Urupedia – Sejumlah pedagang Pasar Kertosono mengaku prihatin dan kecewa dengan pembangunan pasar baru yang sedang berlangsung. Pasalnya, mereka menilai pembangunan pasar yang terkesan amburadul dan tidak sesuai kebutuhan para pedagang.
Kondisi itu sama sekali tidak diinginkan oleh para pedagang, karena mereka menginginkan lapak yang layak sesuai dengan yang dibutuhkan. Namun, kenyataannya tidak.
“Hal ini terkesan amburadul dan nanti akan merepotkan pedagang. Karena luas lapak tidak sesuai yang dibutuhkan oleh pedagang. Apalagi sebelum pembangunan tanpa adanya sosialisasi terlebih dulu.
Masak jualan baju lapaknya cuma 1,5 m kan ya ndak cukup,” ujar Ketua Forum Komunikasi (FORKOM), Susanto, Kamis (9/3/2023).
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Nganjuk, dalam hal ini dinas terkait, dalam pembangunan pasar tidak koordinasi ataupun melakukan sosialisasi dengan para pedagang. Padahal, tujuannya agar dapat memberikan hasil yang menguntungkan bagi seluruh pihak.
Selaras dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 menegaskan jika penataan pasar tradisional yang diatur menurut tata ruang wilayah kabupaten/kota harus mempertimbangkan kondisi sosial
ekonomi masyarakat, menyediakan fasilitas umum yang bersih, higenis, aman, dan tertib.
Penataan ulang atau rekonstruksi pasar tradisional memerlukan strategi terstruktur untuk mewujudkan manfaat pembangunan yang jangka panjang. Di samping itu, konsep pembangunan umumnya berorientasi pada perencanaan dengan sistem partisipatif, yaitu perencanaan yang melibatkan rakyat khususnya pedagang dalam proses pembangunan pasar Kertosono.
“Kami para pedangang tidak diajak koordinasi mengenai progres pembangunan pasar,” celetuknya.
Ditambahkan, untuk ukuran luas los atau lapak, pembangunannya tidak melihat kondisi dagangan pedagang. Sehingga, pada akhirnya akan menjadi beban baru bagi para pedagang.
“Idealnya itu 3 meter x 2,5 meter untuk luas pedagang baju, gerabah, sepatu, sandal dan tas. Bukan ukuran 1,6 meter x 1,5 meter,” terangnya.
Berdasarkan perspektif pedagang umum Pasar Kertosono, konflik terjadi karena
ketidak sesuaian penataan kios atau lapak yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
Pemkab sebagai pemilik
otoritas seolah-olah menuntut pedagang untuk mematuhi kebijakan yang telah dibuat. Namun, pemerintah semestinya melakukan koordinasi dengan seluruh pihak yang terlibat untuk menghindari
munculnya konflik.
“Jika tidak dipenuhi untuk direvisi ukuran lapak, ini akan menimbulkan masalah baru bagi kami. Dan lebih baik kami berjualan di pasar darurat saja. Selain itu, kami anggap Pemkab Nganjuk tidak becus untuk urus pedagang pasar kalau ini tidak diselesaikan,” tandas Susanto.