar-benar diteror hantu dalam kehidupan nyata, untuk menciptakan rasa empati penonton dan tentunya, untuk mendapatkan lebih banyak pemasukan.

Teater Ketakutan dan Bisnis Perhatian

Fenomena tersebut dapat dipahami melalui konsep bisnis perhatian yang dikemukakan oleh Herbert A. Simon, yang menyatakan bahwa perhatian manusia adalah sumber daya yang langka dan menjadi sangat dicari dalam dunia digital (Simon, 1971).

Dalam bisnis perhatian, apapun yang bisa membangkitkan rasa ingin tahu, emosi, atau ketegangan lebih mudah untuk menarik penonton. Ketakutan—sebagai emosi yang dasar dan kuat—menjadi alat yang sangat berguna dalam proses ini.

Jean Baudrillard dmengatakan bahwa dalam masyarakat postmodern, cara memahami sesuatu bisa menggantikan kenyataan. Ketika simulasi ketakutan—baik melalui drama maupun gambar yang tidak nyata—terus diproduksi dan diterima oleh masyarakat, maka garis antara yang nyata dan tidak nyata menjadi samar (Baudrillard, 1981).

Konten horor digital menjadi Hyper Reality, di mana gambar buatan dianggap lebih “nyata” karena disajikan dengan intensitas dramatis dan teknis sinematografi yang tinggi. Yang semua itu dilebih- lebihkan, hanya untuk menjadikan konten tersebut laku di kalangan masyarakat umum.

Perdagangan Ketakutan dan Eksploitasi Emosi

Konten mistis digital bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga telah menjadi produk yang menguntungkan. Dengan strategi menggoda seperti judul “DITEROR MAKHLUK GAIB! ! ” atau “KAMI DIKUTUK SETELAH LIVE INI! ”, pembuat konten mendorong penonton untuk menonton video secara utuh, memberikan like, memberikan komentar, dan membagikan. Semakin banyak interaksi yang terjadi, semakin besar peluang untuk mendapatkan keuntungan.


Namun, ada sisi negatif dari proses ini. Banyak pembuat konten memanfaatkan ketakutan anak-anak dan remaja yang mayoritas sebagai pemirsa.

Mereka menampilkan ketakutan bukan sebagai cerminan budaya atau spiritual, melainkan sebagai alat manipulasi untuk menarik perhatian dan uang audiens.

Dalam konteks siaran langsung, ketika penonton dipengaruhi untuk “menolong” pembuat konten yang mengalami “gangguan mistis” dengan memberikan hadiah, maka konten mistis menjadi permainan empati yang dimanfaatkan hanya untuk keuntungan finansial.

Dalam situasi ini, ketakutan diproduksi, dikemas, dan dijual secara besar-besaran. Hubungan antara pemirsa dan pembuat konten berubah menjadi hubungan produsen-konsumen, bukan lagi hubungan budaya atau spiritual.

Dahulu cerita rakyat, yang bernuansa mistik merupakan alat untuk masyarakat menjaga keseimbangan alam. Contohnya “Pohon itu angker ada penunggunya” suatu bentuk masyarakat untuk menjaga alam melalui sarana cerita rakyat atau mitos. Tetapi kali ini pergeseran paradigma itu terjadi, cerita- cerita rakyat hanya dijadikan obrolan semu, yang mengundang atensi.

Dalam contoh konten mistis digital, hal yang seharusnya suci dan bermakna spiritual justru dipermudah menjadi sekadar tontonan untuk menghasilkan keuntungan.

Guy Debord, dalam bukunya The Society of the Spectacle, juga menyatakan bahwa masyarakat modern terjebak dalam dunia gambar. Kita lebih sering melihat gambaran kehidupan daripada menjalani kehidupan itu sendiri. Ketika masyarakat lebih percaya pada hantu dalam video YouTube daripada pengalaman spiritual pribadi, kita telah beralih dari dunia makna menjadi dunia pertunjukan (Debord, 1967).

Selanjutnya, filsuf Slavoj Žižek mengingatkan bahwa kapitalisme bisa menyerap bahkan bentuk perlawanan atau keanehan untuk dijadikan komoditas. Mistisisme, yang seharusnya menjadi area refleksi eksistensial dan religius, kini diambil alih oleh algoritma dan angka-angka keterlibatan (Žižek, 2012).

Ketakutan adalah emosi yang sangat manusiawi, dan dalam konteks budaya, ia bisa menjadi sarana refleksi, ekspresi spiritual, bahkan solidaritas.

Namun, ketika ketakutan dijual, diperbesar, dan digunakan untuk mendapatkan klik dan uang, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? Dan apa yang kita korbankan dari makna mistis yang sejati?

Kita memerlukan kesadaran kritis sebagai audiens digital, bahwa tidak semua konten yang populer pantas dikonsumsi tanpa saringan.

Mistisisme bukan sekadar sensasi. Ia adalah bagian dari perjalanan panjang manusia dalam mencari makna. Jika ia dijadikan hiburan murahan, maka bukan hanya budaya kita yang terancam, tetapi juga spiritualitas kita yang menjadi taruhan.


Daftar Pustaka

  • Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Paris: Éditions Galilée.
  • Debord, G. (1967). The Society of the Spectacle. Paris: Buchet-Chastel.
  • Kurniawan, A. (2023). “Fenomena Live Horror di TikTok: Antara Hiburan dan Manipulasi Emosi. ” Remotivi. org.
  • Simon, H. A. (1971). “Designing Organizations for an Information-Rich World. ” Computers, Communication, and the Public Interest, Baltimore: Johns Hopkins Press.
  • Žižek, S. (2012). The Year of Dreaming Dangerously. London: Verso Books.

Index