Salah seorang ulama pernah mengatakan, “Barangsiapa yang pernah membaca sejarah seorang wali maka seakan-akan ia telah duduk dengannya.”
Tepat sekali, akhir-akhir ini saya sedang digandrung oleh bacaan-bacaan mengenai sirah para ulama, baik dari kalangan kiai maupun habaib, tiga buku yang ludes saya baca berjudul; Fatwa dan Canda Gus Dur tulisan KH. Maman Imanulhaq Faqieh, Kiai Gado-gado karya Bapak Mukani, dan yang terakhir adalah Catatan Lora Ismael Kholilie. Sebenarnya masih ada satu buku yang berisi 15 biografi kiai pendiri pesantren tua di tanah Jawa, namun belum sempat saya baca, “Napak Tilas Masyayikh” karya M. Solahudin. Buku itu mendekam dalam almari beberapa tahun lamanya.
Saya tergugah untuk membaca buku-buku itu dengan tuntas yang sebelumnya hanya setengah-setengah dikarenakan motivasi Prof. Ngainun Naim. Beliau menghadiahkan satu buku berjudul Kiai Gado-gado ketika saya dan teman saya berkunjung ke rumahnya. Di sana saya benar-benar mendapatkan ilmu yang amat mendaging meskipun pertemuan hanya berlangsung singkat. Setiap obrolan dengan beliau adalah ilmu dan motivasi yang tak dapat ditinggalkan sepersekian detik pun. Sehingga atsar nya saya rasakan begitu dalam hingga dapat menuliskan beberapa karya kemudian.
Dua buku pertama sudah berhasil saya resensi dan diterbitkan di laman internet blue-finch-787250.hostingersite.com. Tersisa satu buku “Catatan Lora Ismael Kholilie” yang akan diulas di sini. Setiap membaca kalimat dan paragrafnya seakan pembaca dituntut intropeksi diri, mengambil hikmah, dan mendapatkan siraman kalbu. Membaca buku ini seakan didongengi penulis. Dengan beragam kisah pertemuan maupun kisah teladan dari para kiai dan habaib membawa pembaca seakan pada dunia nyata sebagai pendengar langsung.
Alur cerita dibuat begitu epik dengan bahasa yang ringan, mudah dipahami namun sangat mendaging. Kisah-kisah dari para ulama yang agung itu memberikan inspirasi dan motivasi begitu kuat. Karena dalam buku ini juga telah dijelaskan bahwa para ulama memang banyak yang bergelut di bidang literasi, dan ketika menulis pun mereka menghadirkan ketulus ikhlasan yang begitu murni. Maka tak salah jika karya-karya para ulama menjadi karya fenomenal yang relevan di sepanjang sejarah. Karena Allah telah meridai penulisnya.
Hal tersebut tertulis dalam Catatan Lora Ismael pada saat mengulas tokoh pengarang kitab “Safinatun Naja dan Sirrul Ikhlas” yakni Syaikh Salim bin Sumair. Pada pembukaan tulisan, Lora Ismael menuliskan sebuah mahfudzat, “Sesuatu yang dilakukan karena Allah, maka ia akan abadi dan terus bersambung, sedangkan sesuatu yang dilakukan karena selain Allah, maka ia akan sirna dan terputus.” Kalimat tersebut sungguh menggugah pembaca untuk menghadirkan keikhlasan di setiap kata, frasa, kalimat bahkan bait paragraf. Karena atsar yang akan diperoleh pembaca tergantung pada keadaan hati penulis ketika menorehkannya. Saya yakin, Lora Ismael adalah salah satu keturunan ulama masyhur Madura, Syaikh Kholil Bangkalan, pastilah dalam setiap menuliskan kisah inspiratif beliau bersama orang-orang mulia dipenuhi dengan keikhlasan yang mana dampak itu sampai kepada pembaca.
Membaca setiap kalimatnya membuat pembaca tersadar, merasa bahwa selama ini masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Beberapa amalan dari para ulama pun dituliskan oleh Lora Ismail dengan tujuan agar bisa dibaca dan diamalkan. Salah satunya amalan Habib Umar bin Hafidz ketika bulan Maulid, beliau membaca amalan salawat sebanyak 5000 kali atau lebih. Salawat itu tertulis, “Allahumma shalli wa sallim ala sayyidina zainil wujud shahibil maqam al mahmud, ma’danil kiram wal juud, wa ala alihi wa sahbihi wafarrij al kurub ummatahu wa aslih syuunahum yaa barru ya wadudd,”(Hal. 202)
Kalau kita aktif scroll instagram maka kita akan menemukan sosok Lora Ismael. Beliau bisa dibilang seorang ulama yang aktif berdakwah melalui instagram, beberapa fatwa dan pendapat beliau terkait berbagai problematika umat sering diunggah pada insta story. Dalam buku ini Lora Ismail mengemas dengan bahasa santai, kadang kala mengemasnya dengan bahasa yang humoris sehingga pembaca bisa mendapatkan asupan segar untuk tertawa dan tersenyum sendiri dikala membaca.
Salah satu idola penulis, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim pun diceritakan beberapa kali dalam buku ini, mulai kunjungan beliau ke Bangkalan, Sampang maupun saat Lora sowan ke Narukan. Gus Baha’ telah mengetahui kemasyhuran Lora Ismael dalam dunia kepenulisan, Gus Baha kemudian memberikan wejangan penting padanya. Bahwa ketika menulis, jadikan tulisan itu sebagai sesuatu yang talqallah bihi, sesuatu yang kelak dapat dipertanggungjawabkan pada Allah. (hal. 148) Sontak saya sendiri yang juga bisa dibilang suka menulis, namun masih taraf penulis amatir menjadi berfikir ulang, apakah selama ini tulisan saya bisa saya pertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya?
Beberapa amanat secara eksplisit maupun implisit menjadi teladan yang harus dijalani meski perlahan. Karena meneladani orang-orang salih akan mengantarkan kita pada keberkahan. Bahkan keberkahan tersebut tak hanya berhenti pada kita sendiri melainkan anak turun kita kelak. Catatan perjalanan Lora bersama Gus Baha ini juga menyisakan amanat penting agar senantiasa mengenalkan anak dan sering mengajak anak sowan ke ndalem orang-orang salih, membiasakan anak-anak kita untuk duduk dengan mereka sehingga tabiatnya akan nular. Semoga dengan perantara ini kita dikaruniai keturunan yang salih-salihah, aamiin.
Akhir-akhir ini bahkan pada kurun sebelumnya sering terjadi permusuhan dan pertengkaran diakibatkan perbedaan pendapat. Perbedaan itu adalah keniscayaan yang seharusnya diterima dan dirawat, bukan malah dilukai dengan cara memaksakan pendapat satu sama lain. Lora Ismael menuliskan kisah Hadratussyaikh Hasyim Asyari dan KH. Faqih Maskumambang. Beliau berdua memiliki perbedaan pendapat mengenai kentongan masjid. Mbah Hasyim menuliskan artikel dalam kumpulan kitabnya, “Irsyadus Sari” mengenai haramnya memakai kentongan, bahkan ditulis khusus dalam risalah dengan judul,” Aljaasuss fii bayaani ahkaam an-naquus,” sementara KH. Faqih Maskumambang juga secara berurutan menuliskan pendapat diperbolehkannya kentongan karena tidak ada dalil yang melarang.
Singkat cerita, ketika KH. Faqih berkunjung ke pesantren Mbah Hasyim, Mbah Hasyim memerintahkan para santri untuk memasang kentongan. Di lain hari, KH. Faqih juga mengundang Mbah Hasyim untuk menghadiri maulid di Gresik, sebelum kehadiran beliau, KH. Faqih mengintruksikan para imam masjid dan musala untuk menurunkan semua kentongan yang ada di sana. Alangkah mulia dan bijaksana akhlak beliau berdua, mengedepankan rasa tenggang rasa daripada ego masing-masing. Kisah ini juga dimuat dalam tulisan Bapak Mukani ketika mengulas sikap toleransinya Mbah Hasyim dalam buku “Kiai Gado-Gado”.
Selain Mbah Hasyim, ulama yang memiliki sikap egaliter adalah Habib Luthi bin Yahya, beliau memiliki metode dakwah yang begitu unik. Kalau saya boleh menganalisa, hampir mirip Gus Miek. Beliau menggaet orang-orang dari berbagai macam latar belakang untuk diajak berdiskusi mengenai Islam, dikenalkan secara perlahan. Dalam catatan buku ini dituliskan, “Ketika kita berdakwah, maka jangan jadikan orang lain sebagai lawan. Jadikan mereka sebagai saudara, kita akan bersikap baik kepada mereka. Kunci dakwah itu satu; kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama, bil mukminiina raufurrahim,“ pungkas Habib Luthfi (hal. 225) Betapa pentingnya sikap humanis, menghargai sesama karena hanya dengan kasih sayang dan kepedulian lah yang dapat melunakkan hati mereka, bukannya dengan kekerasan.
Ulama lain yang diulas di sini adalah Syaikhona Kholil Bangkalan, Mbah Maimun Zubair, Syaikh Ramadhan Al Buthi, Kiai Kholilurrahman (Ra Lilur), serta beberapa habaib. Ada satu tokoh yang membuat saya penasaran karena penulis sendiri masih awam dengan namanya. Ia bukan dari deretan ulama tersohor melainkan berasal dari deretan aktris ternama Mesir, Shams Al-Baroudi. Dalam buku ini Syaikh Muttawalli Sya’rawi memberikan komentar, “Sungguh beruntung Shams. Ia telah mengetahuinya. Ia mendapatkan dalam sekajap apa yang tidak bisa kita dapatkan selama bertahun-tahun.”
Kisah ini bermula ketika Shams menunaikan ibadah Umroh bersama ayah dan saudara perempuannya. Ia memasuki masjid Nabawi dan hendak menuju makam Rasulullah. Ia meniatkan membaca quran di sana hingga khatam. Kala itu Shams merasakan ketenangan dan ketenteraman hati hingga membuat air matanya mengalir. Ketika ia hendak beranjak pergi, ia memandangi pintu makam Baginda Nabi. Di sana terlihat sosok agung yang melihat ke arahnya. Shams seketika jatuh tersungkur dan menangis sembari berucap, Ya habibi ya rasulallah. Dengan pengalaman spiritual tersebut, Shams memutuskan untuk bertaubat dan meninggalkan dunia entertainment padahal ia masih berada di puncak ketenarannya. Tak sedikit orang yang mencibir dan mencelanya. Namun para ulama justru memberikannya dukungan, termasuk Syaikh Mutawali. Anugerah dan pemberian Allah memang tak pernah memandang siapapun, jadi siapapun bisa mendapatkannya dari arah manapun orang lain tidak bisa menyangka dan menerka.
Kisah lain yang tak terlewatkan dan ingin saya ulas di sini adalah kisah asmara Lora Ismail sendiri. Kisah asmara pastinya menjadi tema yang begitu asyik bagi kalangan remaja apalagi yang melewati masa-masa tersebut. Lora memberi judul kisah itu “Ji’ranah dan Cinta yang Bertepuk Sebelah Tangan”. Dikisahkan dalam cerita ini bahwa saat itu Lora Ismael menyukai seorang gadis bahkan sudah mengistikharainya namun pada nyatanya gadis itu dilamar dan dinikahi oleh orang lain. Di saat keadaan terpuruk ini, beliau menemukan beberapa bait syair dari Imam Syafii, dan memang benar kesialan dalam mencintai seseorang adalah ketika ia mencintai orang lain.
Kemudian Lora berusaha mencari solusi, yang akhirnya ditemukan dalam diwan Imam Syafi’I juga. Dalam keadaan tersebut sebaiknya seseorang berusaha mengalihkan perhatian dan fokus untuk hal lain yang lebih penting, mengikhlaskan dan berusaha sabar. Lora pun mengakui jika ia sering melewati hal-hal yang sulit, dan ujian perasaan adalah hal paling tersulit. Karena saking sulitnya urusan mencintai-dicintai ini, seorang ulama sekaliber Ibnu Qayyim Al Jauziyah pun menuliskan kisah. Seorang alim faqih bernama al Makhzumi berdiri khusu’ di depan kakbah dan berdoa, di mana doa tersebut membuat orang yang mendengarnya terheran-heran. Isi doa tersebut adalah untuk memberikan belas kasih kepada orang yang mencintai serta melunakkan hati orang yang dicinta agar menerima cintanya.
Kemudian al Makhzumi memberi tahu orang yang terheran itu bahwa mendoakan mereka lebih baik dari ibadah umroh dan ji’ranah. Dari sinilah judul kisah ini diangkat oleh Lora Ismail meski sedikit didramatisir namun ada benarnya jika masalah perasaan adalah perkara yang sangat sulit dipecahkan dan dicari solusinya kecuali antara yang mencintai dan dicintai sudah sama menautkan hati dan akhirnya mendapatkan rido langit dan restu semesta.
Usai membahas asmara, saya akan memberikan kisah teladan istri Habib Umar, Hubabah Ummu Salim. Beliau adalah sosok perempuan yang begitu berkilau mahkotanya, yakni rasa malu. Tiap detiknya, mulutnya selalu terbasahi oleh dzikir, berdakwah dan melayani keluarga pun masyarakat. Di tengah kesibukannya berdakwah dan mengajar, Hubabah Ummu Salim senantiasa melayani sang Suami, Habib Umar dengan totalitas. Sesibuk dan sepadat apapun jam terbang yang dimiliki, hormat istri terhadap suami adalah yang paling utama baginya.
Pada hakikatnya, buku ini begitu padat isi dan hikmahnya, saya tidak bisa mengulas satu persatu dengan detail dan perinci. Semoga beberapa penggal kisah dan amanat yang saya tulis bisa menjadi kisah teladan bagi kita semua.