BeritaPolitik

​Bubarkan DPR: Antara Aksi Tulus dan Agenda Tersembunyi

×

​Bubarkan DPR: Antara Aksi Tulus dan Agenda Tersembunyi

Sebarkan artikel ini
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/12/10381851/detik-detik-pecahnya-kericuhan-saat-demo-mahasiswa-11-april-di-depan?page=all

Urupedia.id- Aksi demonstrasi yang menuntut pembubaran DPR kembali menggema, menarik ribuan massa, dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Namun, di balik seruan radikal yang terdengar, ada dinamika kompleks yang perlu dicermati. Dokumen analisis yang beredar menunjukkan bahwa aksi ini bukan sekadar luapan emosi rakyat, melainkan sebuah medan perang narasi yang rumit. Seruan aksi demo 25 Agustus viral di media sosial. Aksi dipelopori oleh gerakan yang mengatasnamakan diri “Revolusi Rakyat Indonesia”. Mereka mengajak elemen masyarakat, buruh, petani, dan mahasiswa turun ke jalan. (25/07/2025)

Narasi “bubarkan DPR” seringkali muncul dari kekecewaan mendalam masyarakat terhadap kinerja wakil rakyat. Isu korupsi, produk legislasi yang dianggap tidak pro-rakyat, dan perilaku kontroversial anggota dewan menjadi bahan bakar utama. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga Juli 2023, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Angka ini menempatkan profesi legislatif sebagai salah satu yang paling sering terjerat kasus korupsi.

Ironisnya, tuntutan ini seringkali dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan. Dalam konteks analisis yang ada, narasi ini diidentifikasi sebagai operasi yang bertujuan memancing reaksi tertentu.

Tujuannya adalah untuk mendiskreditkan gerakan massa organik, seolah-olah setiap kerusuhan atau kekacauan adalah hasil rekayasa “kelompok anarkis”, bukan ekspresi murni dari rakyat. Hal ini menjadi dilema bagi gerakan sipil. Di satu sisi, ada desakan untuk menyuarakan ketidakpuasan secara lantang.

Di sisi lain, cara penyampaian yang seragam, seperti penggunaan poster jelek dan narasi tekstual yang mirip, menunjukkan adanya pola yang terstruktur. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah gerakan ini benar-benar dipimpin oleh rakyat, atau ada pihak lain yang memainkan peran di balik layar? Kekecewaan publik terhadap kinerja DPR pun tercermin dalam berbagai survei.

Misalnya, survei dari GoodStats menunjukkan bahwa hanya 18,8% masyarakat yang merasa puas dengan kinerja anggota parlemen. Mayoritas, yaitu 43,8% responden, bahkan menganggap anggota DPR lebih pantas disebut sebagai wakil partai politik daripada wakil rakyat.
Lebih jauh, gagasan “bubarkan DPR” mengandung risiko besar. Seperti yang dijelaskan dalam dokumen, kekosongan kekuasaan yang tercipta berpotensi membuka jalan bagi kembalinya rezim militer.

Narasi yang menyudutkan sipil sebagai pihak yang “tidak becus” mengurus pemerintahan kembali menguat. Jika skenario ini terjadi, bukannya menghasilkan reformasi, tuntutan tersebut justru bisa mengembalikan kita pada kondisi yang jauh lebih regresif.

Maka, sudah saatnya gerakan sipil mengambil langkah strategis. Daripada terjebak dalam perang narasi yang bisa melemahkan diri sendiri, gerakan harus fokus pada pembangunan kontra-narasi yang kuat.

Ini bukan berarti meniadakan tuntutan, melainkan menyalurkannya ke arah yang lebih konstruktif. Mengapa tidak fokus pada tuntutan yang lebih spesifik, seperti reformasi sistematis dalam pemilihan anggota dewan, perbaikan mekanisme akuntabilitas, atau bahkan mengusulkan referendum opsional untuk melucuti kekuasaan yang disalahgunakan, seperti yang diusulkan di akhir dokumen?
Tuntutan “bubarkan DPR” memang menarik dan mudah memobilisasi massa, tetapi ia juga bisa menjadi jebakan yang merugikan.

Gerakan rakyat harus lebih cerdas, membangun solidaritas yang lebih kuat, dan merumuskan agenda yang tidak hanya reaktif, tetapi juga visioner, demi masa depan demokrasi yang lebih sehat.
Tingginya kasus korupsi di parlemen bisa dilihat dalam video 2004 hingga 2023, Total Ada 76 Kasus Anggota DPR Terjerat
Berikut Kasus Korupsi Anggota DPR:

  • Aziz Syamsuddin, mantan Wakil Ketua DPR, divonis 3,5 tahun penjara dan kehilangan hak politiknya selama 4 tahun. Ia terbukti bersalah karena menyuap mantan penyidik KPK, AKP Robin, dan pengacara Maskur Husein, sebesar Rp 3,6 miliar terkait kasus dugaan korupsi di Lampung.
  • Ujang Iskandar, anggota DPR dari fraksi NasDem, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung. Ia terlibat dalam kasus dugaan penyimpangan di Pemerintah Kota Waringin Barat yang berkaitan dengan perkebunan Agrotama Mandiri pada tahun 2009.
    Statistik Korupsi
  • Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 76 kasus korupsi yang menjerat anggota DPR dalam rentang waktu tahun 2004 hingga 2023.
  • Periode terbanyak kasus terjadi antara tahun 2015 hingga 2019, di mana 38 anggota DPR terlibat korupsi.

Tuntutan “bubarkan DPR” memang mudah menggalang dukungan, tetapi ia juga bisa menjadi jebakan yang membahayakan. Daripada terjebak dalam perang narasi yang bisa melemahkan gerakan, sudah saatnya energi rakyat disalurkan untuk perjuangan yang lebih cerdas dan visioner.

Jalan ke depan bukanlah membubarkan DPR, melainkan mengendalikan dan memaksanya bekerja sesuai amanat rakyat.

Advertisements