
Urupedia.id, JAKARTA – Wacana uang pensiun untuk anggota DPR kembali jadi sorotan publik. Kali ini, kritik tajam datang dari Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid. Ia menolak keras fasilitas pensiun bagi wakil rakyat yang menurutnya bukan pejabat karir, melainkan politisi tahunan.
“Anggota DPR itu bukan ASN yang bekerja dengan jenjang karir permanen. Mereka hanya pejabat politik yang dipilih rakyat untuk periode tertentu. Maka keliru jika ada fasilitas pensiun yang justru membebani keuangan negara,” tegas Habib Syakur, Minggu (7/9/2025).
Bagi Habib Syakur, logika pemberian pensiun DPR jelas timpang. Rakyat masih berjibaku dengan harga pangan, lapangan kerja sempit, hingga subsidi yang seret. Di sisi lain, politisi yang masa baktinya hanya lima tahun justru mendapat jaminan finansial seumur hidup. “Ini menggerus rasa keadilan publik,” tandasnya.
Pensiun DPR: Regulasi Usang di Era Reformasi
Memang, secara historis, pemberian pensiun bagi anggota legislatif berlandaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980. Kala itu, rezim Orde Baru memposisikan DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dalam satu rumpun istimewa dengan hak-hak administratif.
Namun setelah reformasi, lahir berbagai aturan yang memperketat pengelolaan keuangan negara: UU Keuangan Negara (2003), UU Perbendaharaan Negara (2004), dan UU BPK (2006). Semua menekankan efisiensi dan akuntabilitas penggunaan APBN.
Dengan semangat itu, fasilitas pensiun DPR tampak anomali. “Kalau konsisten dengan semangat reformasi, seharusnya pensiun DPR ditinjau ulang, bahkan dihapuskan,” kata Habib Syakur.
Politik Sebagai Pengabdian, Bukan Profesi
Di sinilah garis demarkasi penting: jabatan politik berbeda dari jabatan karir. ASN, TNI, atau Polri punya sistem merit, kenaikan pangkat, hingga hak pensiun berbasis masa kerja. Sebaliknya, DPR bekerja dengan mandat politik lima tahunan. Tidak terpilih lagi, ya selesai.
“Politisi lima tahunan tidak bisa disamakan dengan ASN. Justru aturan harus lebih ketat agar tidak ada pemborosan APBN,” ujar Habib Syakur.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa penghapusan pensiun DPR bukan sekadar soal efisiensi, tapi soal moral politik. “Kalau masih ada yang ngotot soal pensiun DPR, artinya mental politik kita belum berubah. Politik seharusnya pengabdian, bukan ladang keuntungan pribadi,” pungkasnya.
Analisis: Menolak Privilege, Menguji Keseriusan Reformasi
Sikap Habib Syakur ini sesungguhnya merefleksikan keresahan publik yang kerap melihat DPR sibuk memperjuangkan kepentingan internal ketimbang nasib rakyat. Isu pensiun hanyalah satu contoh kecil dari persoalan lebih besar: apakah DPR mau menempatkan dirinya sebagai pelayan rakyat atau sekadar kelas elite baru dengan hak-hak istimewa?
Jika DPR masih mempertahankan pensiun, maka pesan yang ditangkap publik jelas: reformasi hanya berhenti di slogan. Namun bila DPR berani mencabutnya, itu akan menjadi langkah simbolik penting—bahwa politik tidak lagi dipandang sebagai profesi seumur hidup, melainkan amanah sementara yang harus dipertanggungjawabkan.






