Esai

Peristiwa Tahkim; Awal Mula Munculnya Sekte Teologi dalam Islam

×

Peristiwa Tahkim; Awal Mula Munculnya Sekte Teologi dalam Islam

Sebarkan artikel ini
lustrasi- pixabay- karya ha11ok
lustrasi- pixabay- karya ha11ok

Urupedia-Harun Nasution mencatat bahwa memang agak aneh bagi Islam, jika permasalahan pertama yang muncul dalam dunia Islam bukanlah masalah teologi melanikan politik. Persoalan mendasar di bidang politik ini akhirnya merambah dan menyentuh ranah teologi.[1]  Munculnya beberapa sekte dan sempalan dari Islam diawali dari peristiwa tahkim/abitrase. Peristiwa tahkim ini dilatarbelakangi oleh peperangan yang pecah antara pendukung Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib. Sepeninggal Usman, tampu pemerintahan Islam mengalami sejarah yang begitu pelik.

Ketika Usman bin Affan meninggal dunia, calon terkuat yang menjadi khalifah jatuh di tangan Ali. Namun, di sisi lain ia juga mendapatkan tantangan dari golongan lain yang menginginkan kursi kekhalifahan. Tantangan pertama terutama berasal dari Thalhah dan Zubeir yang mendapatkan sokongan dari Aisyah. Thalhah dan Zubeir melakukan perlawanan terhadap Ali karena mereka menduga kuat bahwa ia terlibat dalam pembunuhan Usman bin Affan.[2]  Hal ini dilandasi karena Ali pun tak kunjung menghukum para pembunuh Usman. Pembunuh Usman itu berasal dari Mesir yang bernama Muhammad bin Abu Bakr. Sementara Muhammad bin Abu Bakr adalah anak angkat Ali. Ali tak segera memberikan tindakan tegas untuknya dan malah mengangkatnya menjadi Gubernur Mesir.[3]

Sementara tantangan kedua berasal dari Muawiyah, Gubernur Damaskus yang memiliki pertalian darah yang dekat dengan Usman. Dengan adanya perlawanan tersebut, maka pecahlah Perang Siffin, perang yang terjadi antara Muawiyah dan Ali. Ketika peperangan terjadi, tentara Ali sebenarnya dapat mendeask pasukan Muawiyah sehingga bisa melarikan diri. Namun Amru bin Ash, tangan kanan Muawiyah meminta untuk berdamai dengan mengangkat Al Quran. Akhirnya Qurra’ pihak Ali mendesak untuk mengangkatnya sehingga dengan jalan itu diambillah jalan perdamaian melalui abitrase.

Sebagai juru bicara diangkatlah dua orang dari masing-masing pihak; Amru bin Ash dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asyary dari pihak Ali. Namun sayangnya terdapat kelicikan dan pembelotan yang sangat merugikan. Sebelum para juru bicara menyatakan hasil mufakat, mereka telah terlebih dahulu bermusyawarah dan bermufakat untuk menjatuhkan kedua pemimpin yang bertentangan tersebut, Ali dan Muawiyah. Sebagai tradisi, Abu Musa Al Asyari sebagai sosok tetua memberikan pengumuman terlebih dahulu kepada khalayak untuk menjatuhkan kedua pemimpin, Ali dan Muawiyah. Berbeda dengan yang telah disepakati, Amru bin Ash justru hanya menjatuhkan Ali dan menolak penjatuhan Muawiyah.[4]

Peristiwa tersebut sangat merugikan pihak Ali sehingga Muawiyah naik kedudukan menjadi khalifah yang tidak resmi. Ali pun menolak putusan itu sehingga ia tidak meletakkan tampu kepemimpinanya hingga wafat terbunuh pada 661 M. tentara pihak Ali pun tidak setuju dengan putusan abitrase yang penuh tipu muslihat tersebut. Yang berhak memberikan putusan hanyalah Allah Swt. sehingga muncullah semboyan mereka yang berbunyi “La hukma illa lillah” yang artinya tiada hukum selain hukum dari Allah. Mereka juga memandang Ali bersalah karena telah menerima putusan tersebut. Akhirnya meninggalkan barisan Ali yang dalam sejarah Islam dikenal dengan golongan Khawarij. Karena mendapatkan pertentangan dari dua kubu (Kubu Khawarij dan Muawiyah) akhirnya Ali kuwalahan sehingga ia terbunuh.[5]

Persoalan politik di atas membawa pada timbulnya persoalan teologi. Muncullah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir? Kaum Khawarij yang telah keluar dari golongan Ali berpedapat bahwa Muawiyah dan pengikutnya, Ali, dan beberapa penerima putusan abitrase semuanya kafir karena bukan merupakan hukum Allah. Mereka memiliki semboyan tersendiri “Wa man lam yahkum bimaa anzalallahu fa ulaaika humul kaafiruun,” (Qs. Al Maidah ayat 44)

Persoalan perbuatan dosa ini pun mengalami perkembangan dan mempengaruhi pertumbuhan teologi pada masa mendatang. Aliran yang bermunculan yakni aliran Murjiah dan Mu’tazilah. Kaum Khawarij memandang bahwa orang yang berdosa besar berarti kafir. Kaum Murjiah berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin bukan kafir. Sementara kaum Mutazilah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan kafir bukan pula mukmin. Dari isini muncullah istilah manzilah baina manzilatain. Di sisi lain juga muncullah aliran qadariyah dan jabariyah.


[1] Harun Nasution, Teologi Islam, 5th ed. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), 3.

[2] Memang permasalahan politik masa itu begitu pelik, bahwa sebenarnya pada saat tampu kekuasaan masih berdiri Thalhah pun juga menjadi tokoh di balik beberapa pemberontak yang hendak menjatuhkan Usman. Namun ketika Usman meninggal seakan ia menjadi tokoh paling membela dan menuntut balas atas kematian Usman hingga ia terbunuh dengan tombak Marwan bin Hakam dalam Farag Fouda, Al Haqiqah Al Ghaybah Terjemah Novriantoni, ed. 1 (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), 46.

[3] Nasution, Teologi Islam, 6–7.

[4] Nasution, 7.

[5] Nasution, 7–8.