
Urupedia.id- Presiden Prabowo Subianto secara tiba-tiba mengikuti telekonferensi bersama petani, penyuluh pertanian, kepala dinas provinsi, serta Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (3/2/2025). Dalam pertemuan virtual yang dihadiri sekitar 4.000 peserta ini, Presiden menegaskan komitmen pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan, khususnya beras.
“Masalah pangan adalah masalah kedaulatan. Masalah pangan adalah masalah kemerdekaan. Masalah pangan adalah masalah kelangsungan hidup kita sebagai bangsa. Jika kita ingin menjadi negara maju, pangan harus aman dulu,” kata Presiden Prabowo.
Pernyataan Prabowo mengenai swasembada pangan bukan sekadar janji teknokratis tentang peningkatan produksi, melainkan sebuah wacana politik yang sarat makna ideologis. Kata “swasembada” sendiri menghadirkan gambaran kemandirian nasional, sebuah imajinasi kolektif bahwa bangsa ini mampu berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bergantung pada impor. Dalam ruang wacana politik, pilihan kata tersebut bekerja sebagai simbol, mengikat isu pangan dengan kedaulatan negara. Dengan begitu, pernyataan tersebut tidak hanya bicara soal beras, jagung, atau kedelai, tetapi juga tentang harga diri bangsa.
Wacana ini muncul dalam praktik komunikasi politik seorang presiden yang sedang meneguhkan arah pemerintahannya. Media massa kemudian menggulirkan pernyataan itu dengan framing tertentu, menjadikannya headline dan janji besar, sehingga publik menangkapnya sebagai harapan baru akan stabilitas harga pangan dan kesejahteraan petani. Namun, di balik itu terdapat produksi makna yang lebih dalam: swasembada pangan menjadi perangkat retorika untuk memperkuat citra kepemimpinan Prabowo sebagai nasionalis populis yang dekat dengan rakyat kecil. Ia adalah bahasa yang menenangkan sekaligus mengikat loyalitas politik.
Jika dilihat dalam kerangka sosial yang lebih luas, wacana ini tidak lahir di ruang kosong. Sejak era Soekarno hingga Orde Baru, politik pangan selalu menjadi medium legitimasi kekuasaan. Keberhasilan swasembada beras pada masa Soeharto, misalnya, dijadikan simbol keberhasilan pembangunan. Kini, Prabowo mencoba mereproduksi wacana yang sama, tetapi di tengah kondisi yang jauh lebih kompleks: globalisasi perdagangan pangan, krisis iklim yang mengancam produktivitas lahan, serta struktur impor yang masih dikuasai oligarki dan mafia. Dengan demikian, pernyataan ini sekaligus merupakan strategi merawat legitimasi politik melalui bahasa yang mudah dipahami publik, meski realitas pelaksanaannya penuh tantangan struktural.
Di balik retorika kedaulatan pangan, sesungguhnya ada relasi kuasa yang patut dikritisi. Petani sering kali hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang berdaulat. Program bantuan, subsidi pupuk, dan mekanisasi pertanian masih didominasi oleh perspektif top-down yang lebih menegaskan peran negara sebagai pengendali, ketimbang ruang partisipatif yang memberi suara nyata pada petani. Dengan demikian, wacana swasembada pangan bisa menjadi alat hegemoni: ia menenangkan rakyat dengan janji besar tentang kemandirian, tetapi sekaligus berisiko menutupi persoalan mendasar, seperti distribusi pangan yang timpang, tata niaga yang dikuasai oligopoli, dan lemahnya posisi tawar petani dalam rantai pasok.
Pernyataan Prabowo tentang swasembada pangan, bila dibaca secara kritis, adalah sebuah konstruksi ideologi nasionalisme ekonomi. Ia menawarkan narasi kebanggaan dan kemandirian, namun juga menyimpan fungsi politis sebagai legitimasi kekuasaan. Pertanyaannya bukan hanya apakah swasembada bisa tercapai, tetapi juga apakah janji ini mampu menjawab ketidakadilan struktural dalam tata kelola pangan di Indonesia. Tanpa keberanian membongkar dominasi kelompok kepentingan dan tanpa reformasi serius dalam kebijakan agraria, wacana swasembada pangan berpotensi berhenti pada retorika, mengulang pola lama di mana bahasa politik lebih dominan daripada realitas praksis.







