
Dinamika perekonomian global tengah mengalami perubahan besar akibat kebijakan unilateralisme yang semakin menguat, terutama setelah Donald Trump kembali memimpin Amerika Serikat. Kebijakan ekonomi yang sebelumnya berbasis kerja sama multilateral perlahan ditinggalkan, berganti dengan kebijakan sepihak yang mengutamakan kepentingan nasional AS.
Dalam analisis Kajian Mahasiswa Peduli Ekonomi (KMPE), langkah Trump ini telah menciptakan penyebaran ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan keterlibatan besar dalam perdagangan internasional, Indonesia perlu bersiap menghadapi perubahan ini agar tetap kompetitif dalam menghadapi gejolak ekonomi global.
Sejak dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025, Trump langsung menandatangani sejumlah perintah eksekutif yang meringankan ketegangan perdagangan global. Salah satu kebijakan yang paling berdampak adalah pengenaan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari negara-negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS.
Akibat kebijakan ini, pasar keuangan global mengalami tekanan besar. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat melemah hingga Rp16.162 per dolar AS pada akhir tahun 2024. Ketidakpastian yang tinggi membuat investor global menarik modal mereka dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain itu, dampak kebijakan Trump juga terasa pada pasar obligasi Indonesia. Yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun meningkat hingga 7%, melampaui asumsi awal. “Tahun ini, asumsi imbal hasil SBN ditetapkan di angka 7%, dan realisasi akhir Februari mencapai 6,8% secara year to date ,” kata Reza Dwi Kurniawan, analis ekonomi KMPE.
Perang dagang antara AS dan negara-negara mitra dagangnya semakin memanas, menciptakan efek domino bagi negara lain. Kebijakan tarif tinggi AS dibalas oleh Tiongkok, Meksiko, dan Vietnam dengan menerapkan tarif serupa terhadap produk-produk AS.
Reza menjelaskan bahwa kebijakan ini menciptakan gangguan rantai pasokan global yang memaksa negara-negara mencari jalur perdagangan baru. Banyak perusahaan multinasional mulai mengubah strategi investasi mereka untuk menghindari dampak kebijakan proteksionisme AS.
Keputusan Trump untuk menaikkan tarif terhadap negara-negara dalam perjanjian dagang Amerika Utara (NAFTA) juga memperparah kondisi. Kanada dan Meksiko, yang sebelumnya menjadi mitra dagang utama AS, kini harus menghadapi tarif tambahan sebesar 10% untuk barang impor dan 25% untuk sektor energi.
Kondisi ini mengakibatkan harga beberapa komoditas global mengalami penurunan tajam. Indonesia, sebagai negara dengan ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas, juga terkena dampaknya. Harga batu bara anjlok 12,6% secara tahunan menjadi USD 104,6 per metrik ton.
Di sisi lain, harga nikel mengalami penurunan sebesar 6% menjadi USD 16.551 per metrik ton. Hal ini cukup mengingatkan mengingat nikel merupakan salah satu komoditas strategis Indonesia yang mendukung industri baterai kendaraan listrik.
Namun tidak semua komoditas mengalami penurunan. Minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) mengalami kenaikan 27,8% secara tahunan. Meski secara year to date masih mengalami koreksi 0,5%, kenaikan harga ini memberikan sedikit harapan bagi sektor perkebunan Indonesia.
Dalam menghadapi kondisi ini, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia harus memperkuat ketahanan ekonominya. “Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam sistem ekonomi. Kita harus siap menghadapi era unilateralisme dengan strategi ekonomi yang lebih mandiri,” ujarnya.
Menurut Reza, ada beberapa langkah strategi yang perlu segera diambil Indonesia. Pertama, memperkuat industri dalam negeri agar tidak terlalu bergantung pada impor bahan baku dan produk manufaktur. Kedua, diversifikasi ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional seperti AS dan China. Ketiga, Indonesia harus meningkatkan nilai tambah dari ekspor komoditasnya. “Kita tidak bisa terus bergantung pada ekspor bahan mentah. Kita harus mulai fokus pada hilirisasi industri agar memiliki daya saing yang lebih tinggi,” tegas Reza.
Keempat, pemerintah perlu mempercepat reformasi ekonomi agar lebih adaptif terhadap perubahan global. Hal ini meliputi penyederhanaan regulasi, peningkatan kualitas tenaga kerja, serta penguatan infrastruktur logistik dan transportasi.
Perubahan tatanan ekonomi global ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di kancah internasional. Dengan penerapan strategi ekonomi yang lebih proaktif, Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam rantai pasok global.
Selain itu, kerja sama regional seperti ASEAN juga harus diperkuat. Dengan mempererat hubungan dagang dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia dapat mengurangi dampak kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh negara-negara besar.
Menurut KMPE, langkah-langkah tersebut tidak hanya penting untuk menghadapi kebijakan Trump, tetapi juga untuk memastikan ketahanan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. “Kita harus memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi korban perubahan ekonomi global, tetapi juga mampu mengambil peluang di tengah krisis,” ujar Reza.
Peran pelajar dan akademisi juga menjadi krusial dalam merespons perubahan ini. Kajian-kajian ilmiah dan diskusi strategi harus lebih sering dilakukan agar kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah benar-benar berdasarkan analisis data dan mendalam.
KMPE menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menyatakan reaktif terhadap perubahan global. Sebaliknya, Indonesia harus mulai menyusun strategi yang lebih progresif agar bisa tetap bertahan dan berkembang dalam peta ekonomi dunia yang baru.
Dengan kondisi ekonomi global yang semakin tidak diharapkan, kebijakan ekonomi dalam negeri harus semakin diperkuat. Fokus utama harus pada ketahanan ekonomi, peningkatan daya saing industri, serta memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan internasional.
Perubahan besar ini juga mengajarkan bahwa ketergantungan terhadap satu negara atau satu sistem ekonomi dapat menjadi risiko besar. Oleh karena itu, diversifikasi ekonomi harus menjadi prioritas utama pemerintah ke depan.
Dengan strategi yang tepat dan langkah konkret yang segera diambil, Indonesia masih memiliki peluang besar untuk keluar dari sini dengan posisi ekonomi yang lebih kuat dan stabil.
KMPE akan terus memantau perkembangan ekonomi global dan memberikan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk membantu Indonesia menghadapi tantangan ini. Melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha, Indonesia dapat bertahan dan bahkan tumbuh di tengah perubahan tatanan ekonomi dunia yang semakin kompleks.
