Urupedia – Judul tulisan ini adalah satire paling jenius yang pernah dilontarkan Mahbub Djunaidi bertahun-tahun silam. Proyeksinya atas berbagai dinamika di tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) maupun eskalasi politik Indonesia tergambarkan jelas dalam ucapannya, kita seringkali memaknai bahwa “demokrasi” hanyalah pesta belaka, kemeriahan singkat yang datang sesaat.
Bahkan Widji Thukul bersajak: /Demokrasi itu seperti nasi/dicerna menjadi tahi/. Ke-alfaan kita dalam memaknai demokrasi dengan berbagai instrumennya. Semisal musyawarah, kongres, forum pimpinan dan lain sebagainya patut dievaluasi dan di candra lebih dalam.
Ditarik dari kondisi riil sekarang, serangkaian hajat Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII yang baru saja rampung, dari tanggal 17 November 2022 hingga 23 November 2022 bertempat di UIN SATU Tulungagung. Terjadi berbagai peristiwa, dari perkara gesekan mental-fisik, adu gagasan dan kericuhan tipis-tipis.
Keseluruhan fenomena ini sangat lumrah terjadi, namanya juga pesta, ada suka dukanya. Namun, tak hanya soal itu, demokrasi memiliki tugas mulia, untuk menata manusia. Tulisan sederhana ini hanya akan mengulas beberapa catatan ringan sebagai evaluasi bersama.
Entah mengapa, sedari dulu ada konstruk irasional bahwa PMII adalah organisasi politik ektra-parlementer semata, hingga akhirnya teramalkan dalam pola komunikasi antar kader.
Hampir semua pola komunikasi dimulai dari lafaz “siap ketua…”, “siap pimpinan…”, “sahabat ketua apa?…” dan term-term kebahasaan yang sangat politis selalu muncul. Memang benar, politik bukan hanya soal kekuasaan, melainkan juga soal bahasa.
Noam Chomsky dan berbagai pakar teori politik telah menginsafkan kita perihal ini. Imbas dari pola semacam ini ialah penggambaran tunggal bahwa representasi dari PMII di wilayah tertentu hanyalah “ketua” dan “pejabat”-nya saja. Tanpa melihat kompleksitas kader yang ada didalamnya.
Akhirnya, dari kebiasaan semacam ini memunculkan tafsir politik dari figur-figur yang sok berkuasa itu, tanpa sadar akan dinamika internal yang ada di kulturnya masing-masing.
Perlu kiranya untuk menata ulang pola komunikasi, skill ber-PMII bukan hanya soal politik. Banyak sekali kader-kader unggul yang bergumul dengan wacana dan menjadi penulis-jurnalis, berjejaring dan menjadi wirausahawan, dan lain hal.
Maka kiranya, jangan hanya mendangkalkan PMII dalam frame politik saja, bakat ber-PMII itu amat beragam serta luas. Agar tidak terwujud arogansi personal yang dieluh-eluhkan dalam panggilan “Tum, Iya Tum, Siap Tum…” belaka.
Lain hal, sependek pengamatan dari fenomena yang terjadi. Jika memang Muspimnas adalah forum tertinggi yang an sich wajib ditaati, pastilah ada kesiapan gagasan atau rekomendasi yang perlu diprioritaskan.
Kita sadar bahwa hajat ini adalah upaya mengevaluasi pasal dan berbagai Peraturan Organisasi (PO) yang bisa dicanangkan. Niat baik untuk datang pastilah dilandaskan atas tujuan berdialog, mengolah wacana, dan bertanding konsep. Bukan olah raga ringan lempar-lemparan kursi yang kadangkala saat kontestasi juga menjadi ajang rebutan.
Unik memang, seabrek permasalahan kita soal kaderisasi, ideologisasi dan pemberdayaan kader malah alfa dari pembahasan.
Untungnya ada beberapa pihak yang masih waras, semisal efisiensi pengajuan SK kepengirisan lewat E-PMII, pengusulan Mahbub Djunaidi sebagai Pahlawan Nasional, pendirian LBH PMII dari berbagai tingkatan dan revitalisasi materi Kopri, sedikit menambal sulam keresahan ini.
Serta banyak juga usulan minor yang muncul diberbagai ruang, yang mempertanyakan lembaga riset, lembaga media otonom, pemberdayaan ekonomi dan usulan konstruktif lain yang bisa menguatkan PMII dalam berbagai sektor
Ujungnya, kita mempertanyakan kembali mentalitas dan intelektualitas kader dalam mengasah diri, merespon berbagai isu dan ikut andil dalam tata kelola bangsa Indonesia. Jika ini tertanamkan secara kolektif dalam benak kita, mungkin akan ada sedikit “nyala api” yang masih penting untuk dikerjakan. Lantas memang benar ucap Mahbub “pesta telah usai, tapi pekerjaan belum selesai…”
Penulis: Kowim Sabilillah
Tulungagung, 23 November 2022