
Beberapa waktu belakangan ini, jagat maya diramaikan oleh tagar #KaburAjaDulu. Sepintas, tagar ini tampak lucu dan ringan. Meme-meme yang menyertainya pun beragam—mulai dari sindiran terhadap lingkungan kerja yang toksik, mahalnya biaya tempat tinggal, hingga impian untuk hidup di negara dengan empat musim dan transportasi umum yang tertib.
Namun, jika kita merenung lebih dalam, tagar ini sejatinya merefleksikan keresahan yang nyata di kalangan generasi muda, termasuk kita yang beridentitas sebagai Muslim.
Mengapa Banyak yang Ingin “Kabur”?
Coba tanyakan kepada diri Anda sendiri: Pernahkah terlintas keinginan untuk pindah ke luar negeri? Jika pernah, Anda tidak sendirian. Banyak dari kita merasa bahwa kehidupan di negeri ini kian menyesakkan.
Harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan kerja semakin sempit, dan rutinitas terasa menjemukan: bekerja, lelah, tidur, dan mengulanginya lagi. Belum lagi perasaan bahwa negara seolah tidak mendengarkan suara anak mudanya.
Dari sanalah dorongan untuk “kabur” muncul.
Bukan hanya kabur secara fisik, tetapi juga secara emosional dan mental—dari tanggung jawab, dari ekspektasi keluarga atau masyarakat, dan dari tekanan hidup yang tak kunjung usai.
Lalu, Sebagai Muslim, Apakah Kabur Adalah Solusi?
Di sisi lain, sebagai seorang Muslim, kita diajarkan bahwa kehidupan memang penuh dengan ujian. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman:
“Dan sungguh, Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat tersebut tidak hanya memberi peringatan, tetapi juga penguatan. Bahwa dalam kondisi sesulit apa pun, selalu ada ruang untuk sabar dan harapan. Maka, ketika muncul keinginan untuk “kabur”, pertanyaannya adalah: Apakah ini bentuk ikhtiar yang dewasa, atau pelarian dari medan perjuangan?
Islam mengenal konsep hijrah, tetapi hijrah bukan semata-mata pelarian. Rasulullah saw. berhijrah dari Makkah ke Madinah bukan karena menyerah, melainkan sebagai bagian dari strategi dakwah.
Ada visi dan misi besar yang menyertainya. Maka, jika Anda merasa ingin “kabur”, pastikan dahulu: Apakah saya sedang takut, atau sedang menuju sesuatu yang lebih baik di sisi Allah?
Tinggal dan Bertahan Juga Sebuah Pilihan yang Mulia
Perlu kita renungkan pula bahwa terkadang, keberanian tidak terletak pada langkah untuk pergi, tetapi justru pada keputusan untuk tinggal dan memperbaiki. Kita sering lupa bahwa kesabaran adalah bentuk keberanian.
Bangun pagi untuk bekerja secara halal, mengajar anak-anak di desa, mendampingi komunitas agar melek literasi atau teknologi—semua itu juga bentuk perjuangan yang nyata.
Dan kita tidak sendiri. Di berbagai pelosok negeri, banyak anak muda Muslim yang tengah berjuang dalam sunyi. Mereka berdakwah dengan karya, membuka usaha kecil-kecilan, atau berkarya melalui media sosial dan tulisan. Mungkin mereka tidak viral, tetapi dampaknya terasa. Dan ya, itu pun bagian dari jihad.
Dari #KaburAjaDulu Menuju #PelanTapiNggakDiam
Lelah adalah hal yang manusiawi. Mimpi tentang kehidupan yang lebih tenang, teratur, dan tertata pun bukan sesuatu yang keliru.
Namun sebelum melangkah pergi, mari ajukan pertanyaan yang lebih mendalam kepada hati kita: Apa yang sebenarnya saya cari? Karena bisa jadi, yang kita butuhkan bukanlah tempat baru, tetapi makna baru.
Dan makna itu bisa saja sudah ada di sini-di tanah yang kita pijak, di tengah kekacauan yang perlahan bisa kita ubah.
Maka, bagaimana jika kita menciptakan tagar baru bersama-sama?
Pelan tapi Nggak Diam
Sebab perubahan tidak selalu harus besar dan dramatis. Kadang, ia berawal dari niat yang jujur, langkah kecil yang konsisten, dan doa yang tak pernah putus.