
Urupedia.id- Dalam lintasan sejarah pemikiran ekonomi dunia, merkantilisme menjadi salah satu sistem yang memainkan peran penting dalam membentuk arah kebijakan ekonomi dan hubungan antarbangsa. Muncul pada abad ke-16 hingga abad ke-18, merkantilisme lahir di tengah berkembangnya negara-bangsa modern dan semangat kolonialisme Eropa yang agresif. Dalam pandangan merkantilis, kekayaan suatu negara tidak diukur dari kesejahteraan rakyat atau produktivitas industri, melainkan dari jumlah logam mulia—emas dan perak—yang berhasil dikumpulkan melalui perdagangan internasional. Oleh karena itu, prinsip dasarnya adalah menciptakan surplus perdagangan: ekspor harus lebih besar daripada impor.
Pemerintah menjadi aktor sentral dalam sistem ini. Negara mengatur ketat aktivitas ekonomi melalui proteksionisme, memberikan subsidi kepada industri dalam negeri, menetapkan tarif tinggi untuk barang impor, serta memberikan hak monopoli kepada perusahaan dagang besar seperti British East India Company dan VOC. Kebijakan semacam ini bukan hanya berorientasi pada kekuatan ekonomi, tetapi juga berfungsi sebagai alat legitimasi ekspansi kekuasaan, yang kemudian menjelma menjadi kolonialisme global. Negara-negara penjajah membangun kekayaannya dari hasil eksploitasi wilayah jajahan, memperkuat dominasi politik dan militernya atas nama kesejahteraan nasional.
Namun, seiring berkembangnya ilmu ekonomi, pemikiran merkantilisme mendapat kritik tajam, terutama dari Adam Smith, yang dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) mengemukakan bahwa kekayaan sejati sebuah negara terletak pada produktivitas tenaga kerja dan efisiensi pasar, bukan dari akumulasi emas dan perak. Pandangan ini menjadi tonggak kelahiran ekonomi klasik dan mendorong kebijakan perdagangan bebas (free trade) yang kemudian diadopsi luas di dunia Barat.
Meskipun teori merkantilisme secara formal ditinggalkan, dalam praktiknya semangat tersebut tidak benar-benar lenyap. Dalam konteks globalisasi ekonomi saat ini, apa yang disebut sebagai neo-merkantilisme muncul dengan wajah baru. Negara-negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, bahkan Jerman, kerap dituding menjalankan strategi perdagangan yang mencerminkan prinsip-prinsip merkantilis. Tiongkok, misalnya, membangun kekuatan ekonominya dengan intervensi negara yang kuat, subsidi besar terhadap ekspor, dan pembatasan terhadap impor untuk memperkuat industri nasional. Sementara Amerika Serikat pada era Donald Trump secara terbuka memulai perang dagang melalui tarif tinggi terhadap produk-produk Tiongkok, mengklaim melindungi pekerja dan industri domestik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam realitas geopolitik ekonomi modern, negara tetap menjadi aktor strategis yang menggunakan instrumen ekonomi untuk memperkuat posisinya. Pasar bebas tidak sepenuhnya bebas, dan perdagangan internasional bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kekuasaan dan kedaulatan.
Bagi negara-negara berkembang, realitas ini memberi pelajaran penting. Ketergantungan terhadap impor dan tekanan pasar global dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang serius. Maka, upaya menghidupkan kembali semangat kemandirian ekonomi nasional, seperti mendorong substitusi impor, penguatan industri lokal, dan perlindungan terhadap UMKM, bukanlah langkah mundur, melainkan strategi survival dan pembangunan berdaulat. Dalam konteks ini, prinsip merkantilisme bisa diadaptasi sebagai semangat membangun kekuatan produksi nasional tanpa jatuh ke dalam eksploitasi dan ketimpangan seperti masa lalu.
Dengan demikian, mengulas kembali merkantilisme bukan sekadar membicarakan warisan sejarah, melainkan juga membaca ulang dinamika kekuatan ekonomi global masa kini. Di tengah tantangan ekonomi digital, krisis energi, dan ketimpangan global, negara perlu menyeimbangkan antara keterbukaan dan perlindungan strategis. Sebab, dalam dunia yang penuh kompetisi, kekuatan ekonomi bukan hanya soal teori, tetapi soal keberanian mengambil sikap demi kepentingan rakyatnya. Dan dalam keberanian itulah, semangat merkantilisme tetap hidup—meski dalam bentuk yang lebih halus dan kontekstual.