FeatureFragmen

Kiai Samsuri, Santri Pangeran Diponegoro yang Berdiaspora ke Trenggalek

×

Kiai Samsuri, Santri Pangeran Diponegoro yang Berdiaspora ke Trenggalek

Sebarkan artikel ini
Kiai Samsuri, Santri Pangeran Diponegoro yang Berdiaspora ke Trenggalek
Kiai Samsuri, kiri sorban putih (Sumber: FP Khazanah Ulama Trenggalek)

Urupedia Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo merupakan salah satu pahlawan nasional yang sangat getol melawan penjajah. Pangeran Diponegoro sendiri memulai peperangannya melawan Belanda sejak 1825.

Penangkapan Pangeran Diponegoro terjadi di Magelang setelah Belanda membuat siasat halal bihalal setelah hari raya pada tanggal 9 Pebruari 1830. Atas penangkapan yang dilakukan oleh Belanda kepada Pangeran Diponegoro tersebut, membuat para santri dan pasukannya berdiaspora ke berbagai daerah.

Kiai Samsuri

Salah satu pasukan Pangeran Diponegoro yang lari ke Kabupaten Trenggalek adalah Kiai Samsuri. Tidak diketahui secara pasti kapan kelahirannya, akan tetapi ia wafat pada tahun 1976.

Anak cucu dari Kiai Samsuri memastikan usia dari Kiai Samsuri kurang lebih 220 tahun. Maka tidaklah heran jika banyak generasi yang pernah bertemu dengan Kiai Samsuri.

Tradisi yang ia lakukan adalah menyembelih hewan kerbau setiap Jumat Kliwon. Kiai Samsuri juga menjadi rujukan masyarakat terkait berbagai masalah, seperti jodoh, rezeki, sampai permasalahan terkait birokrasi atau pemerintahan.

Berdakwah

Dari penuturan keturunan Kiai Samsuri, awal mula ia menyebarkan dakwah di daerah Gunung Kebo, Sambirejo, Trenggalek bersama dua temannya yang juga pasukan Pangeran Diponegoro.

Dua orang tersebut yakni Kiai Abdullah Hafidz atau Mbah Jenggot dan Eyang Kamdi. Pada perjalanannya, agar dakwah yang dilakukan semakin luas, Mbah Jenggot kemudian bergeser ke Utara, ke sebelah Utara Sungai Ngasinan dan Eyang Kamdi bergeser ke Selatan.

Tahun 1910, Kiai Samsuri mendirikan masjid yang bertujuan juga sebagai sarana mengaji masyarakat sekitar. Semakin lama semakin banyak santri yang datang dari luar, oleh karena itu dibangunlah bangunan pondok dan dinamakan Pondok Gunung Kebo.

Kiai Misni

Setelah satu dasawarsa wafatnya Kiai Samsuri pada tahun 1988. Kemudian perjuangan dakwahnya dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Misni (1942-2001). Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu juga dengan Kiai Misni yang juga mewarisi kealiman dan kejadukan dari kakeknya.

Kiai Misni kemudian menamai pondok pesantrennya dengan nama Hidayatul Mubtadiien, tabarrukan kepada Pondok Hidayatul Mubtadiien Lirboyo. Hal ini karena Kiai Misni sendiri juga merupakan alumni Lirboyo.

Kiai Misni wafat pada tahun 2021 saat melaksanakan rukun Islam yang kelima yaitu haji. Ia meninggal pada saat proses haji wada’. Jenazahnya dikebumikan di Ma’la (kurang lebih 3 meter dari maqbarah Sayyidah Siti Khadijah).

Sekarang, Pondok Gunung Kebo (orang-orang mengenalnya) diasuh oleh putra pertama Kiai Misni yang bernama KH. Miftahul Hakim Ahmad (Gus Hakim).

Kegiatan mengaji sampai sekarang terus berjalan, namun Pondok Gunung Kebo lebih dikenal sebagai tempat untuk mondok dan pengobatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), yang merupakan unit baru dan diasuh oleh putra kedua, Muhammad Ali Wafa (Gus Muh).

Sumber: FP Khazanah Ulama Trenggalek

Index