Esai

Pembacaan Baru Tentang Sejarah Kepemimpinan dalam Islam

×

Pembacaan Baru Tentang Sejarah Kepemimpinan dalam Islam

Sebarkan artikel ini

Part I

Urupedia-“Terguncang dengan fakta-fakta jauh lebih baik daripada berbangga dengan kepalsuan.” – Faragh Fouda- (h. 177)

Kesan pertama yang pembaca dapati dalam melihat judul buku ini adalah hal misterius, kira-kira apa yang menjadi suatu kebenaran yang disembunyikan oleh para penguasa pada zamannya? Sebelum membahas lebih lanjut tentang isi bukunya, peresensi akan memberikan gambaran peta politik di Mesir pada saat buku ini ditulis oleh penulisnya, Faragh Fouda. Pada masa itu, di Mesir terjadi pertarungan ideologi yang sangat masif, yaitu antara kubu Islamis dan sekularis. Fouda merupakan salah satu tokoh sekularis yang berkeinginan untuk memisahkan urusan negara dan agama. Maka dari itulah ia diincar untuk akhirnya dibunuh. Kemungkinan beberapa karyanya telah lenyap, namun ada beberapa sisa karyanya yang ditemukan, salah satunya buku ini.

Disclaimer yang diungkapkan Fouda dalam pembuka bukunya adalah, “perbincangan kita kali ini adalah perbincangan mengenai sejarah, politik, dan pemikiran, bukan agama, keimanan, dan keyakinan.” Lebih lanjut, ia juga mengungkapkan bahwasanya kebanyakan orang hanya ingin mendengar apa yang mereka sukai dan enggan mendengar apa yang tak mereka suka. Dalam buku ini, Fouda hendak mengulas poin keduanya.

Buku ini terdiri dari empat bab yang dalam isinya membahas kebenaran yang hilang itu sendiri, pembacaan baru mengenai sejarah Khulafaur Rasyidin, sejarah Umayyah dan Abbasiyah. Peresensi mengakui gaya bahasa penulis yang komunikatif sehingga peresensi merasakan kenyamanan dan diajak bercerita dalam bingkai sejarah yang terjadi pada saat itu. Bahasanya pun mudah difahami dan tidak berbelit sehingga semua kalangan akan dengan mudah mencernanya.

Munculnya buku ini adalah sebagai bentuk “penolakan” terhadap mereka yang menganut ideologi islamis, yakni mereka yang mengatakan bahwa agama dan politik merupakan satu wajah koin yang sama. Salah satu slogan yang mereka gaungkan adalah untuk menerapkan syariat Islam pada berdirinya sebuah negara, artinya mereka hendak mendirikan negara Islam. Pada dasarnya Fouda tidak menolak bahwasanya syariat memberikan solusi atas segala problematika hidup, termasuk masalah kemanusiaan dan keadilan. Akan tetapi yang dikritik oleh Fouda dalam hal ini adalah keinginan suatu kelompok yang mengedepankan ambisi untuk berkuasa dengan menggunakan agama sebagai ujung senjatanya.

            Kisah sejarah dimulai dari pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah yang berada di Kota Madinah. Sejarah ini menjadi awal mula bagaimana cara menentukan seorang pemimpin. Pasca meninggalnya Rasulullah, tampu kepemimpinan kosong dan harus diisi. Pada saat itu jika diperkenankan menggunakan hadis—yang notabene hukum pasti yang normatif—pastilah Abu Bakar yang menjadi penerusnya. Akan tetapi dalam hal ini, Abu Bakar menyetujui dilakukannya pemilihan antara dirinya dan Saad bin Ubadah. Dari hal ini dapat diambil konklusi bahwa kepemimpinan diserahkan kepada mereka yang kompeten, tanpa melihat nasabnya. Beralih dari cara pemilihan Abu Bakar pada Umar yang memberikan surat padanya. Namun saat peralihan kepemimpinan  Umar pada Utsman, ia meralat cara memilih pemimpin dengan menunjuk diantara enam pemuka sahabat.

            Pada masa kepemimpinan Abu Bakar dan Ali merupakan masa yang terfokus pada peperangan sehingga besar kemungkinan ambisi untuk berperang lebih besar dibanding membangun negara. Sementara masa Umar dan Usman merupakan masa yang dinilai ideal tentang Islam sebagai sebuah negara. Umar memiliki prestasi cemerlang dalam mengangkat martabat Islam sedangkan Usman memiliki prestasi dalam hal keimanan, kebajikan, dan kedermawanan. Dalam hal ini, Fouda mulai memberikan narasi sejarah tentang “kebenaran yang hilang” itu bahwasanya pada masa Usman kewibawaannya terguncang di mata rakyat hingga ia bisa terbunuh di tangan orang Islam sendiri. Buku-buku sejarah Islam telah menceritakannya, salah satunya adalah at Thabari yang menyatakan bahwa mayat Usman bahkan harus bertahan selama dua hari karena tak dapat dikuburkan. Ketika hendak disemayamkan datang sekelompok Anshar yang melarang, bahkan melarang untuk dikuburkan di perkuburan Baqi. Fouda telah mengungkapkannya secara gamblang, namun ia juga mengafirmasi bahwa kegemilangan dan kebajikan Usman dalam kepemimpinannya tak dapat dinafikan. Namun pada tataran kesimpulan, Fouda memberikan narasi yang polemik kembali bahwasanya pada saat itu rakyat menginginkan Usman turun dari tahtanya setelah menengok kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Namun Usman enggan karena dirinya mengklaim bahwa mandat kepemimpinan itu diberikannya secara abadi dan tidak dapat ditarik ataupun dicabut lagi. Sehingga dapat dikatakan bahwa masa kepemimpinan Usman dianggap kurangnya keadilan karena berlangsung dengan “kepemimpinan seumur hidup.”

            Hal yang ingin disampaikan Fouda di sini adalah janganlah generasi muda hanya berpegang pada kulit luar agama, tak mendalam. Bahwasanya menebar rahmatan lil alamin itu jauh lebih damai dibanding dengan mengangkat senjata dengan berperang. Agama harus dimaknai secara luas, tidak sempit sehingga terbuka untuk alam dan ilmu pengetahuan.

Bersambung pada bagian dua…