
Urupedia- Kedatangan etnis tionghoa tidak luput namanya sejarah perdagangan ke nusantara kedatangannya pertama kali terjadi pada tahun yaitu sekitar masa pelayaran Laksamana Haji Muhammad Cheng Hoo (Sam Po Kong atau Sam Po Tai Jin) mengelilingi dunia, meliputi berbagai negara dan kerajaan di Asia Tenggara. Pelayaran Cheng Hoo di Nusantara tercatat tiba di Tuban, tahun 1406, kemudian di Semarang, Cirebon, Sunda Kelapa, sampai ke Palembang, Riau, Aceh dan Malaka. Sejarah mencatat kedatangan etnis tionghoa di Indonesia selalu mendapatkan perhatian lebih.
Karena pada masa itu etnis tionghoa mendapatkan kedekatan dengan bangsa pribumi. Sampai- sampai belanda yang notabene sebagai bangsa colonial menerapkan kebijakan politik penjajah yang melakukan politik memecah belah penduduk di negara jajahannya tersebut (politik devide et impera), menimbulkan kecemburuan sosial golongan pribumi terhadap golongan etnis Tionghoa Akibatnya pada masa penjajahan, struktur sosial etnis Tionghoa berada kedua dengan rakyat pribumi paling bawah. Namun kedatangan orang tionghoa tiba di kepulauan ini jauh sebelum Belanda datang.
Groeneveld menjelaskan bahwa bangsa Tiongkok mulai menginvasi kepulauan Indonesia pada awal abad ke-5. Sebagian besar orang Tiongkok yang bermigrasi ke Asia Tenggara berasal dari provinsi Guangdong dan Fujian. Orang-orang di Fujian memiliki aksen Hokkien. Orang-orang Provinsi Guangdong disebut Hakka, biasanya dari Guangdong, Hoklo dari Shantou, dan Haifeng dari Pulau Hainan. Usia rata-rata imigran asal Tiongkok adalah antara 20 hingga 45 tahun.
Menurut Wang Gengwu, ada dua pola migrasi Tiongkok: (1) Huashang (2) Huadong. Pedagang Tiongkok mempunyai pola migrasi yang mengikuti perdagangan maritim. Sebaliknya Huakong merupakan migrasi yang didorong oleh kebijakan pemerintah kolonial yang sangat membutuhkan tenaga kerja untuk membangun pusat perdagangan di timur. Tetapi untuk usaha islamisasi di nusantara juga tak luput namanya peran etnis muslim tionghoa yakni melalui Pelayaran Cheng Hoo dan juga peran Wali Songo. (Lohanda Mona, 2009)
Jika melihat sejarahnya muslim Tionghoa di jawa bisa dilihat dari sejarah majapahit saat dipimpin Bhre Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V perkawinannya dengan seorang Puteri dari Champa, nama asli Amaravati atau Dewi Kiem, yang melahirkan anak yang akan menjadi raja besar yakni Raden Fatah atau Pangeran Jin Bun yang akan belajar pada Sunan Ampel, untuk belajar Islamisasi di jawa yang juga didukung adanya gerakan dari Wali Songo lainya. Yang akhirnya memperkuat munculnya Kesultanan Demak sebagai kerajaan islam dan berakhirnya kerajaan majapahit. (Zuliani Putri, Hudaidah, 2021)
Walaupun sebelum kemerdekaan PIT dan PTM hanyalah bersifat lokalan belum menuju nasional. Misi utamanya untuk mendakwahkan islam kepada etnis tionghoa yang belum berislam. Bagi muslim tionghoa PITI merupakan wadah untuk merekatkan silaturahim antar agama dan etnis. Dan merupakan wada juga untuk belajar agama islam untuk kalangan etnis tionghoa. PITI merupakan wadah kesatuan nasional untuk menjunjung tinggi kemerdekaan indonesia. Karena sejak dari dulu bangsa tionghoa berkomitmen memajukan nusantara sampai indonesian, melalui jalur utama ekonomi, dan budaya.
PITI lahir atas saran almarhum KH Ibrahim, Ketua PP Muhammadiyah, kepada almarhum Abdul Karim Oei, menekankan bahwa penyampaian ajaran Islam kepada etnis Tionghoa sebaiknya dilakukan oleh para Muslim Tionghoa itu sendiri. PITI merupakan hasil penggabungan antara Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di Medan, yang dipimpin oleh almarhum H. Abdul Hamid Soei Ngo Sek, A. Hamid Hin Intek, Lim Seng Lian, H. Abdul Karim Oei Tjing Hien, H. Abdusomad Yap Siong, Kho Goan Tin, dan H. M. Isa Idris, serta Persatuan Tionghoa Muslim (PTM), yang juga dipimpin oleh almarhum Kho Goan Tjin. ( Adi Septian, dkk. 2015)
Pendirian Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
Walaupun terkadang membedakan mana etnis tionghoa asli dengan agama khonghucu dengan muslim tionghoa sangatlah sulit. Karena kentalnya juga kebudayaan tionghoa yang melekat kedua identitas tersebut. Tapi upaya untuk persatuan muslim tionghoa sudah berjalan ketika orde baru. Yakni pendirian Pembina Iman Tauhid Islam, yang dikenal juga sebagai Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), didirikan di Jakarta pada tanggal 14 April 1961 oleh almarhum Kho Goan Tjin. Organisasi ini bertujuan untuk menyatukan masyarakat Muslim Tionghoa di Indonesia dalam satu wadah, sehingga dapat berkontribusi secara lebih maksimal dalam proses persatuan bangsa.
Harmoni Filosofi & Tradisi Khonghucu dan Islam dalam Muslim Tionghoa
Setiap agama mengajarkan point- point ajaran kebajikan yang mana terkadang saling terkait dengan agama yang lainya. Tetapi agama juga memiliki batas titik pembeda identitas satu dengan yang lain. Muslim Tionghoa merupakan muslim yang notabene berasal dari etnis tionghoa, muslim tionghoa memiliki kebudayaan tionghoa yang selalu dilestarikan seperti Perayaan Imlek dan tradisi angpau, penghormatan kepada leluhur. Sebenarnya tradisi tersebut juga berpengaruh pada islam seperti angpau ketika lebaran, tahlil sebagai sarana penghormatan leluhur. Karena menurut mereka tradisi & budaya tidak ada kaitannya dengan ritual dan kepercayaan agama.
Ajaran sosial keagamaan Khonghucu dan ajaran islam memiliki titik pertemuan yakni seperti ajaran Toleransi untuk membangun bersama keharmonisan sosial. Dalam islam tertuang pada QS Al Hujurat: 13 dan Khonghucu yang tertuang pada Kitab Mengzi III A: 4: 8. Kedua agama ini berbagi keyakinan mendasar bahwa pada dasarnya, semua orang setara di hadapan Tuhan atau Tian. Namun, yang membedakan mereka adalah tingkat kebajikan individu; dalam Islam, hal ini diukur melalui kesalehan, sementara dalam Konfusianisme, penekanan terletak pada penerapan sifat-sifat mulia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Khonghucu, nilai-nilai seperti iman, Islam, takwa, dan keikhlasan menjadi komponen penting dalam proses pembentukan manusia yang sempurna, sama halnya dengan yang diajarkan dalam Islam. Walaupun Islam sebagai agama monoteistik dan Khonghucu sebagai agama filosofis, tentu ada titik temu diantara keduanya. (Sultan Muhammad, dkk. 2023)
Belajar Nilai- Nilai Keagamaan dan Prinsip Bisnis Etnis Tionghoa
Nilai- nilai dalam etnis tionghoa tidak lepas juga dari nilai- nilai konfusianisme, atau nilai- nilai ajaran khonghucu, yakni seperti menekankan kewajiban masyarakat atas hak-hak, pentingnya kebajikan dan kejujuran atas hukum, fokus pendidikan yang kuat, dan hubungan yang mendalam antara masa lalu dan masa kini. Nilai-nilai ini menumbuhkan etos kerja etnis Tionghoa yang berakar pada disiplin, kesetiaan (Handal & dapat dipercaya), membangun kekuatan hubungan dan jaringan, dan sifat hemat, kreatif dan inovatif.
Daftar Pustaka
Mona Lohanda, “Menjadi Peranakan Tionghoa” dalam: Heru Kustara (ed). Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya. Jakarta: Intisari Mediatama & Komunitas Lintas Budaya, 2009.
Adi Septian, dkk. 2015. “Perkembangan Agama Islam di Kalangan Etnis Tionghoa Semarang Tahun 1972- 1998”, Journal of Indonesian History Vol. 4 No. (1) , Hal 55- 56.
Zuliani Putri, Hudaidah. 2021. “Sejarah Kesultanan Demak: Dari Raden Fatah Sampai”, Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 9, Issue 1, Hal 185- 196.
Sultan Muhammad, dkk. 2023. “Harmonisasi Sosial Keagamaan dan Kemasyarakatan Dalam Pandangan Islam dan Kong Hu Cu”, Jurnal Penelitian Medan Agama Vol. 14, No. 01, Hal 1- 12