Esai

Pembacaan Baru Tentang Sejarah dalam Kepemimpinan Islam

×

Pembacaan Baru Tentang Sejarah dalam Kepemimpinan Islam

Sebarkan artikel ini
Gambar Tangkap Layar Cover E-Book Kebenaran yang Hilang karya Faragh Fouda
Gambar Tangkap Layar Cover E-Book Kebenaran yang Hilang karya Faragh Fouda

Part II

Urupedia-Menyambung resensi sebelumnya, dalam pertengahan babnya tentang pembacaan sejarah Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, Fouda memberikan statement menarik “Akidah mempunyai lapangan sendiri dan politik memiliki lapangannya sendiri. Kalau kecakapan dalam kedua hal itu berhimpun—dan itu amat jarang terjadi—akan tercapailah tingkat kesempurnaan. Namun jika keduanya tidak terhimpun, maka setiap perkara ada pakarnya.” Fouda ingin menegaskan bahwa perhimpunan antara agama dan negara merupakan perkara yang amat sulit.

            Jika meminjam istilah Fouda, Khalifah Ali dan Umar bin Abdul Aziz memiliki kemiripan, mereka adalah pemimpin pada zaman yang salah. Karena pada masa Umayyah terjadi polemik yang begitu pelik di antara khalifahnya. Maka mulai saat itu, khalifah tidak lagi berhubungan dengan Islam kecuali hanya sebuah label. Pada saat itu, beberapa khalifah terbunuh dengan cara yang amat tragis (diminum darahnya di depan massa dan diremukkan kepalanya) , tidak mungkin jika khalifah tidak melakukan kesalahan yang berat bagi rakyatnya sehingga tega melakukannya. Beberapa bentuk foya-foya dan memenuhi kenikmatan duniawi, praktik kekejaman dan kesewenang-wenangan, dengan menjadikan topeng agama muncul dengan ragam rupa. Bahkan salah satu khalifahnya memiliki kisah yang akan kita anggap sebagai kemunafikan, yakni mencampakkan al Qur’an.

            Satu kenyataan pahit lagi bagi kita adalah mengetahui kenyataan pembunuhan besar-besaran untuk perebutan kekuasaan. Beralihnya kekuasaan Umayyah pada Abbasiyah tentunya merupakan suatu peralihan kekuasaan yang didapatkan dengan cara mengalahkan tampu kekuasaan sebelumnya. Abu Abbas yang terkenal dengan sematan as Safah merupakan orang yang siap menghalalkan darah siapapun dan membalas dendam untuk membinasakannya. Sejarah begitu pahit mengisahkannya, bahkan ia membongkar kuburan-kuburan pada khalifah Umayyah yang terdahulu dan bahkan masih melakukan penyiksaan pada mayatnya. Begitu bengis dan tragis!

            Romantika masa lalu yang diidamkan oleh kaum fanatis itu akan menjadi omong kosong belaka jika menengok kembali mundur pada kenyataan sejarah, melihat kebobrokan dan begitu rusaknya tampu kepemimpinan masa itu. Karena apa yang mungkin pada masa sahabat belum tentu mungkin pada saat ini. Dalam hal ini, Fouda menginginkan generasi pada saat ini melakukan ijtihad yang diperlukan untuk membentuk pemahaman tentang syariat Islam yang baik dan benar.

            Pada penghujung penutup, Fouda memberikan kita kesadaran atas pembacaan sejarah baru yang dikemukakannya bahwa kita masih sering memfokuskan diri pada aspek paling remeh dari sejarah dan jarang menelaahnya dari sudut pandang agama. Secara fakta, manusia tetaplah manusia dengan sisi-sisi manusiawinya, dari masa ke masa (entah sejak Khulafaur Rasyidin atau sampai saat ini). Peringatan yang diberikan Fouda dalam penutup bukunya memberikan penegasan bahwa semua yang ia tulis disini bukanlah sebuah celaan dan hinaan, mereka-mereka yang bergelar sebagai sahabat memiliki martabat tinggi dan agamawan paling agung. Namun dalam buku ini, ia membedahnya dalam perspektif politik. Closing statement yang Fouda berikan adalah hendak memunculkan Islam dengan wajah perdamaian yang jauh dari senjata dan peperangan. Bahwa keinginan untuk kembali mendirikan khilafah merupakan suatu yang mustahil karena melihat fakta-fakta yang demikian. Ia menghendaki bahwa generasi saat ini melakukan ijtihad dan berusaha menindak kekerasan yang terjadi dengan kelembutan.