
1 jam sebelum adzan Maghrib saya memperhatikan story Instagram Guru saya di Pondok Pesantren Fadlun Minalloh Gus Faiz Abiyoso terusan postingan Instagram oleh Intelektual NU Bernama Gus Nadir berjudul Mengejar Mahkota Melupakan Fitrah. Ketika saya membaca caption Instagram Gus Nadirsyah saya merasa kaget dan setuju bagaimana seorang anak dipaksa orang tuannya menghafal Al-Qur’an.
Seolah sebuah prestasi luar biasa dalam benak orang tua. Selayaknya sebagai orang dihormati umumnya Masyarakat bahwasannya menghafal Al-Qur’an adalah pencapain level ustadz atau ustadzah yang harus jadi pedoman. Hal inilah membuat saya konsentrasi membaca postingan tersebut. Pasalnya apa yang diutarakan Gus Nadirsyah sama dengan Alm Guru saya sekaligus bapak dari Gus Faiz Abiyoso yakni KH Muhammad Katib Masyhudi fenomena menghafalkan Al-Qur’an perlu dikritisi.
Namun menjadi pembahasan Gus Nadirsyah kali ini yaitu pengharapan orang tua terhadap anaknya kalau orang tuanya tak sanggup menjadi pembimbing agama yang baik. Setidaknya anak adalah harapan kelak sebagai mahkota surga. Surga karena hafal Al-Qur’an? Bukankah ada cara lain memasukkan anaknya atau umat islam pada umumnya masuk surga? (Baca Postingan Instagram nardiyansahhosen_official).
Menurut Gus Nadirsyah anak perlu digali potensinya dan diajari banyak hal seperti : sains, seni atau pertanian umumnya anak lainnya. Karena Gus Nadirsyah menggaris bawahi anak belum tentu mempunyai kemampuan hafalan Al-Qur’an yang selalu dibangga-banggakan orang tua.
Selanjutnya ada pembahasan penting lagi dari Gus Nadirsyah dalam postingan tersebut. Pertama adalah hafalan merupakan level dasar dalam taksonomi belajar. Kedua pemahaman. Ketiga penghayatan dan terakhir pengamalan Tingkat tertinggi (Baca Postingan Instagram nardiyansahhosen_official). Bahkan kata Gus Nadirsyah banyak sekali orang-orang tidak hafal Al-Qur’an semua nya tetapi bisa menjalankan nilai Al-Qur’an. Jelas ini menjadi pembelajaran penting bagi penghafal Al-Qur’an karena selain dianggap tokoh agama di Masyarakat ada beban yang harus diemban.
Dijaga akhlaknya bagaimana Al-Qur’an menjelaskan ayat-ayatnya. Diperbaiki apa yang harus diperbaiki sebagai penghafal Al-Qur’an. Kita tidak tahu apakah para penghafal Al-Qur’an baik dimata Masyarakat. Bisa jadi ia tidak mau dianggap baik atau sebaliknya. Tentu ini juga peringatan bagi penghafal Al-Qur’an untuk lebih berhati-hati menjaga hafalannya, perbuatannya, dan keilmuan. Biar Allah swt yang menilai mana yang terbaik dan terburuk. Kita sebagai umat islam hanya mengingatkan dan menasehati supaya terhindar hal-hal yang tidak diinginkan.
Karena Gus Nadirsyah menganggap islam ini luas sekali ladang pengetahuannya. Orang-orang bisa mempelajari islam dari mana saja. Al-Qur’an tidak wajib dihafalkan akan tetapi diterapkan nilai-nilai Qur’an. Seburuk-buruk kita tahu mana yang buruk untuk diri sendiri dan orang lain mana terbaik. Fokus pada membina Pendidikan akhlakul karimah anak terlebih dahulu mengenal sesuai ajaran Islam dalam Al-Qur’an.
Sumber :
https://www.instagram.com/p/DINfaVnTv3k/utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==