
Perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan yang bergerak dalam bidang intelektual dan akademik. Di dalamnya seringkali digelar ruang-ruang diskusi yang melibatkan para ahli dan mahasiswa. Kegiatan ini biasanya berbentuk seminar atau dialog interaktif misalnya, dengan menghadirkan pemateri dengan bidang ilmu tertentu. Dalam konteks pendidikan tinggi yang selalu berubah, seminar ilmiah harus menjadi pusat kegiatan intelektual di kampus.
Sayangnya, fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan hal yang berbeda: ruang seminar semakin sepi, partisipasi mahasiswa menurun, dan reputasi kegiatan akademik semakin menurun. Seminar yang seharusnya berfungsi sebagai tempat berdiskusi dan menghasilkan pengetahuan beralih menjadi acara seremonial yang tidak memiliki makna.
Dalam kenyataannya, banyak seminar di lingkungan perguruan tinggi dihadiri oleh mahasiswa bukan karena minat akademis, tetapi lebih sebagai syarat administrasi yang harus dipenuhi. Beberapa pengajar bahkan menggunakan seminar sebagai pengganti perkuliahan langsung, disertai dengan daftar hadir sebagai sarana pengawasan. Keadaan ini menunjukkan bahwa terdapat paksaan dalam ikut serta mahasiswa. Daripada menciptakan ruang untuk berpartisipasi, kegiatan ini sebenarnya menghasilkan partisipasi yang tidak tulus. Dengan analisis yang sederhana kiranya dapat diterapkan dalam fenomena ini. Akan didapati hasil bahwa dengan pemindahan ruang kuliah ke ruang seminar akan menambah jumlah peserta yang bergabung dalam forum. Hal demikian menggambarkan bahwa untuk sekedar menghadiri seminar, harus menggunakan “paksaan” dari dosen. Tentu melalui pengisian daftar kehadiran mahasiswa.
Kondisi semacam ini justru menunjukan bahwa minat mahasiswa terhadap forum-forum ilmiah masih kurang. Tanpa adanya paksaan dari dosen, mahasiswa cenderung enggan untuk menghadiri seminar. Terlebih atas inisiatif dan keinginan pribadi. Kesadaran mahasiswa untuk menghadiri forum-forum bernuansa ilmiah masih sulit dibangun. Tanpa adanya stimulus apapun, mahasiswa tidak tergerak dengan sendirinya. Namun kegiatan semacam ini sudah lama menjadi tradisi akademik di setiap perguruan tinggi.
Secara umum, seminar akademik terdiri dari peserta dan pemateri. Biasanya kegiatan dimulai dengan pembukaan seremonial yang dipandu oleh Master of Ceremony (MC). Setelah rangkaian seremonial selesai, MC akan menyerahkan forum kepada moderator (orang yang memandu jalannya forum seminar).
Mahasiswa berjalan bolak-balik masuk dan keluar dari ruangan hanya untuk mencatat kehadiran, tanpa menunjukkan partisipasi dalam pembicaraan yang sedang berlangsung.
Dalam berbagai situasi, peserta sering kali pergi dari ruangan sebelum pembicara menyelesaikan presentasinya. Dalam situasi ini, inti dari forum akademik sebagai wadah pertemuan ide dan pertukaran pemikiran telah jauh berpindah dari tujuan mulianya. Namun seiring berjalannya waktu, ekosistem seminar akademik berangsur-angsur menemui kemerosotannya. Alih-alih peminat seminar akademik semakin antusias, justru belakangan ini sepi peminat.
Bahkan dalam kadar tertentu, peserta yang datang dalam seminar tidak sepenuhnya berdasar inisiatif dan keinginan pribadi.
Fenomena ini tidak dapat dipandang sebagai masalah yang terpisah. Ini merupakan tanda adanya krisis dalam orientasi di dunia pendidikan tinggi. Mahasiswa kini tidak lagi menghargai nilai penting dalam aktivitas ilmiah. Mereka tidak menganggap seminar sebagai elemen dalam proses pembentukan pemikiran, tetapi hanya sebagai tugas tambahan untuk memperoleh pengakuan akademis.
Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam perspektif mengenai arti belajar dan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, memindah ruang kuliah yang semula di kelas menuju aula seminar menjadi salah satu cara untuk tetep mempertahankan peserta seminar di tengah terkikisnya minat mahasiswa terhadap forum-forum akademis. Upaya ini bukanlah tanpa masalah, justru banyak efek domino yang terjadi ketika mahasiswa “dipaksa” menghadiri seminar dengan dalih absensi kehadiran.
Jika situasi di atas menunjukan adanya partisipasi yang masif dari peserta seminar.
Dalam momen yang lain dapat berkebalikan. Seringkali seminar yang juga digelar di lingkungan kampus mendapati momen yang kurang beruntung. Hal ini ditandai dengan minimnya partisipasi peserta seminar, termasuk dari kalangan mahasiswa. Bahkan tidak jarang peserta yang menghadiri seminar tidak sampai dari separuh kapasitas kursi yang telah disediakan. Fenomena ini mencerminkan lemahnya kesadaran dan motivasi mahasiswa dalam mengikuti forum ilmiah secara sukarela, serta menunjukkan perlunya evaluasi terhadap ekosistem akademik kampus. Menurunnya ekosistem intelektual mahasiswa di seminar kampus adalah cermin dari persoalan yang lebih besar yaitu krisis orientasi dalam dunia pendidikan tinggi.
Dalam menghadapi situasi krisis seperti ini, pemikiran John Dewey—seorang filsuf dan tokoh pendidikan dari Amerika Serikat—seharusnya diutamakan. Dewey menegaskan bahwa pendidikan harus didasarkan pada pengalaman yang berarti dan partisipasi aktif dari siswa dalam proses pembelajaran. Dalam karyanya yang berjudul Democracy and Education (1916), Dewey menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar penyampaian informasi, melainkan juga merupakan proses sosial yang aktif dan melibatkan partisipasi (Dewey, 1916).
Jika dilihat dari sudut pandang konteks, seminar akademik seharusnya berfungsi sebagai sarana pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk berlatih berpikir kritis, terlibat dalam dialog aktif, serta membangun pendapat berdasarkan argumen yang logis dan kontribusi penemuan ilmiah. Namun, hal ini tidak akan terwujud jika seminar hanya sekadar menjadi suatu rutinitas resmi yang tidak melibatkan partisipasi yang tulus.
Dewey juga mengkritik sistem pendidikan yang terlalu memfokuskan pada kepatuhan dan formalitas, tanpa memberikan kesempatan untuk eksplorasi dan kebebasan berpikir. Hal ini sangat berkaitan dengan situasi kampus saat ini, di mana partisipasi mahasiswa dalam forum ilmiah lebih ditentukan oleh kepatuhan terhadap instruksi dosen, daripada oleh kesadaran intelektual. Sesuai dengan pemikiran Dewey, seminar yang optimal seharusnya menyediakan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar melalui partisipasi aktif, kerja sama, dan pemikiran kritis.
Mahasiswa tidak lagi melihat kegiatan ilmiah sebagai kebutuhan, melainkan hanya sebagai kewajiban administratif. Seminar kehilangan semangat marwahnya dan berubah menjadi seremoni kosong. Namun, kondisi ini bukan sesuatu yang tidak bisa diperbaiki. Diperlukan upaya kolektif dari semua pihak yang terlibat seperti mahasiswa, dosen dan perguruan tinggi. Maka dari itu, untuk mengembalikan wibawa seminar ilmiah di lingkungan perguruan tinggi, perlu dilakukan pergeseran paradigma.
Pertama, seminar harus dirancang sebagai learning experience, bukan sekadar agenda formal. Materi, metode, dan pendekatan dalam seminar harus menarik, relevan, dan memberi ruang partisipasi aktif
Kedua, dosen tidak seharusnya hanya bertindak sebagai pengatur administratif, tetapi harus berperan sebagai fasilitator yang dapat memupuk antusiasme belajar mahasiswa. Mahasiswa harus diberikan dorongan motivasi dari dalam diri untuk belajar, tidak hanya sekadar mengejar nilai dan kehadiran. Ketiga, perguruan tinggi sebagai lembaga harus menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan budaya ilmiah. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan komunitas intelektual, penghargaan kepada partisipasi yang aktif, serta penyatuan forum ilmiah ke dalam kurikulum sebagai bagian dari tujuan pembelajaran.Terlebih lagi perguruan tinggi harus menciptakan ruang-ruang yang mendorong tumbuhnya budaya berpikir kritis. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa kampus hari ini harus membaca ulang orientasinya, guna membangun kembali budaya belajar yang sehat dan berorientasi pada pengembangan intelektual.